23 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » HAM dan Kekuasaan

HAM dan Kekuasaan

PADA 20 Oktober 2009, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono secara resmi menjabat Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014. Sejumlah agenda sebagaimana tertuang dalam visi dan misi pasangan ini akan diterjemahkan ke dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) yang akan menjadi acuan kerja pemerintahan selama lima tahun mendatang.

HAM dan kekuasaan

Ada banyak agenda ke depan, dan salah satu yang cukup krusial dibicarakan adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Di bidang hak asasi manusia, pemerintah baru akan merancang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang menjadi cetak biru pembangunan di bidang hak asasi manusia untuk lima tahun mendatang. RANHAM ini menjadi penting posisinya sebagai ukuran awal penilaian sejauh mana pemerintah kali ini serius dalam menegakkan HAM. Sejauh ini perkembangannya masih belum maksimal. Masih banyak agenda penting yang sengaja atau tidak belum dijadikan prioritas. Hal tersebut akan dinilai sebagai bentuk pengabaian. Dan berikutnya kita akan menangkap sebuah ironisme. Bahwa HAM adalah bagian utama dari penegakan demokrasi, tapi justru sering terjadi pengabaian bahkan
pelanggaran terhadap HAM itu sendiri.

Ironismenya kerap kali isu HAM hanya menjadi komoditas politik kekuasaan yang tidak sungguh-sungguh mengerti dan memahami apa dan bagaimana HAM itu sendiri. Bahkan untuk menyadari bahwa HAM merupakan bagian yang hakiki dalam diri manusia yang melekat sejak manusia itu lahir itu saja terkadang kurang dipahami.

Dalam HAM, nilai kemanusiaan seharusnya dijabarkan dalam pengertian bagaimana kekuasaan memiliki orientasi mengenai kodrat manusia itu sendiri. Manusia bukan sekadar alat eksploitasi, tetapi keberadaan manusia itu melekat dalam kodratnya. Kemanusiaan menjadi acuan dalam segala keputusan politik. Bukan justru mengedepankan realitas politik yang acap kali mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

Komitmen normatif

Dari diskusi di Setara Institute diperoleh simpulan komitmen kepemimpinan nasional pada penegakan HAM masih sebatas pada komitmen normatif yang belum diterjemahkan ke dalam program-program nyata yang memberikan keadilan untuk semua. Misalnya ratifikasi dua kovenan induk HAM yang dilakukan pada 2005 belum mampu menjadi landasan bagi integrasi dan pengarusutamaan HAM dalam setiap program-program pemerintah. Kepemimpinan nasional 2004-2009 lalu tidak cukup menampilkan performa memuaskan di bidang hak asasi manusia. Bahkan dari hasil kajian terhadap RANHAM 2004-2009 dan RPJMN, kinerja penegakan HAM pemerintahan 2004-2009 berada pada derajat minimum. Dari 103 program utama hanya 56 (54,6%) program yang terlaksana dan 47 (45,4%) di antaranya tidak terlaksana. Diketahui ada sejumlah 56 program yang terlaksana mayoritas merupakan program-program internal departemen. Sebagian lain merupakan program-program penerapan standar norma HAM bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) meski dengan kualitas minimum. Kebijakan tentang Jamkesmas, alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN, sekolah gratis, akses modal bagi dunia usaha melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembangunan perumahan rakyat, dan lain-lain. merupakan capaian kinerja pemerintahan di bidang pemenuhan hak ekosob. Kelemahan RANHAM 2004-2009 sehingga gagal menjadi instrumen integrasi dan pengarusutamaan HAM dalam pembangunan terletak pada parsialitas perencanaan aksi-aksi yang akan dijalankan.

RANHAM belum sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hak yang harus dijamin oleh negara dan tidak selaras dengan agenda-agenda pembangunan yang dijalankan oleh departemen-departemen teknis, kementerian, dan pemerintahan daerah. Akibatnya, RANHAM berdiri sendiri dan Departemen Hukum dan HAM sendiri yang seharusnya menjadi leading sector pelaksanaan RANHAM tidak mampu melakukan sinkronisasi dan koordinasi dengan institusi lain.

Capaian kinerja ini menggambarkan, prospek penegakan HAM pada kepemimpinan mendatang cukup memiliki modal kuat untuk terus memastikan penegakan HAM dan mainstreaming human rights dalam berbagai produk legislasi dan kebijakan yang akan dikeluarkannya kelak. Dilihat dari hambatan yang ada, kinerja minimum penegakan HAM sepanjang pemerintahan 2004-2009 ini disebabkan rendahnya political will pemerintah pada pemajuan HAM.

Selain itu, karena minimnya dukungan birokrasi lintas departemen dan pemerintah daerah; perencanaan yang tidak disertai penganggaran yang memadai; dan minusnya kecakapan panitia pelaksana RANHAM daerah. Secara khusus, otonomi daerah tanpa desain komprehensif dan berpijak pada pendekatan jaminan pemenuhan HAM telah membawa dampak buruk bagi penegakan HAM di sebagian besar pemerintahan daerah. Padahal bagi sebagian kecil daerah lainnya otonomi daerah telah menjadi peluang bagi pemenuhan HAM.

7 prioritas penegakan HAM

Pelantikan kepemimpinan nasional pada 20 Oktober 2009 merupakan momentum penting untuk mengingatkan dan menawarkan berbagai agenda penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Sebagaimana hasil kajian dan diskusi Setara Institute, pemerintahan baru kali ini benar-benar didorong untuk secara serius menyikapi tujuh isu utama di bidang hak asasi manusia. Ketujuh bidang tersebut adalah penegasan jaminan kebebasan berekspresi; penghapusan hukuman mati; jaminan kebebasan beragama dan
berkeyakinan; pemutusan pelembagaan impunitas dan penyelesaian pelanggaran HAM; pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi bagi Aceh dan pencabutan Qanun Jinayat; pemenuhan jaminan kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan akses modal bagi masyarakat; serta legislasi populis bagi penegakan hukum.

Bila membaca konstelasi politik kekuasaan hari ini yang potensial membentuk pemerintahan yang kuat, potensi lain yang perlu diwaspadai adalah jatuhnya negara ke lembah budaya 'represi'.

Dalam konteks negara kuat, maka soal pelanggaran HAM menjadi soal yang amat biasa, baik dilakukan oleh individu-individu yang memiliki akses ke negara, maupun oleh negara itu sendiri. Penegakan HAM di era seperti saat ini, kita saksikan masih berjalan terseok-seok, terutama karena kita masih berhadapan dengan situasi di mana hukum hanya membela 'orang kuat', bukan orang yang dianiaya kemanusiaannya.

Dalam menegakkan HAM kita membutuhkan semangat yang sangat kuat buat memutus rantai kejahatan masa lalu, dan sebagai bahan pelajaran untuk tidak diulangi masa kini. Hal ini juga merupakan upaya untuk mewujudkan tanggung jawab rezim yang telah membunuhi korban-korban tak berdosa tanpa alasan.

Oleh Benny Susetyo Pr, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute
Opini Media Indonesia 23 Oktober 2009