Reposisi peran tersebut harus dilakukan dengan tanpa menghilangkan perhatian RI terhadap ASEAN lantaran adanya masalah-masalah internal ASEAN yang masih harus diselesaikan dan kuatnya kepentingan Indonesia.
Seiring dengan perubahan sistem (struktur) global dari multipolar ke nonpolar sekarang ini, sebagian kalangan menyarankan pemerintah Republik Indonesia agar segera mereposisi peran RI di ASEAN. Pasalnya, kebijakan luar negeri yang disusun dan dilaksanakan dengan mengacu pada lingkaran konsentris berdasaran kedekatan geografis sudah tidak tepat lagi.
Kebijakan warisan Orde Baru yang mengistimewakan ASEAN dengan me-nempatkannya sebagai saka guru dalam kebijakan luar negeri RI dipandang sudah usang dan tidak relevan lagi dengan realitas ekonomi politik global maupun kepentingan nasional yang mesti diperjuangkan di pentas dunia saat ini.
Struktur internasional sekarang ini betul-betul sudah nonpolar, kekuatan terbagi di semua aktor, sehingga sulit menentukan siapa (negara mana) yang menjadi kekuatan hegemoni. Amerika Serikat memang masih sangat kuat, tetapi negara-negara lain pun terus bergerak untuk semakin memperkuat keberadaannya baik secara ekonomi, politik maupun militer.
Tampilnya negara-negara medium-level semisal Brasil, Argentina, Meksiko, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, India dan Indonesia bersama negara-negara high-level seperti AS, Jepang, Kanada, Jerman, Rusia, Italia, Prancis dan Inggris di forum G-20 menegaskan perubahan sistem dimaksud.
Masuknya Indonesia di forum G-20 merupakan pengakuan internasional akan keberadaan RI yang patut diperhitungkan di kancah global. Jelas, ini sebuah prestasi istimewa bagi nation-state Indonesia walaupun diakui realitas domestik RI saat ini masih diwarnai banyak paradoks sosial ekonomi seperti tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Indonesia adalah satu-satunya anggota ASEAN yang masuk dalam forum G-20 yang faktanya telah menggeser peran G-8 di panggung global.
Di luar itu, di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur sendiri sekarang ini sejatinya tengah terjadi pergeseran kekuatan yang cukup dramatis dengan munculnya kecenderungan Asia Timur akan berkembang lebih luas menjadi Asia Pasifik. Dan, kenyataannya ASEAN ikut serius mendorong pergeseran tersebut.
Penambahan negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dengan Asia Timur dari 13 negara menjadi 16 negara (10 anggota ASEAN plus Jepang, RRC, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan India) sehingga formasi KTT-nya berubah dari KTT ASEAN+3 menjadi KTT ASEAN+6 memperjelas pergeseran kekuatan itu. Pada tanggal 24-25 Oktober 2009 ini KTT ASEAN+6 digelar di Hua Hin, Thailand, untuk merekomendasi putusan-putusan yang akan diimplementasi dalam rangka menentukan arah kerja sama multibidang ke depan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur secara keseluruhan.
Karenanya, cukup realistis dan obyektif jika Republik Indonesia segera mereposisi perannya di ASEAN. Masalahnya, apakah dengan reposisi peran tersebut berarti Indonesia menganggap ASEAN sudah usang, tidak penting, dan tidak diperlukan lagi? Tentu saja tidak.
Bagaimanapun ASEAN masih memiliki arti penting. Sekadar flashback, ASEAN telah berjasa besar bagi penciptaan perdamaian dan stabilitas politik keamanan yang mantap di kawasan Asia Tenggara. ASEAN berhasil mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang damai, bebas dan netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality = ZOPFAN).
ASEAN sukses mendorong segenap negara mitra dialognya, termasuk negara-negara nuklir utama semisal AS dan Rusia, menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC), sebagai code of conduct yang mengikat kuat semua negara penandatangan untuk hidup rukun dan senantiasa mau menyelesaikan setiap persoalan yang timbul lewat jalur diplomasi.
Selain itu, di lingkup internal ASEAN sendiri sejauh ini masih tersimpan masalah-masalah serius yang belum terselesaikan, mulai dari sengketa wilayah perbatasan (border territory) antarsesama anggota sampai dengan macetnya upaya demokratisasi di Myanmar.
Tentu, untuk mengatasi masalah-masalah serius itu Indonesia perlu menonjolkan perannya dengan misalnya memrakarsai pembentukan badan arbitrasi ASEAN guna membantu menyelesaikan saling klaim wilayah, ataupun bersikap lebih tegas dan galak kepada junta militer Myanmar hingga mereka mau segera membebaskan para tahanan politik termasuk tokoh Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) Aung San Suu Kyi.
Di bidang sosial ekonomi, ASEAN juga masih perlu diperhatikan. Sebagian negara anggota ASEAN khususnya Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam masih menjadi penampung jutaan tenaga kerja Indonesia (TKI). Tak kurang dari 2,5 juta TKI kini bekerja baik di sektor formal maupun informal di tiga negeri jiran tersebut. Tiga anggota ASEAN itu memberi kontribusi cukup signifikan bagi upaya pemerintah RI mengurangi jumlah pengangguran. Yang masih harus terus dilakukan keras oleh pemerintah RI terkait keberadaan para TKI di tiga negara ASEAN itu adalah bagaimana para TKI tersebut betul-betul mendapatkan perlindungan hukum maksimal di negara tempat mereka bekerja hingga ke depan tidak terjadi lagi penipuan ataupun penganiayaan oleh majikan terhadap TKI.
Hanya saja, peran (pemerintah) RI dalam menangani masalah-masalah internal ASEAN tadi tidak boleh mengganggu lagi kiprah dan peran RI di forum-forum lain yang keberadaannya tak kalah penting seperti forum Kelompok-77 di PBB, Gerakan Non-Blok (GNB), negara-negara anggota OIC (Organization Islamic Conference), Kerja Sama Asia-Afrika yang dibentuk tahun 2005. Menurut Jusuf Wanandi (peneliti senior dari Centre for Strategic International Studies), peran RI di forum-forum tersebut sempat terbengkelai cukup lama karena pemerintah ”mengistimewakan” ASEAN.
Jadi simpulannya, selaras perubahan struktur internasional dewasa ini, reposisi peran RI di ASEAN mendesak dilakukan. Reposisi peran tersebut harus dilakukan dengan tanpa menghilangkan perhatian RI terhadap ASEAN lantaran adanya masalah-masalah internal ASEAN yang masih harus diselesaikan dan kuatnya kepentingan Indonesia terutama di bidang sosial ekonomi. Terpenting, dengan reposisi peran tersebut pemerintah RI tidak lagi mengistimewakan ASEAN dalam diplomasi luar negerinya ke depan.
Dengan demikian, diplomasi RI ke depan baik di GNB, Konferensi Islam maupun forum-forum regional/ global yang lain diharapkan dapat berlangsung jauh lebih atraktif, kreatif, intensif, dan efektif. Hingga akhirnya, di kancah global, peran RI akan benar-benar semakin diperhitungkan sekaligus dibutuhkan oleh negara manapun.
Dr Muhammad Marty Natalegawa selaku penjabat baru Menteri Luar Negeri RI ditantang untuk mau memulai upaya reposisi peran RI di ASEAN seperti itu. Dan, KTT ASEAN+6 di Hua Hin, Thailand, 24-25 Oktober 2009 ini agaknya dapat dimanfaatkannya sebagai momentum ataupun kesempatan penting untuk memperlihatkan kesungguhannya memulai reposisi peran RI di ASEAN yang dibutuhkan itu. (80)
—Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Yogyakarta.
Wacana Suara Merdeka 23 Oktober 2009