09 Januari 2011

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Prospek Ekonomi 2011

Prospek Ekonomi 2011

Oleh Soeroso Dasar
Walaupun seorang ahli manajemen, Igor Ansoff, dalam bukunya "Implanting Strategic Management" mengatakan, kita saat ini memasuki phase discontinues dan surpriseful, tetap saja berbagai kalangan melakukan ramalan prospek ekonomi Indonesia 2011. Menurut Igor, perekonomian dan bisnis tidak bisa lagi dengan kaku menggunakan database tahun lalu untuk dijadikan pijakan dasar analisis. Demikian pula di era globalisasi, berbagai kejutan terjadi di dunia yang pada gilirannya akan mengganggu perencanaan secara keseluruhan. Sekarang tidak ada lagi yang pasti dalam perencanaan pembangunan bangsa. Pendapat tadi masih diperdebatkan di kalangan akademisi.
Selama lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 7 persen hingga 8 persen setiap tahun. Terkesan begitu optimistis karena angka tersebut hanya pernah dicapai ketika negeri ini belum dihantam resesi pada 1997. Pertumbuhan ekonomi kita selama ini tidak menggambarkan demikian. Buktinya, pada 2005 (5,6 persen), 2006 (5,5 persen), 2007 (6,3 persen), 2008 (6,1 persen), 2009 (4,5 persen), 2010 (5,8 persen sampai triwulan III). Apakah angka pertumbuhan 7 persen-8 persen merupakan angka optimistis, pesimistis, atau moderat?
Meminjam istilah Prof. Rina Indiastuti, Guru Besar Fakultas Ekonomi Unpad, target pertumbuhan 7 persen-8 persen dengan halus menurutnya adalah "angka kenangan". Membedah secara pasti angka pertumbuhan tadi, masih banyak asumsi yang harus diperhitungkan kembali. Pertumbuhan yang tinggi, pada 2011 PDB (product domestic bruto) harus mencapai 900 triliun rupiah. Inflasi berada pada level 5,1 persen atau 5,3 persen. Mulai 2011, pemerintah juga ingin terus mengembangkan enam koridor ekonomi yang diharapkan menjadi penopang "mimpi" pertumbuhan tersebut.
Konsep koridor ekonomi merupakan "roh" dan arah Undang-Undang No. 17/2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025, menetapkan enam wilayah koridor ekonomi, yaitu Sumatra dan Jawa Barat utara, pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jatim-Bali-NTB, dan Papua. Sayangnya, kemungkinan akan terjadi keterpaduan dan koneksi antara koridor-koridor ekonomi itu banyak dipertanyakan. Sering kali rencana dibuat Bappenas (pusat), belum tentu sinergis dengan perencanaan pembangunan daerah (Bapeda). Contohnya, koridor ekonomi 1 adalah Jabar utara, sementara saat ini Jabar menggarap pembangunan infrastruktur dan perhatian lebih ke Jabar Selatan.
Tidak salah apabila kita kritisi angka 7 persen-8 persen dengan mengonfrontasi berbagai pernyataan pemerintah. Salah satu komponen perhitungan inflasi adalah harga bahan pokok, khususnya beras. Rencana 2010 impor beras dari Vietnam 550 ribu ton, 50 ribu ton dari Thailand, mendadak direvisi. Kini, pemerintah melakukan enam kali kesepakatan impor beras total 1,23 juta ton, dengan alasan cuaca ekstrem. Lucunya, data BPS yang dikutip Menteri Pertanian mengatakan Indonesia surplus beras 5,6 juta ton, karena peningkatan produksi lokal 2,46 persen. Apabila pada 2011 kondisinya masih demikian, tingkat inflasi yang mampu "dijinakkan" pada level 5,1 bisakah kita percaya? Semua terjadi pada saat harga kebutuhan pokok terus melambung. Dengan alasan cuaca, harga cabai menembus Rp 100.000. Tragisnya, harga di tingkat petani Rp 40.000.
Begitu juga dengan penerimaan pajak sepanjang 2010 meleset dari target APBN perubahan (98,1 persen). Sementara pengeluaran negara dalam bentuk subsidi dalam APBN perubahan 2010 melebihi target, yakni sekitar 106,4 persen. Melesetnya subsidi karena beban subsidi listrik lebih dari 104 persen. Bagaimana dengan subsidi bahan bakar, pangan, kemungkinan terjadinya bencana pada 2011? Semuanya bisa mengganggu proses pembangunan yang demikian indah direncanakan. Ketika gangguan alam terjadi, sektor pertanian menjerit, perikanan babak belur, dan semua sektor yang masih bersinggungan dengan alam akan hancur.
Rencana kenaikan harga BBM pada Maret 2011 tentu akan memicu tingkat inflasi. Namun yang mencerahkan hati kita adalah dinamika dan besaran ekonomi Indonesia masuk dalam 20 besar di dunia. Nilai ekspor pun mampu menembus hingga 15,34 miliar dolar AS, serta harga minyak mentah dunia relatif membaik. Apabila ini bisa terus dipertahankan kemudian pemerintah konsisten dengan kebijakan ekspornya, serta gejolak ekonomi dunia relatif stabil, mimpi pertumbuhan tujuh persen insya Allah dapat terbukti.
Pertanyaan lanjutan, apakah meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan membawa dampak peningkatan peradaban manusia Indonesia? Apakah pertumbuhan itu mampu mendorong petumbuhan sektor riil yang merupakan bergantungnya hajat hidup orang banyak? Pertumbuhan tinggi bisa saja terjadi apabila dipacu oleh perusahaan besar, sektor perbankan, yang pada umumnya padat teknologi dan modal. Namun dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja kecil sekali. Di sinilah peran pemerintah memainkan strategi serta perencanaannya agar pembangunan tetap menetes ke bawah. Tidak ada gunanya pertumbuhan terbang setinggi langit jika rakyat tetap melarat, jelata, dan duafa. Itu namanya pertumbuhan semu.
Pertumbuhan ekonomi yang baik kita butuhkan. Namun, pemerataan pembangunan jauh lebih kita utamakan karena jurang pemisah antara yang kaya dan papa semakin menguak lebar. Semuanya terjadi dan lahir dari rahim pembangunan yang diciptakan dan direncanakan oleh pemerintah. Apabila ini dibiarkan, akan mengundang konflik sosial baik vertikal maupun horizontal.
Dari berbagai kekhawatiran, kegembiraan kita muncul ketika mendengar para politisi mengatakan tiga tahun ke depan adalah tahun kerja, bukan politik. Tahun 2011 atau tahun kelinci diyakini lebih ramah dan adem ayem itu, yang penting adalah kerja keras, kebersamaan, dengan motivasi semangat tidak menyerah. Terlalu banyak potensi negeri ini yang belum digali, yang pada gilirannya mampu mengangkat peradaban manusianya. Sebenarnya dengan modal pertumbuhan ekonomi 7 persen hingga 8 persen banyak yang dapat diperbuat untuk bangsa. Asal dana pembangunan ini jangan "tercecer" atau "bocor" di tengah jalan. Tidak perlu bermimpi terjadi oil boom seperti dulu ketika dana pembangunan berlimpah. Indonesia hari ini tidak seperti dulu. Indonesia hari ini memerlukan kerja keras, bangkit dengan kebersamaan. Semoga.***
Penulis, pengamat sosial tinggal di Bandung. 
Opini Pikiran Rakyat 10 Januari 2011