HAMPIR setiap pembentukan kabinet baru oleh seorang presiden, muncul harapan atas langkah-langkah kebijakan yang akan dilakukan dalam ''100 hari pertama'' (the first 100 days). Penekanan pada angka 100 itu bukan kira-kira atau semacam estimasi bahwa logikanya sekitar tiga bulanlah kecenderungan dan kesan berhasil tidaknya presiden terpilih (pemerintahan baru) dalam menyelesaikan problem negara bisa diketahui. Pun, merealisasikan janji-janji semasa kampanye.
Politik Waktu
Banyak orang yang mengira istilah ''100 hari pertama'' bermula dari kebangkitan demokrasi Amerika Serikat (AS) saat terpilihnya Presiden George Washington. Namun, menurut sejarawan kepresidenan AS, Richard Norton Smith, tak satu pun arsip dan kliping kala itu yang menginformasikan ulasan wartawan ihwal ''100 hari pertama'' pemerintahan George Washington.
Lebih jauh, Smith menyatakan bahwa cap ''100 hari pertama'' muncul pada 1933 ketika presiden AS lainnya, yakni Franklin D. Rosevelt, terpilih. Saat itu, AS sedang dilanda krisis berat sejak berkobarnya Perang Sipil (Civil War). Seperempat rakyatnya menganggur tanpa ada jaminan negara, bank-bank gulung tikar, dan sebagainya.
Wartawan dan pengarang Haynes Johnson mengistilahkan situasi itu sebagai a desperate state. Kapitalisme demokratis dan pimpinan nasional AS sedang di ujung tanduk. Franklin D. Rosevelt tidak tinggal diam. Dia langsung mengambil langkah-langkah reformasi dengan mengajukan kebijakan demi kebijakan ke kongres untuk mengatasi situasi karut-marut itu (do something, do anything).
Ketika menginjak hari ke-100, muncul kesan dan bukti nyata pada rakyat AS bahwa sebuah transformasi ke arah pemulihan yang lebih baik memang sedang menggelinding. Karena itu, ''100 hari pertama'' seorang presiden menjadi sangat spesial, khususnya bagi rakyat AS.
Sayangnya, istilah ''100 hari pertama'' yang muncul 71 tahun lalu mengalami distorsi dan simplifikasi dengan melatahkan bahwa jumlah waktu 100 hari menjadi semata-mata waktu yang sangat krusial bagi seorang presiden terpilih, siapa pun dan di mana pun dia.
Haynes Johnson lebih jauh menyatakan, penetapan ''100 hari pertama'' merupakan a foolish standard (sebuah acuan gegabah tentang penetapan kurun waktu tertentu pertama presiden baru). Situasi yang dihadapi Rosevelt adalah sangat genting. Karena itu, 100 hari menjadi waktu intensif dan urgen untuk mengatasi problem yang ada. Lewat 100 hari tanpa ada hasil, situasinya bisa lebih buruk. Jika seorang presiden baru terpilih dalam situasi negara yang normal dan hanya meneruskan estafet kepemimpinan yang ada, mungkin tidak perlu mempermasalahkan jumlah 100 hari.
Kelatahan untuk menetapkan ''100 hari pertama'' pemerintahan presiden baru sangat tidak fair dan menakut-nakuti untuk sesuatu yang mungkin saja tidak perlu diselesaikan dalam 100 hari. Tak heran, ketika terpilih menjadi presiden AS, John F. Kennedy gusar dibandingkan dengan Rosevelt ihwal ''100 hari pertama''-nya. Kennedy bahkan mencanangkan ''1.000 hari pertama'' yang kontroversial. Sayang, dalam kurun waktu itu juga, tanpa diduga, dia tewas tertembak.
Cukup 30 Hari
Bagaimana dengan ''100 hari pertama'' presiden Indonesia? Kemenangan SBY kali kedua tentu tidak tepat dikaitkan dengan ''100 hari pertama''. SBY bahkan cukup dengan 30 hari saja untuk melanjutkan agenda-agenda pemulihan dan peningkatan kondisi nasional yang sudah dijalankan selama kepemimpinan sebelumnya.
Profesor sejarah Roger Wilkin dari George Mason University, AS, mengungkapkan bahwa Rosevelt mempunyai kongres yang siap melakukan sesuatu. Artinya, ''100 hari pertama'' tidak berarti tanpa dukungan parlemen. Perlu gereget yang sama agar parlemen, dalam hal ini parpol koalisi SBY di DPR, mengawal 30 atau 100 hari ke depan supaya SBY beserta kabinet baru kelak bisa leluasa menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Alangkah baiknya jika 100 hari pertama presiden (eksekutif-kabinet) dilengkapi dengan 100 hari pertama parlemen (legislatif). Juga, dikuatkan dengan 100 hari pertama aparat hukum (yudikatif). Dengan harapan, mesin penanganan intensif dan urgen atas berbagai masalah bangsa bisa dirasakan, adanya pemulihan yang makin baik seperti yang dirasakan rakyat AS saat Rosevelt menjabat. Di sinilah 30 hari atau 100 hari itu menjadi sesuatu yang istimewa.
Soeharto telah memaknai 100 hari pertama pemerintahan Orde Baru saat menggantikan Orde Lama. Namun, dalam pemerintahan Soeharto berikutnya, momentum 100 hari ditinggalkan. B.J. Habibie dalam 100 hari pertama pemerintahannya berbuat banyak. Tapi, dia bukan orang yang tepat untuk mengusung reformasi, sehingga berhenti di tengah jalan.
Abdurrahman Wahid dalam 100 hari pertama pemerintahannya sangat bagus. Sayang, dia tidak didukung oleh 100 hari parlemen yang akhirnya menurunkannya. Megawati yang menggantikan mewarisi hal yang sama. Dia kehilangan momentum 100 hari pertama karena hanya meneruskan pendahulunya.
Dengan demikian, dalam 100 hari pertama bagi presiden terpilih, selain menjadi fondasi waktu yang sangat penting dan genting, juga penting untuk memikirkan agenda dan langkah-langkah yang akan direalisasikan. Kebijakan eksekutif presiden dan kabinetnya, penguatan oleh parlemen untuk mengesahkannya, dan penegakan oleh aparat hukum untuk mengawal berjalannya kebijakan-kebijakan yang telah disepakati dengan begitu menjadi titik gerak dan implementasi dari visi presiden yang sudah diwacanakan saat kampanye.
Terakhir, penting meresapi kata-kata Charles Handy, pengarang The Empty Raincoat. Yakni, salah satu paradoks kesuksesan politik (presiden terpilih) adalah faktor-faktor dan cara-cara yang membawa seseorang menang menjadi presiden jarang menjadi faktor-faktor dan cara-cara yang membuat dia tetap berada pada keadaan itu. Artinya, pasca kemenangan SBY, untuk mempertahankan kepresidenan dan mensukseskan ''30 hari atau 100 hari pertamanya'', dia harus menggali faktor-faktor serta cara-cara baru yang berbeda dengan ketika berhasil meraih jabatan presiden ke-7 RI. (*)
*). Stevanus Subagijo , direktur Center for National Urgency Studies, Jakarta
Opini Jawa Pos 23 Oktober 2009
23 Oktober 2009
SBY Cukup 30 Hari Pertama
Thank You!