Keadaan ini membuat desa itu tak beda dengan desa-desa umumnya di Kalimantan Barat. Tiap rumah umumnya memiliki televisi dan banyak yang memiliki sepeda motor sehingga tingkat penghidupan mereka tidak beda jauh dari desa di Jawa.
Yang menarik, di desa itu ada koperasi kredit, yang di sana dikenal dengan Credit Union (CU). Saat mengunjungi CU itu pertengahan 2007, data yang ada membuat saya tercengang. Laporan keuangan CU itu amat transparan karena terpampang di papan besar.
Pada akhir 2006, data menunjukkan jumlah anggota sekitar 1.000 orang. Angka ini cocok dengan jumlah keluarga di desa itu. Yang menarik, saat itu jumlah dan simpanan anggota sebesar Rp 12 miliar. Itu berarti, rata-rata anggota menyimpan Rp 12 juta. Yang juga menarik, lima bulan kemudian—Mei 2007—dana simpanan itu meningkat menjadi Rp 15 miliar, terjadi peningkatan Rp 3 juta dalam lima bulan. Penduduk yang mampu menyimpan dalam jumlah besar diasumsikan mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Yang lebih menarik lagi, jumlah penerima bantuan langsung tunai (BLT) ternyata cukup banyak. Di sinilah anomali terjadi. Penduduk yang sebetulnya susah untuk dikategorikan miskin ternyata menerima BLT. Informasi itu ternyata dikonfirmasi bupati setempat yang menyatakan, secara faktual diyakini jumlah penduduk miskin amat sedikit. Namun, dilihat dari penerima BLT, jumlahnya cukup banyak. Mengapa? Dalam konsep penduduk di sana, BLT adalah hak yang harus diperoleh karena dari pemerintah.
Tahun 2008, jumlah pendapatan per kapita tiap penduduk Indonesia mencapai 2.271 dollar AS, jumlah yang hampir dua kali lipat ketimbang pendapatan per kapita tertinggi sebelum krisis 1997. Dibanding pendapatan rata-rata selama krisis, jumlah ini meningkat lebih dari empat kali lipat. Jumlah pendapatan nasional sebagian besar diterima penduduk berpenghasilan tinggi. Sebanyak 30 persen pendapatan, misalnya, diterima oleh hanya 10 persen penduduk. Sebanyak 55 persen pendapatan diterima oleh 30 persen penduduk. Inilah yang akhirnya digambarkan dalam kurva Lorentz dan dihitung dalam Gini Ratio yang ternyata mengalami sedikit kenaikan beberapa tahun terakhir.
Meski demikian, kenaikan pendapatan di Indonesia juga dinikmati penduduk yang termiskin. Karena itu, saya sering dibingungkan pernyataan, 108 juta penduduk Indonesia meraih pendapatan di bawah 2,0 dollar AS per hari. Karena setahun ada 365 hari, ini berarti pendapatan 108 juta penduduk Indonesia di bawah 730 dollar AS per tahun. Angka itu mengacu angka Bank Dunia. Dengan gambaran makro seperti itu, amat wajar jika pemerintah terus mencurahkan perhatian kepada warga miskin, antara lain dengan program raskin dan BLT.
Diyakini, data itu benar saat dikeluarkan pertama kali, beberapa tahun lalu. Namun, pergeseran tingkat pendapatan terus terjadi. Inilah yang dengan baik digambarkan Xavier Sala-i-Martin dan Sanket Mohapatra bulan November 2002, saat ia meneliti distribusi pendapatan untuk negara G-20.
Karena itu, tetap menggunakan data yang sama beberapa tahun kemudian, saat produk domestik bruto (PDB) mulai naik beberapa kali lipat, rasanya menjadi hal berlebihan dan membuat suatu kebijakan bisa salah sasaran. Berdasarkan data Bank Dunia dalam situs internet hari-hari ini, jumlah PDB Indonesia tahun 2008 mencapai 514 miliar dollar AS. Disebutkan dalam situs itu, 20 persen penduduk termiskin di Indonesia menerima 7,1 persen dari pendapatan.
Dengan menggunakan angka PDB sebagai angka pendapatan, ini berarti 20 persen penduduk menerima 36,49 miliar dollar AS. Jika penduduk Indonesia berjumlah 230 juta, 46 juta penduduk menerima 793 dollar AS per kapita. Angka rata-rata ini ternyata melampaui jumlah 730 dollar AS yang menjadi patokan penduduk berpendapatan 2,0 dollar AS per hari.
Jika kita menggunakan distribusi pendapatan yang sama untuk 20 persen penduduk termiskin (karena mereka ada pada kurva Lorentz yang sama), 30 persen penduduk menerima pendapatan di atas 793 dollar AS, yaitu di atas 2,0 dollar AS per hari. Jika ditelusuri, cukup wajar untuk mengasumsikan, mereka yang menerima pendapatan di bawah 2,0 dollar AS per hari akan mencapai 60 persen dari kelompok itu, yaitu sekitar 27,6 juta penduduk. Ini hanya seperempat dari jumlah 108 juta penduduk yang sering digunakan.
Dengan menggunakan cara yang sama, kita bisa mengasumsikan, 20 persen dari 46 juta penduduk menerima 7,1 persen dari pendapatan kelompok itu. Ini berarti jumlah pendapatan per kapita mereka per tahun mencapai 293 dollar AS. Jumlah ini sedikit di bawah 365 dollar AS yang merupakan pendapatan 1 dollar AS per hari. Rasanya wajar untuk memperkirakan jumlah penduduk yang menerima pendapatan di bawah 1 dollar AS per hari sekitar 40 persen dari kelompok itu yaitu sekitar 18,4 juta penduduk. Penduduk kelompok inilah yang perlu mendapat bantuan lebih besar, sementara yang berpendapatan di atasnya dapat secara bertahap dikurangi.
Dengan melihat perkembangan itu, mungkin sudah waktunya memperbaiki statistik penduduk miskin agar pemerintah dapat menelurkan kebijakan yang tepat untuk mengatasinya.
Opini Kompas 23 Oktober 2009