23 Oktober 2009

» Home » Republika » Ekonomi Politik Bail Out Century

Ekonomi Politik Bail Out Century

Untuk memperbaiki citranya, Bank Century berganti nama menjadi Bank Mutiara dalam posisi sudah bisa meraih laba lebih dari Rp 200 miliar. Padahal, kisruh penyelamatannya yang menelan dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga Rp 6,7 triliun, sampai saat ini, masih hangat dan sedang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Walaupun audit belum rampung, ketua BPK sudah berpendapat bahwa ada kelemahan pada pengawasan Bank Indonesia (BI). Bila demikian arah audit BPK, dugaan publik soal adanya penyimpangan aliran dana di balik penyelamatan itu bisa jadi tidak akan terjawab.
Di sisi lain, audit tersebut seharusnya merupakan tantangan bagi BI untuk membuktikan profesionalismenya sebagai bank sentral yang membuat rekomendasi keputusan KSSK, sekaligus menjawab ada tidaknya unsur politis di balik penyelamatan itu.

Masyarakat sangat menunggu hasil audit BPK yang objektif dan bisa menjawab, apakah keputusan KSSK murni alasan ekonomis atau tidak. Hal ini sangat penting supaya kisruh tersebut tidak menimbulkan moral hazard bagi pejabat publik, khususnya saat harus mengambil keputusan dalam kondisi krisis.

Kebijakan ekonomi vs krisis
Capaian ekonomi nasional di tengah krisis seharusnya sangat pantas disyukuri. Lembaga  rating internasional, Moodys, baru saja meningkatkan  rating Indonesia menjadi Ba2 dengan  outlook stable , yang merupakan modal penting untuk pemulihan ekonomi. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang masih bisa tumbuh positif sekitar empat persen, disertai dengan sistem keuangan yang relatif stabil. Padahal, negara raksasa ekonomi sekalipun, banyak yang hanya tumbuh negatif dan dengan sistem keuangan yang luluh lantak.

Majalah  The Economist bahkan menuliskan bahwa 'i' sebagai representasi untuk Indonesia dan sangat pantas untuk ditambahkan pada sebutan BRIC, negara ekonomi terkemuka baru yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, dan Cina (BRIC). Namun, gencarnya serangan politisi atas penyelamatan Century 'berhasil' membuat kekompakan petinggi Lapangan Banteng dan Thamrin porak-poranda. Tak ada lagi keharmonisan sebagaimana saat menghalau krisis. Penyelamatan Century sebagai bagian dari penanganan krisis seharusnya diekspose ke publik secara kompak oleh petinggi Depkeu, LPS, dan BI. Sayangnya, yang tampak malah saling menyalahkan, khususnya atas data rekomendasi yang disodorkan BI dan dana penyelamatan LPS.

Masyarakat barangkali memang cenderung mudah lupa dengan krisis setelah situasi normal kembali. Padahal, krisis kali ini sebetulnya lebih dahsyat daripada krisis 1997 yang hanya menimpa Indonesia dan beberapa negara Asia.

AS yang menutup sekitar 100 bank harus menggelontorkan dana hingga 700 miliar dolar AS untuk menyelamatkan ekonominya. Keputusan tidak menyelamatkan Lehmann Brothers, oleh analis disebutkan, sebagai salah satu penyebab ambruknya kepercayaan terhadap ekonomi AS hingga menyebabkan dana  bail out membengkak. Uni Eropa sendiri harus menggelontorkan duit setara 5,3 triliun dolar AS. Negara-negara besar tersebut juga menerapkan  blanket guarantee bagi seluruh dana pihak ketiga dan dana antarbank.

Bagaimana di sini? Selain berbagai relaksasi kebijakan, pemerintah hanya menyediakan dana stimulus setara 7 juta dolar AS dan tidak mengubah batas minimal penjaminan dana pihak ketiga dari angka Rp 2 miliar karena keterbatasan anggaran. Jika dibandingkan kebijakan  extraordinary yang diambil negara besar, sebetulnya kebijakan yang diambil pemerintah kita sebagai  small open economy sangatlah 'berani'. Padahal, menurut Danareksa, angka  banking pressure index (BPI) pada akhir 2008 berada di kisaran angka 0,7 yang berarti mirip dengan kondisi krisis perbankan tahun 1997. Dengan metode BPI, makin besar indeks dari angka batas 0,5; makin rawan sistem perbankan suatu negara.

Di sinilah tantangan bagi kredibilitas BI untuk bisa meyakinkan publik bahwa pada saat krisis posisi Century sebagai bank kecil, ternyata bisa menimbulkan dampak sistemik jika ditinjau dari aspek lain, seperti psikologi pasar, kondisi sistem pembayaran, dan sistem keuangan.

Seandainya Century ditutup, perlu pula diekspose, apakah saldo LPS saat itu mampu menjamin dana lima bank lain di Century serta kemungkinan penarikan dana nasabah dari 18 bank sekelasnya karena menurunnya kepercayaan terhadap sistem perbankan. Jika Century ditutup dan berdampak pada bank lain sekelas, biaya yang harus ditanggung untuk mengamankan sistem perbankan disebut-sebut mencapai sekitar Rp 30 triliun. Padahal, saldo LPS saat itu hanya di kisaran Rp 16 triliun.

Pelajaran
Keputusan apakah Century akan ditutup atau diselamatkan tentunya bukan hal yang mudah. Pengalaman buruk krisis tahun 1997 tentunya masih menyisakan trauma bagi para pengambil keputusan.

Adakah yang bisa memastikan bahwa krisis akan berakhir? Lembaga internasional pun begitu seringnya mengubah perkiraan dampak krisis terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Dana Moneter Internasional (IMF), yang semula memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh minus 0,5 persen, direvisi menjadi minus satu persen. Demikian juga dengan perkiraan World Bank yang semula satu persen dikoreksi menjadi dua persen.

Sayangnya, pelajaran karena lemahnya perangkat hukum dan kelembagaan saat krisis 1997 belum optimal diambil. Memang, kita sudah punya LPS yang dananya berasal dari iuran premi perbankan sebesar 0,1 persen dari rata-rata dana pihak ketiga (DPK). Dengan adanya LPS, dana untuk penyelamatan suatu bank seperti halnya Century diharapkan tidak akan lagi membebani uang negara.

Namun, kita belum memiliki UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Akibatnya, penggunaan perppu pemerintah untuk menyelamatkan Century PSK menjadi wajar jika kerap dipertanyakan politisi.

Mencermati polemik yang berkembang, pertimbangan profesional tampaknya lebih mendominasi penyelamatan Century. Namun demikian, kurangnya aspek perangkat hukum, rambu-rambu  good governance , serta cara komunikasi yang baik membuka peluang munculnya dugaan adanya penyelewengan atau motif lain atas keputusan tersebut.

Kini, kita semua harus mendorong adanya hasil audit BPK yang objektif, yang bisa menjawab keingintahuan atas kasus Century, mulai dari mergernya, penyelamatannya, sampai pembuktian dugaan adanya penyimpangan aliran dana yang menguntungkan pihak tertentu.


Oleh Muhammad J Putra
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Opini Republika 22 Oktober 2009