SAMPUL depan majalah Newsweek terbitan sebulan lalu memajang gambar perempuan berpakaian seksi yang tampak dari belakang. Dia sedang berjalan melenggok ke depan dengan gaya amat feminin. Di dekatnya ada tulisan dengan huruf-huruf besar: Women & Leadership - the Female Factor. Topik utama Newsweek tersebut intinya menegaskan perempuan sebenarnya memiliki kemampuan membelanjakan dana yang bisa mengentaskan dunia dari resesi.
Topik tersebut menginspirasi kolom ini karena kebetulan ada kejadian menarik akhir-akhir ini yang berkaitan dengan perempuan, yakni pengangkatan lima perempuan profesional untuk duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Mereka bukan kiriman partai-partai politik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih mereka untuk tugas-tugas yang terkait dengan usaha mengatasi kemiskinan yang masih menjadi mimpi buruk Indonesia. Pengangkatan mereka sejalan benar dengan tren global mengenai peningkatan peran perempuan, khususnya di bidang ekonomi. Perempuan akan bangkit sebagai kekuatan besar baru yang siap mendorong kemajuan perekonomian dunia pascamasa resesi. Demikian menurut hasil penelitian Boston Consulting Group (BCG), salah satu perusahaan konsultan manajemen terbesar di dunia yang memiliki 66 cabang tersebar di 38 negara.
Selalu saja di persimpangan
Menurut laporan majalah Newsweek sebulan yang lalu itu, Grup (Bank) Goldman Sachs memang menyebut perempuan sebagai mesin perekonomian masa depan. Dalam artikelnya berjudul 'The Power of the Purse' (Kekuatan Dompet), pengeluaran oleh perempuan di waktu datang--yang akan memfokus pada biaya kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan anak--akan mendorong pengembangan 'human capital' jauh melebihi dana yang dikeluarkan laki-laki untuk itu. Kenyataan lain, perempuan juga cenderung lebih banyak menabung dan kurang berani mengambil risiko finansial. Bahkan sekarang pun perempuan sudah merupakan kelompok mayoritas yang menentukan pengeluaran belanja. Menurut perkiraan BCG, perempuan sekarang menguasai US$12 triliun dari US$18,4 triliun untuk belanja konsumen tiap tahunnya. Persentasenya masih bisa terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah perempuan muda profesional yang mampu mengejar kekayaan dan status kolega laki-laki mereka. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi akan terus memperkukuh persamaan gender yang berdampak global. Gerakan sebab-akibat yang melingkar-lingkar ini memiliki efek domino yang kian meluas.
Gejala tersebut menggembirakan bagi usaha penghapusan diskriminasi gender yang telah dirasakan perempuan nyaris sepanjang sejarah peradaban. Kenyataan yang semula dirasakan tidak terelakkan itu adalah akibat faktor-faktor biologis, fisiologis, maupun psikologis. Perempuan ditakdirkan meneruskan keturunan manusia yang selanjutnya membentuk sikap dan perilaku diskriminatif terhadap dirinya.
Benih-benih egaliter memang sudah mulai tumbuh pada abad 19 dan persamaan hak berangsur-angsur dilembagakan pada abad 20. Tetapi apakah hak itu dipakai atau tidak tentunya bergantung pada individu dan kemajuan masyarakatnya. Diskriminasi juga bisa terjadi karena ketimpangan sosial-ekonomi maupun karena keyakinan politik atau kepercayaan/agama/adat. Mengenai yang disebut terakhir, filsuf China Lao Tse (604-531 SM) menyatakan, "Mereka yang mengenal kemaskulinan, tetapi tidak meninggalkan kefemininan akan menjadi saluran, dan seluruh dunia akan mengalir menuju dirinya." Menurut ajaran Timur lama itu, bagian yang tertutup dalam kehidupan ini, yang tidak dikenal dan misterius, dianalogikan dengan perempuan. Air menjadi lambangnya karena air memiliki kedalaman misterius dan dari sanalah lahir kehidupan. Kedalaman dan kepasifannya beranalogi dengan kebijaksanaan dan ketidakagresifan perempuan. Maka menurut ajaran lama itu, perempuan sejati tahu, sikap yang luhur adalah yang tanpa agresi, karena kebaikan dan kebajikan tertinggi ibarat air--mengisi, merendah, dan melimpah. Kepercayaan-kepercayaan seperti inilah yang membuat perempuan selalu saja ada di persimpangan.
Realitas-realitas baru
Guru manajemen, Peter Drucker, dalam buku The New Realities menggulirkan kenyataan-kenyataan baru dengan tuntutan-tuntutan baru pula. Ketika dituntut sikap pragmatis agar tidak ketinggalan zaman, dalam kerangka pikir itu, perempuan merupakan kekuatan ekonomi yang harus diperhatikan dan diperhitungkan secara saksama. Seiring dengan itu, kita tidak boleh mengabaikan peran teknologi informasi yang ikut memacu kemajuan perempuan di seluruh dunia. Usaha pembangunan manusia banyak terungkap lewat informasi televisi yang membuat kaum perempuan menyadari di mana posisinya, bagaimana kemampuannya, dan apa yang bisa dilakukannya untuk memajukan dirinya maupun masyarakatnya.
Budayawan Dr Soedjatmoko (alm) pernah mengatakan, "Terkembangnya masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia sendiri, telah mengakibatkan perubahan sosial yang demikian pesat dan mendalam sehingga melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lembaga, termasuk berbagai sistem politik di dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi negara usang karena peningkatan kecerdasan dan kompleksitas masyarakatnya sendiri." Studi pada 2007 oleh National Bureau of Economic Research di daerah perdesaan India menunjukkan setelah menonton TV kabel selama 6-7 bulan, laki-laki dan perempuan di sana bisa lebih terbuka tentang ide otonomi bagi perempuan dan bisa lebih menerima partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga.
Sebenarnya dalam beberapa dekade terakhir posisi perempuan telah banyak meningkat. Partisipasi mereka di dunia kerja di negara-negara maju memang sudah tinggi, tetapi di negara-negara berkembang pun jumlahnya melonjak, seiring dengan kemajuan pendidikan. Di China dan Vietnam, menurut Newsweek, 70% perempuan di sana sudah masuk lapangan kerja. Standar kesehatan masyarakat negara-negara berkembang telah meningkat dramatis dan fertilitas merosot tajam. Memang di bidang politik, jumlah mereka masih kurang, tetapi dalam tahun-tahun terakhir terlihat ada kemajuan seperti yang terjadi di Uganda, Burundi, dan Masedonia yang memiliki lebih dari 30% anggota legislatif perempuan berkat sistem kuota. Bandingkan dengan di DPR Indonesia yang untuk masa tugas 2009-2014 hanya beranggotakan 101 perempuan, atau 18% lebih sedikit.
Maka bahwa lima perempuan profesional terpilih untuk tugas-tugas strategis terkait dengan penurunan kemiskinan sebenarnya memang sesuai dengan tren global. Tentang Dr Sri Mulyani dan Dr Mari Elka Pangestu, sedikit banyak kita telah mengenal profil maupun kinerja mereka. Sebagai profesional, mereka terpilih kembali tentu karena prestasi mereka. Tambahan baru: Dr Armida Salsiah (Sally) Alisjahbana, yang belum genap 50 tahun, adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Tamatan University of Washington, Seattle, AS, itu putri Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja (alm). Nama akhirnya Alisjahbana karena dia bersuamikan Andi Alisjahbana, putra Prof Dr Iskandar Alisjahbana (alm). Tiga perempuan itu memperkuat tim ekonomi kabinet baru.
Sesuai pembicaraannya dengan Presiden Yudhoyono, ahli bedah mata Nila Djuwita Moeloek--istri mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek--mengatakan Indonesia berkeinginan mencapai Millennium Development Goals (MDGs) pada 2015. "Untuk mencapainya, kita harus mengurangi angka kemiskinan, kematian ibu dan anak, dan lain-lain," katanya. Selain tugas profesionalnya, Nila Moeloek terakhir menjabat Ketua Komite Pemberdayaan Masyarakat Jakarta.
Usaha mengatasi kemiskinan bukan topik asing bagi istri Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar. Linda Agum Gumelar adalah anak keempat Jenderal TNI (Purn) Achmad Tahir (alm). Perempuan pergerakan itu pernah menjadi anggota DPR periode 1992-1997 dan anggota MPR 1998. Sebagai Ketua Umum Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang menaungi 78 organisasi wanita di seluruh Indonesia, dia menjelaskan bahwa sejak berdirinya pada 22 Desember 1928, Kowani bercita-cita menjadi Ibu Bangsa. "Semangat Ibu Bangsa ini diharapkan bisa mengurangi kasus yang dihadapi anak-anak Indonesia seperti busung lapar dan gizi buruk hingga ke masalah angka putus sekolah yang cukup tinggi," katanya suatu kali dalam wawancara dengan harian Suara Karya.
Lima perempuan profesional melengkapi kabinet baru dengan spirit 'Faktor Perempuan'. Semoga, sesuai ramalan lembaga-lembaga asing BCG dan Goldman Sachs, perempuan memang memiliki kekuatan untuk membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan perekonomian dari resesi.
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 23 Oktober 2009