Andaikan rambu-rambu etika memungkinkan, bisa jadi banyak calon menteri akan meniru calon anggota legislatif yang memasang iklan: ”pilih saya karena lebih pintar”. 0rangtua juga serupa, tidak ada yang berdoa agar anaknya bodoh kelak.
Ribuan tahun lalu, saat manusia mulai mengagumi kepintaran, tidak terbayangkan jika kepintaran akan bersahabat dengan kehancuran. Perhatikan skandal-skandal besar yang mengguncang dunia, teror, dan perang yang memakan banyak nyawa manusia, tidak ada yang dilakukan orang-orang desa yang ”bodoh”. Semua diotaki orang kota yang berpendidikan tinggi.
Dari sini, terlalu dini menyimpulkan bahwa kepintaran itu berbahaya. Orang pintar berperilaku jahat ada, orang pintar dengan perilaku menyentuh juga ada. Pertanyaannya, mengapa kepintaran kian bersahabat dengan kelicikan dan keruntuhan?
Perhatikan sebagian percakapan di antara orang-orang pintar. Begitu kepentingannya tidak terpenuhi, dicarilah argumen yang bisa meruntuhkan orang lain. Sebaliknya, jika kepentingannya terakomodasi, pendapat yang diungkapkan cenderung yang mendukung. Maka di Barat terjadi keruntuhan kepercayaan besar-besaran terhadap orang pintar yang membuka pintu pada munculnya budaya tanding. Sekaligus menghadirkan dahaga mendalam akan kebijaksanaan Timur yang berisi kejujuran, ketulusan, dan kerendahhatian.
Di Timur gejala ke arah itu ada. Thailand adalah sebuah guru. Munculnya orang pintar seperti Thaksin Shinawatra sempat mencuatkan kemajuan sebentar. Namun, sebagaimana perilaku kepintaran yang mengundang kepintaran lain untuk melawan, Thaksin diturunkan oleh dugaan skandal, diikuti berkali-kali kekacauan yang menakutkan. Malaysia dengan cerita Anwar Ibrahim, Iran yang memanas pascapemilihan presiden, Madagaskar yang ditandai banyak kudeta, hanya sebagian gejala yang mungkin membukakan datangnya budaya tanding di Timur.
Karena itu, tanpa persiapan dan kepekaan cukup, Indonesia berpotensi dikacaukan oleh hadirnya budaya tanding. Perhatikan orang-orang pintar yang diberi kesempatan oleh reformasi untuk mengubah keadaan di birokrasi. Sebagian keluar dari gelanggang tanpa tanda-tanda kemenangan. Sebagian kecil masuk lembaga pemasyarakatan karena terjaring perkara korupsi. Melihat kecenderungan ini, menakuti kepintaran bukan jalan keluar yang disarankan.
Tetua di Jawa punya pesan indah sekaligus menggugah. Orang bodoh kalah sama yang pintar. Manusia pintar ditaklukkan oleh orang licik. Namun, ada jenis manusia yang tidak bisa ditaklukkan oleh kelicikan, yakni orang beruntung. Mungkin itu sebabnya tersisa banyak orang Jawa yang senantiasa beruntung. Bila kecelakaan patah tulang, untung patah tidak mati. Jika mati, untung mati tidak cacat.
Bagi sejumlah orang pintar, cara memandang kehidupan yang penuh keberuntungan seperti ini mudah diberi judul tolol. Ada yang mengejek dengan tawa. Namun, bagi penekun kebijaksanaan, wajah kehidupan yang penuh keberuntungan adalah tanda-tanda jauhnya penggalian seseorang ke dalam dirinya.
Pertama, ia menjadi pertanda bertekuk lututnya hawa nafsu yang mau semua serba sempurna.
Kedua, terbukanya pintu kehidupan yang jauh lebih luas dari sekadar mementingkan diri.
Ketiga, seperti anak ayam yang keluar bebas dari telur, demikian juga manusia yang melihat keberuntungan di mana-mana. Ia sudah terbebas. Setidaknya terbebas dari kepintaran yang picik, sekaligus kelicikan yang tidak mendidik.
Maka ada yang berpesan, bila anak ayam dipenjara kulit telur, manusia dikerangkeng oleh kepicikannya. Perbedaan antara yang tercerahkan dan yang tak tercerahkan adalah perbedaan antara keterbukaan dan kepicikan, demikian kira-kira bunyi pesan aslinya. Untuk itu, banyak kursi birokrasi sekaligus korporasi yang rindu sekaligus lapar akan orang-orang bodoh yang beruntung (baca: keseharian yang bersahabatkan pelayanan dan keterbukaan. Beruntung karena keterbukaan dan pelayanan mudah sekali menghadiahkan kebahagiaan).
Bagi sebagian orang pintar, pelayanan hanya pekerjaan orang rendah. Keterbukaan pikiran kerap dicaci dengan ketiadaan sikap. Ini bisa terjadi karena kepintaran menghargai diri amat tinggi, meletakkan pelayanan sebagai sesuatu yang rendah. Kepintaran membuat kotak. Yang cocok dengan kotak jadi teman, yang tidak cocok disebut musuh.
Padahal, sebagaimana dialami bersama, kehidupan bergerak tanpa kotak. Seperti melihat Indonesia, bila ukuran yang digunakan adalah Singapura, apalagi China, Indonesia hanya negara yang tidak diurus. Bila acuannya adalah negara-negara yang baru mengenal telepon genggam seperti Afganistan, Kamboja yang ibu kotanya berisi sedikit lampu pengatur lalu lintas, apalagi sebagian Afrika yang harapan hidupnya 39 tahun, Indonesia memiliki banyak hal yang layak disyukuri. Keinginan maju selalu menggunakan yang lebih tinggi sebagai pembanding. Namun, seperti mobil yang dipaksa berlari kencang, di suatu tanjakan, akan terbakar. Tanda-tanda akan terbakar mulai terlihat. Bom teroris, pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi, orang menekuni hukum bukan untuk diikuti, tetapi untuk dicari celahnya.
Di tanjakan-tanjakan yang nyaris terbakar, energi panas kepintaran memerlukan kesejukan air kebijaksanaan. Bekerja, belajar, dan berdoa tentu terus dilakukan karena ini yang membuat kehidupan berputar. Namun, menarik udara segar kehidupan melalui pelayanan dan keterbukaan amat membantu dalam membuat kehidupan agar tidak terbakar. Seorang sahabat bodoh yang beruntung pernah mengirimkan pesan singkat: ”sebagaimana air yang sejuk dan lembut senantiasa mengalir ke tempat-tempat rendah, demikian juga dengan orang-orang yang rendah hati, kesehariannya juga sejuk dan lembut”.
Opini Kompas 24 Oktober 2009