Oleh DJASÉPUDIN
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang berkembang pesat, Bandung sejak baheula hingga ayeuna jadi pusat tujuan semua lapisan masyarakat. Berduyun-duyun masyarakat dari pelbagai penjuru kota/kabupaten berkunjung dan menetap di Kota Bandung. Dengan tekad mencari ilmu dan pengetahuan di perguruan tinggi, belasan ribu (calon) mahasiswa saban tahun membanjiri Bandung. Namun, ketika sudah meraih gelar sarjana, para intelektual muda itu tidak segera pulang ke kampung halaman.
Di setiap sudut Kota Bandung menjamur mal, mart, PKL, dan pasar dadakan yang digelar di seputar taman, jalan, dan pusat pemerintahan. Hal itu mengakibatkan Kota Bandung makin sibuk.
Meski tidak sesejuk 1980-an, Bandung masih jadi primadona wisatawan nusantara dan mancanegara. Wisatawan yang hendak melepas lelah dan membuang penat dari rutinitas keseharian itu selain datang dengan membawa uang juga hadir dengan mengemudikan ribuan kendaraan.
Dengan julukan anyar kota kreatif, kota mode, kota kuliner, kota musik, dan kota Persib, hampir setiap hari berlangsung kegiatan yang menyedot ribuan warga di berbagai titik. Apalagi para bobotoh Persib. Jangankan pertandingan resmi, pada latihan sehari-hari saja ratusan bobotoh mah selalu mengerubuti Christian Gonzales dan kawan-kawan. Sabageur-bageurna puluhan ribu bobotoh kala datang dan pulang dari stadion, dapat dipastikan, akan mengganggu ketertiban di sepanjang jalan.
Fakta-fakta tersebut menjadi beberapa sebab permasalahan kependudukan, sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan kenyamanan di Kota Bandung makin pelik. Salah satu akibatnya Bandung ayeuna kian digencet macet.
Untuk sebagian besar masyarakat, kemacetan adalah siksaan yang sangat berbahaya dan menyakitkan. Gara-gara macet yang hendak sekolah jadi terlambat, transaksi bisnis jadi terhambat, kondisi lingkungan makin buruk, antarpengguna jalan sering ribut, kualitas kesehatan warga terus menciut.
Ketika kaum muda Bandung selalu digencet macet mereka sering bergumam dengan gurauan "Kolot di jalan, yeuh (Tua di jalan, nih)". Meminimalisasi kuantitas kemacetan dan meningkatkan kualitas ketertiban pengguna jalan dapat kita wujudkan.
Upaya Pemkot Bandung menggelar Hari Bebas Kendaraan pada setiap Minggu akan lebih baik jika hari, jam, jumlah, dan jarak jalannya ditambah. Sebab, ketika hanya Jalan Dago terlarang bagi mobil dan motor maka penumpukan kendaraan di sekitar Jalan Dago tak terelakkan. Dengan demikian, kemacetan hanya pindah tempat.
Upaya lain yang wajib ditempuh adalah kesadaran pengguna jalan dan para aparat berwenang. Permasalahan kemacetan akan teratasi jika ada komitmen dan kebersamaan. Misal, dalam suatu urusan, ketegasan polisi dan para pemangku kepentingan jangan sampai dikalahkan oleh kekuatan uang. Ketika ada pelanggaran sebisa mungkin hindari "jalan damai".
Lantas, Dinas Perhubungan dan dinas-dinas lainnya jangan segan-segan untuk "mengandangkan" kendaraan pribadi dan umum yang tidak memiliki izin, kualitas hasil pembakaran mesin kendaraannya di bawah standar yang ditentukan, dan kendaraan yang parkir sembarangan.
Pelajar, mahasiswa, pekerja, atau pedagang, saya pikir dapat menekan tingkat kemacetan. Caranya, Jauhi jalan raya! Sumuhun, untuk memenuhi pelbagai kebutuhan kita jangan terlampau sering datang langsung ke kampus, kantor, atau pusat perbelanjaan.
Pejabat pemkot, pihak rektorat, jajaran manajer, atau para pengelola pusat niaga bekerja sama agar masyarakat tidak hilir mudik di sepanjang jalan. Toh teknologi, informasi, dan komunikasi sudah semakin tinggi.
Pembuatan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan atau transaksi perdagangan semua dilaksanakan dengan sistem online. Masyarakat tak perlu lagi datang ke pusat pemerintahan dan pusat perbelanjaan yang biasanya menguras energi, uang, dan menggunakan banyak kendaraan.
Sekadar mendengarkan materi kuliah para dosen bukankah mahasiswa tidak perlu harus hadir di ruang-ruang kuliah? Makalah dosen atau tugas-tugas mahasiswa juga bisa lebih efektif dan efesien jika dikirim menggunakan surat elektronik atau faksimile.
Manajer perusahaan sudah saatnya memikirkan sejumlah pekerjaan tidak selalu mesti dilakukan di pabrik-pabrik. Untuk beberapa produksi barang, pekerjaan yang biasa terpusat di pabrik-pabrik bisa dilakukan di rumah-rumah.
Lalu, jadikan kendaraan bermotor sebagai penunjang dan penggunaannya hanya dalam situasi yang sangat mendesak. Selama bisa ditempuh dengan jalan kaki, untuk apa menghabiskan BBM? Bila dirasa agak jauh bukankah kehormatan kita tidak akan sirna jika menggunakan sepeda?
Akhirul kalam, dalam melakukan pelbagai jenis pekerjaan sudah selayaknya kita tidak tergantung pada jalan raya. Jadikan kendaraan sebagai penunjang dan penggunaannya hanya dalam situasi yang sangat mendesak. Toh segalanya bisa dilakukan di rumah.
Jika hal itu dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan kita akan terhidar dari bahaya tua di jalan.***
Penulis, alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad, guru honorer bahasa Sunda di SD Islam Al-Azhar 27 Cibinong.
Opini Pikiran Rakyat 5 Januari 2010