Oleh Soeroso Dasar
Walaupun seorang ahli manajemen, Igor Ansoff, dalam  bukunya "Implanting Strategic Management" mengatakan, kita saat ini  memasuki phase discontinues dan surpriseful, tetap saja berbagai  kalangan melakukan ramalan prospek ekonomi Indonesia 2011. Menurut Igor,  perekonomian dan bisnis tidak bisa lagi dengan kaku menggunakan  database tahun lalu untuk dijadikan pijakan dasar analisis. Demikian  pula di era globalisasi, berbagai kejutan terjadi di dunia yang pada  gilirannya akan mengganggu perencanaan secara keseluruhan. Sekarang  tidak ada lagi yang pasti dalam perencanaan pembangunan bangsa. Pendapat  tadi masih diperdebatkan di kalangan akademisi. 
Selama lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan  pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 7 persen hingga 8 persen  setiap tahun. Terkesan begitu optimistis karena angka tersebut hanya  pernah dicapai ketika negeri ini belum dihantam resesi pada 1997.  Pertumbuhan ekonomi kita selama ini tidak menggambarkan demikian.  Buktinya, pada 2005 (5,6 persen), 2006 (5,5 persen), 2007 (6,3 persen),  2008 (6,1 persen), 2009 (4,5 persen), 2010 (5,8 persen sampai triwulan  III). Apakah angka pertumbuhan 7 persen-8 persen merupakan angka  optimistis, pesimistis, atau moderat? 
Meminjam istilah Prof. Rina Indiastuti, Guru Besar  Fakultas Ekonomi Unpad, target pertumbuhan 7 persen-8 persen dengan  halus menurutnya adalah "angka kenangan". Membedah secara pasti angka  pertumbuhan tadi, masih banyak asumsi yang harus diperhitungkan kembali.  Pertumbuhan yang tinggi, pada 2011 PDB (product domestic bruto) harus  mencapai 900 triliun rupiah. Inflasi berada pada level 5,1 persen atau  5,3 persen. Mulai 2011, pemerintah juga ingin terus mengembangkan enam  koridor ekonomi yang diharapkan menjadi penopang "mimpi" pertumbuhan  tersebut. 
Konsep koridor ekonomi merupakan "roh" dan arah  Undang-Undang No. 17/2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025, menetapkan enam  wilayah koridor ekonomi, yaitu Sumatra dan Jawa Barat utara, pantai  utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jatim-Bali-NTB, dan Papua.  Sayangnya, kemungkinan akan terjadi keterpaduan dan koneksi antara  koridor-koridor ekonomi itu banyak dipertanyakan. Sering kali rencana  dibuat Bappenas (pusat), belum tentu sinergis dengan perencanaan  pembangunan daerah (Bapeda). Contohnya, koridor ekonomi 1 adalah Jabar  utara, sementara saat ini Jabar menggarap pembangunan infrastruktur dan  perhatian lebih ke Jabar Selatan. 
Tidak salah apabila kita kritisi angka 7 persen-8  persen dengan mengonfrontasi berbagai pernyataan pemerintah. Salah satu  komponen perhitungan inflasi adalah harga bahan pokok, khususnya beras.  Rencana 2010 impor beras dari Vietnam 550 ribu ton, 50 ribu ton dari  Thailand, mendadak direvisi. Kini, pemerintah melakukan enam kali  kesepakatan impor beras total 1,23 juta ton, dengan alasan cuaca  ekstrem. Lucunya, data BPS yang dikutip Menteri Pertanian mengatakan  Indonesia surplus beras 5,6 juta ton, karena peningkatan produksi lokal  2,46 persen. Apabila pada 2011 kondisinya masih demikian, tingkat  inflasi yang mampu "dijinakkan" pada level 5,1 bisakah kita percaya?  Semua terjadi pada saat harga kebutuhan pokok terus melambung. Dengan  alasan cuaca, harga cabai menembus Rp 100.000. Tragisnya, harga di  tingkat petani Rp 40.000. 
Begitu juga dengan penerimaan pajak sepanjang 2010  meleset dari target APBN perubahan (98,1 persen). Sementara pengeluaran  negara dalam bentuk subsidi dalam APBN perubahan 2010 melebihi target,  yakni sekitar 106,4 persen. Melesetnya subsidi karena beban subsidi  listrik lebih dari 104 persen. Bagaimana dengan subsidi bahan bakar,  pangan, kemungkinan terjadinya bencana pada 2011? Semuanya bisa  mengganggu proses pembangunan yang demikian indah direncanakan. Ketika  gangguan alam terjadi, sektor pertanian menjerit, perikanan babak belur,  dan semua sektor yang masih bersinggungan dengan alam akan hancur. 
Rencana kenaikan harga BBM pada Maret 2011 tentu akan  memicu tingkat inflasi. Namun yang mencerahkan hati kita adalah  dinamika dan besaran ekonomi Indonesia masuk dalam 20 besar di dunia.  Nilai ekspor pun mampu menembus hingga 15,34 miliar dolar AS, serta  harga minyak mentah dunia relatif membaik. Apabila ini bisa terus  dipertahankan kemudian pemerintah konsisten dengan kebijakan ekspornya,  serta gejolak ekonomi dunia relatif stabil, mimpi pertumbuhan tujuh  persen insya Allah dapat terbukti.
Pertanyaan lanjutan, apakah meningkatnya pertumbuhan  ekonomi akan membawa dampak peningkatan peradaban manusia Indonesia?  Apakah pertumbuhan itu mampu mendorong petumbuhan sektor riil yang  merupakan bergantungnya hajat hidup orang banyak? Pertumbuhan tinggi  bisa saja terjadi apabila dipacu oleh perusahaan besar, sektor  perbankan, yang pada umumnya padat teknologi dan modal. Namun dampaknya  terhadap penyerapan tenaga kerja kecil sekali. Di sinilah peran  pemerintah memainkan strategi serta perencanaannya agar pembangunan  tetap menetes ke bawah. Tidak ada gunanya pertumbuhan terbang setinggi  langit jika rakyat tetap melarat, jelata, dan duafa. Itu namanya  pertumbuhan semu.
Pertumbuhan ekonomi yang baik kita butuhkan. Namun,  pemerataan pembangunan jauh lebih kita utamakan karena jurang pemisah  antara yang kaya dan papa semakin menguak lebar. Semuanya terjadi dan  lahir dari rahim pembangunan yang diciptakan dan direncanakan oleh  pemerintah. Apabila ini dibiarkan, akan mengundang konflik sosial baik  vertikal maupun horizontal. 
Dari berbagai kekhawatiran, kegembiraan kita muncul  ketika mendengar para politisi mengatakan tiga tahun ke depan adalah  tahun kerja, bukan politik. Tahun 2011 atau tahun kelinci diyakini lebih  ramah dan adem ayem itu, yang penting adalah kerja keras, kebersamaan,  dengan motivasi semangat tidak menyerah. Terlalu banyak potensi negeri  ini yang belum digali, yang pada gilirannya mampu mengangkat peradaban  manusianya. Sebenarnya dengan modal pertumbuhan ekonomi 7 persen hingga 8  persen banyak yang dapat diperbuat untuk bangsa. Asal dana pembangunan  ini jangan "tercecer" atau "bocor" di tengah jalan. Tidak perlu bermimpi  terjadi oil boom seperti dulu ketika dana pembangunan berlimpah.  Indonesia hari ini tidak seperti dulu. Indonesia hari ini memerlukan  kerja keras, bangkit dengan kebersamaan. Semoga.***
Penulis, pengamat sosial tinggal di Bandung. 
Opini Pikiran Rakyat 10 Januari 2011