Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan wawancara calon menteri pada hari pertama, sosok Nila Djoewita A. Moeloek dinilai sebagai calon yang pas untuk menduduki menteri kesehatan, Meski, menurut saya, terkesan ada aspek patronase karena istri seorang mantan menteri kesehatan. Namun, selain lantaran bisa menyerap pengalaman suaminya, saya setuju dialah calon menteri jika pahlawan pejuang pengontrolan virus, Siti Fadilah Supari, harus diganti.
Namun, ketika hasil tes kesehatan periode pertama sudah sampai ke tangan presiden, terdengar rumor bahwa sejumlah calon menteri tidak lulus tes kesehatan. Rumor itu pun semakin kuat ketika seluruh calon menteri telah menjalani tes kesehatan. Menurut rumor tersebut, salah seorang calon menteri yang tidak lolos tes adalah Nila Djoewita A. Moeloek.
Di benak saya, terlintas bahwa yang paling mungkin terempas dari calon menteri adalah Nila Djoewita A. Moeloek dengan beberapa alasan. Dia tidak mempunyai dukungan politik kuat seperti Linda Gumelar yang suaminya adalah senior SBY. Selain itu, dia sebelumnya tidak terdengar sebagai orang politik atau orang dekat presiden.
Berbeda dari sejumlah calon yang katanya juga tidak lulus tes kesehatan seperti Djoko Kirmanto dan kawan-kawan yang akhirnya tetap lolos. Sebab, mereka mempunyai dukungan politik. Jika tidak pun, mereka adalah orang dekat atau setidaknya ada yang melobi kepada presiden agar tetap diangkat menjadi menteri. Yang terlintas di pikiran saya itu memang kemudian menjadi fakta ketika presiden mengumumkan susunan kabinet.
Persoalannya kemudian, sebegitu parahkah penyakit yang diderita Djuwita, sehingga terempas dari gerbong kabinet? Dengan kata lain, jika dibanding empat calon menteri lainnya yang sama-sama dianggap tidak mempunyai kesehatan prima, dialah yang dianggap paling berat, sehingga harus tersingkir. Atau memang ada faktor lain?
Menjelang pengumuman kabinet, terdengar pula ada calon menteri yang dinilai tidak lulus fit and proper test. Lagi, Djuwita kembali masuk daftar itu. Berdasar hal tersebut, menurut saya, sesungguhnya faktor kedua itulah yang mendominasi dan bisa jadi sejak semula dia memang tidak menjadi kandidat, meski kemudian diminta mengikuti tes kesehatan.
Karena itu, tes tahap kedua (tes kesehatan) bisa dianggap sebagai basa-basi atau setidaknya untuk tidak mempermalukan. Sebab, jika ada calon yang sudah di-fit and proper test tidak diminta mengikuti tes tahap kedua, yang bersangkutan dengan sendirinya langsung tersingkir dari kemungkinan menjadi menteri.
Kepentingan Namru
Antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat saat ini sedang berlangsung perundingan berkaitan dengan nasib Namru-2. Pemerintah AS sangat berkepentingan dengan laboratorium itu guna penelitian virus yang konon tidak hanya untuk keperluan pengobatan, tapi juga untuk kepentingan militer.
Upaya AS untuk membuka Namru-2 memang terganjal oleh pendirian menteri kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, Siti Fadilah Supari, yang bersikeras agar laboratorium tersebut ditutup. Berbagai lobi pun ditempuh, termasuk terhadap presiden melalui pendekatan Dino Pati Djalal. Namun, karena Siti Fadilah tetap pada pendiriannya, nasib Namru-2, meski menurut sejumlah pihak tetap berlangsung secara gerilya, tetap belum jelas.
Atas kepentingan tersebut, AS sangat berkepentingan dengan Namru di Indonesia, sehingga lobi untuk itu terus berjalan. Namun, yang paling penting, Siti Fadilah harus tersingkir dan harus dicari pengganti yang dekat dengan Namru-2.
Atas kepentingan itu, bukan suatu yang mustahil naiknya Endang Rahayu Setyaningsih sangat terkait dengan hal tersebut. Sebab, dia pernah bekerja sebagai peneliti di instalasi militer Angkatan Laut AS -yang kemudian ditegaskan Siti Fadilah Supari bahwa dia merupakan orang yang sangat dekat dengan Namru.
Kedekatan itulah yang, tampaknya, mengantarkan Endang menjadi menteri kesehatan. Karena itu, mencermati tersingkirnya Nila Djuwita A. Moeloek, bisa jadi dia mempunyai pandangan yang kurang pas dengan lobi AS terhadap presiden berkaitan dengan masa depan Namru di Indonesia.
Selaku bangsa Indonesia yang selalu bangga bahwa kemerdekaan diraih dengan keringat dan darah pejuang, semoga saja bukan kepentingan Namru dan AS yang menjadi faktor pengangkatan menteri kesehatan sebagai pengganti Siti Fadilah, melainkan karena kompetensi yang bersangkutan. Sebab, dia memang dikenal mempunyai penguasaan yang bagus mengenai persoalan kesehatan di Indonesia.
Meski demikian, kecurigaan terhadap aroma AS wajar saja. Mengingat, orang yang kini ditunjuk dianggap sebagai orang yang mendukung Namru agar tetap beroperasi. Untuk menepis hal itu, Endang harus membuktikan bahwa yang dia lakukan adalah untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia yang dengan susah payah berusaha merdeka.
Jangan hanya rakyat kecil yang selalu berteriak nasionalisme. Pemimpin negeri ini harus memberi contoh agar kelak tidak menimbulkan antipati dari masyarakat. (*)
*) Dr Mahmudi Asyari, pemerhati masalah sosial dan keagamaan, tinggal di Semarang
Opini Jawa Pos 24 Oktober 2009
23 Oktober 2009
Ironi Nila Djoewita A. Moeloek
Thank You!