23 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Kali Gelis Siapa yang Punya?

Kali Gelis Siapa yang Punya?

Ketika investor sulit masuk wilayah Sirahan, penambang kemudian memilih lokasi sekitar 800 meter ke arah selatan. Itulah Kali Gelis yang berbatasan antara Desa Payak, Cluwak, Pati dan Desa Damarwulan, Keling, Jepara.

Ketika penambangan di lokasi tersebut sudah berlangsung enam bulan, reaksi penolakan mulai muncul dari warga Damarwulan yang mengklaim, areal penambangan berada di wilayahnya.

Sementara, pihak penambang meyakini areal tersebut masuk Desa Payak, Cluwak, Pati.

Selain klaim wilayah, keberatan warga Damarwulan terhadap penambangan tersebut karena melibatkan alat angkut puluhan armada truk.

Dalam kalkulasi mereka, akan terjadi ketidakseimbangan antara material (batu dan pasir) yang diangkut, dengan yang datang secara alami pada musim banjir.

Karena itu, adalah wajar jika kemudian muncul kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup, juga sekaligus kecemburuan sosial karena masyarakat (di mana pun) memiliki image bahwa alam terdekat adalah “milik” masyarakat setempat.

Munculnya penambangan baru yang dilengkapi alat angkut lebih besar memberikan kesan bahwa milik mereka dikeruk, dibawa (keluar), dan yang menikmati hanya segelintir orang saja.

Beberapa penambang tradisional dan petani yang memanfaatkan bantaran Kali Gelis untuk membuka lahan persawahan pun menggerutu, “Kula namung kebagian blumbang ipun,” yang artinya saya hanya kebagian lubang bekas penambangan.
Tempo Dulu Kali Gelis seperempat abad silam adalah sungai yang bening dengan debet air yang melimpah. Sungai yang dalam legenda masyarakat pernah dilewati kapal Dampo Awang saat akan menemui Sunan Muria itu, kini mulai kehilangan keindahannya.

Kali Gelis kini sudah menjadi areal persawahan dan penambangan. Saat musim kemarau, Kali Gelis berubah menjadi hamparan bebatuan dan pasir.

Hanya sedikit air yang mengalir seakan membenarkan ramalan Jayabaya bahwa sebagian dari tanda datangnya zaman akhir adalah ketika sungai mulai kehilangan kedung.

Kali Gelis yang selama ini diposisikan sebagai “milik bersama” oleh warga yang tinggal di perbatasan Kabupaten Pati dengan Jepara, kini berubah fungsi menjadi “sungai industri”. Maka, pertanyaan pun muncul, kali ini milik siapa?

Tentang klaim batas wilayah, awal tahun 80-an pernah terjadi ketika warga Damarwulan mengklaim sawah yang berlokasi di tengah-tengah Kali Gelis, tepatnya di persil 97a yang sudah bertahun-tahun digarap warga Sirahan.

Dari peta berjudul “Resident Jepara Rembang” Pati - Tajoe Regentshap Distrik Desa Bakalan - Sirahan No. 72 = 70 in een blad Schaal 1 : 5000 yang disalin petugas pengairan bernama Mustamin tertanggal 6 September 1955 itu menunjukkan tanah (sawah) di tengah Kali Gelis itu masuk wilayah Desa Bakalan-Sirahan.

Pada peta tersebut, tertera Kali Gelis yang berada di wilayah paling barat Desa Sirahan masuk wilayah Pati.

 Artinya, jika saat ini muncul klaim bahwa lokasi penambangan di Kali Gelis yang berada di selatan Desa Sirahan atau di antara wilayah Payang dengan Damarwulan, logikanya juga masuk wilayah Payak, Cluwak, Pati.

Namun, keterangan Kades Damarwulan, Keling, Jepara yang meyakini areal penambangan berada di wilayahnya juga harus dihargai.

Menurutnya, sebelum banjir bandang yang meluluhlantakkan areal persawahan di bantaran Kali Gelis tahun 2000, posisi alur Kali Gelis berada di sebelah timur areal penambangan.

Karena banjir bandang itu menyebabkan alur sungai bergeser ke arah barat. Artinya, lokasi yang saat ini ditambang disinyalir bekas sawah yang dulu digarap warga Damarwulan.

Keyakinan lain bahwa areal  penambangan itu masuk wilayah Damarwulan karena di sebelah timur Kali Gelis - posisi saat ini - ada beberapa petak tanah (sawah) berleter C atas nama warga Damarwulan.

Negatifnya, petani yang menggarap lahan sawah di bawah lokasi penambangan mengkhawatirkan aktivitas penambangan mengakibatkan makin rendahnya posisi dasar sungai sehingga air tidak bisa naik mengairi sawah mereka.

Kompromi dengan latar belakang ekonomi biasanya lebih rasional dan sangat mungkin terjadi.

Namun jika aktivitas penambangan itu tidak memerhatikan kelestarian alam, hingga menyebabkan terganggunya kebutuhan warga yang selama ini menggantungkan hidup dari menambang atau kemungkinan matinya jalur irigasi, maka warga tentu sepakat mengatakan: “Kalau air sudah tidak ada, manusia tidak bisa makan uang.’’ (80) 

– Masruri, pengamat masalah sosial, tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati.
Wacana Suara Merdeka 23 Oktober 2009