04 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » BBM Bersubsidi dan Masyarakat Terpencil

BBM Bersubsidi dan Masyarakat Terpencil

Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk memulai kebijakan pembatasan BBM subsidi paling cepat pada akhir kuartal I 2011, dengan catatan setelah pemerintah melakukan kajian yang harus disetujui DPR (Komisi VII) terlebih dahulu. Bila kebijakan itu diterapkan pada waktu yang telah ditentukan nanti, dampaknya mobil pelat hitam tak boleh lagi mengonsumsi BBM subsidi. Hal itu didasarkan kepada argumen bahwa subsidi BBM yang diberikan pemerintah selama ini belum tepat sasaran, yaitu subsidi seharusnya tidak diberikan kepada komoditas BBM-nya, tetapi diberikan kepada subjek yang menjadi pengguna komoditas BBM tersebut. Mereka adalah masyarakat dengan kekuatan ekonomi lemah, yaitu penduduk miskin Indonesia yang tersebar di perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan hitungan yang penulis sampaikan beberapa waktu lalu (Maju Mundur Kebijakan Pembatasan BBM Subsidi, Media Indonesia, 2 Desember 2010), besarnya subsidi BBM yang tepat sasaran kepada masyarakat miskin hanya sekitar 14,47%.

Berdasarkan data BPS Maret 2010, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta orang, yang sebagian besar berada di perdesaan, yaitu mencapai 64,23% dari total penduduk miskin di Indonesia. Di antara masyarakat miskin di perdesaan itu, yang kondisi kemiskinannya paling rentan adalah yang berdiam di wilayah terpencil. Wilayah terpencil tersebut dapat berada di pulau-pulau kecil dan pedalaman. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, jumlah desa yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebanyak 73.067 desa. Dari jumlah tersebut, desa terpencilnya mencapai 24.051 desa (Okezone.com, 25 Oktober 2010), atau lebih dari 30% dari total seluruh desa yang ada. Adapun dari sisi jumlah, penduduknya pun cukup banyak. Dengan menggunakan asumsi yang didasarkan dari informasi yang disampaikan Kepala BPS Rusman Heriawan (30 Mei 2010) yang dirilis sejumlah media, bahwa 10% sisa data terakhir Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 yang masuk berasal dari daerah terpencil, dengan jumlah total penduduk Indonesia pada sensus penduduk 2010 berjumlah 237.556 363 jiwa, jumlah penduduk di daerah terpencil diperkirakan sekitar 23 juta jiwa.

Apabila dilihat dari jumlah desa terpencil beserta jumlah penduduk mereka, angkanya tidak bisa dianggap remeh. Namun karena keberadaan mereka yang terpencil, suara atau aspirasi mereka biasanya tidak sampai kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat. Selanjutnya, ketidakmampuan bersuara (voicelessness) dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam hubungannya dengan negara menjadikan mereka berada pada posisi marginal dan terlupakan (atau bahkan mungkin dilupakan) oleh para pengambil keputusan di tingkat pusat karena selama ini yang muncul ke permukaan dan menjadi topik hangat di media massa adalah konsumsi BBM subsidi untuk pemilik kendaraan yang umumnya berada di perkotaan.

Jika dilihat dari aspek kestabilan politik, persatuan dan kesatuan bangsa, subsidi kepada masyarakat di wilayah terpencil mutlak diperlukan, terutama di wilayah yang berbatasan dengan negara lain, karena pulau-pulau terluar dan daerah-daerah perbatasan dengan negara lain secara tidak langsung merupakan simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, sangat tidak tepat bila perbatasan dianggap sebagai wilayah belakang NKRI. Demi citra negara, wilayah perbatasan dalam paradigma pembangunan harus dijadikan sebagai beranda depan yang mencermin NKRI.

Masyarakat terpencil dan BBM subsidi

Selama ini, penyaluran BBM subsidi hanya sampai ke SPBU dan APMS. Padahal, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil kesulitan untuk membeli BBM subsidi ke SPBU/APMS karena lokasi mereka sangat jauh. Bila masyarakat di daerah terpencil memaksakan diri membeli BBM subsidi di SPBU/APMS terdekat, bisa jadi BBM yang dibeli tersebut hanya tersisa separuhnya, atau sudah habis, atau bahkan mungkin tidak cukup untuk sampai ke tempat tinggal mereka di daerah terpencil. Bila warga tersebut membeli BBM subsidi di SPBU/APMS dengan menggunakan wadah, misalnya jeriken atau drum, bisa jadi dia ditangkap pihak berwajib karena tidak memiliki surat izin untuk membawa BBM dengan wadah sehingga dapat dianggap tindakan ilegal karena diduga hendak menimbun BBM. Padahal BBM sangat dibutuhkan di daerah terpencil, di antaranya sebagai bahan bakar traktor untuk pertanian, bahan bakar motor tempel untuk nelayan, bahan bakar generator kecil untuk menerangi desa, dan bahan bakar motor untuk kebutuhan transportasi.

Sehubungan dengan APMS, APMS adalah lembaga penyalur di daerah terpencil yang merupakan embrio dari SPBU yang mendistribusikan BBM kepada konsumen akhir (sesuai dengan perpres) dengan harga subsidi dan diberikan volume alokasi yang pendistribusiannya menggunakan mobil tangki/mobil bak terbuka/kapal/tongkang/LCT (landing craft tanker)/pesawat. Moda transportasi yang digunakan untuk mendistribusikan BBM ke APMS dapat lebih dari satu. Contohnya dalam pendistribusian BBM ke APMS di Papua, yaitu dari Manokwari ke Teluk Wondama yang menggunakan moda transportasi darat–laut–darat karena menempuh jarak yang jauh, mencapai sekitar 450 km. Berdasarkan data per Oktober 2009, APMS yang ada baru berjumlah 578 APMS sehingga masih belum sebanding dengan jumlah daerah terpencil yang ada di Indonesia.

Tata penyaluran

Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah konkret untuk menyuplai BBM subsidi kepada masyarakat di daerah terpencil. Bila Pertamina sebagai sebuah korporasi yang menyalurkan BBM ke daerah terpencil, akan tidak efisien, di samping pelaksanaan operasional di lapangan yang terlalu kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengusulkan penggunaan perangkat pemerintahan untuk menyalurkan BBM subsidi ke wilayah terpencil, yaitu kelurahan sebagai instrumen pemerintahan yang terkecil di daerah. Dalam hal ini, tiap kelurahan di daerah terpencil ditugasi untuk membentuk lembaga penyalur BBM subsidi (misalnya koperasi/KUD), yang kemudian diproses Kementerian ESDM untuk mendapatkan izin resmi menyalurkan BBM subsidi.

Bagaimana teknis pelaksanaannya? Penulis mengusulkan agar setiap kelurahan di daerah terpencil mendata masyarakat yang ada di wilayah masing-masing yang berhak mendapatkan BBM subsidi (termasuk nelayan dan pembudi daya ikan). Selanjutnya, setiap kelurahan menghitung jumlah BBM yang dibutuhkan di kelurahan tersebut setiap bulannya dengan menggunakan formula penghitungan yang sudah distandardisasi. Jumlah BBM subsidi yang dibutuhkan tersebut kemudian diusulkan ke dinas terkait di pemda setempat untuk diverifikasi. Setelah usulan diverifikasi, koperasi desa yang dibentuk kelurahan untuk menjadi penyalur BBM subsidi (yang telah mendapatkan izin resmi dari Kementerian ESDM) mengambil BBM subsidi di SPBU/APMS terdekat yang sudah ditentukan Kementerian ESDM. Dalam hal ini, pengangkutan BBM subsidi diusahakan sendiri oleh koperasi tersebut dengan menggunakan alat transportasi yang layak dan sesuai ketentuan, dan pemerintah kemudian mengganti ongkos angkutnya secara tunai agar BBM subsidi tersebut dapat dijual kepada masyarakat di daerah terpencil dengan harga subsidi. Pada akhirnya, masyarakat di daerah terpencil yang sudah didata dapat membeli BBM subsidi di koperasi yang ditunjuk kelurahan di wilayah masing-masing.

Berdasarkan uraian tersebut, siapa sajakah yang terlibat dalam keseluruhan proses ini? Mereka adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPH Migas, dan Pertamina. Kementerian Dalam Negeri bertugas mengoordinasikan jajaran mereka di daerah untuk mendata dan menyalurkan BBM subsidi di daerah terpencil. Kementerian ESDM bertugas menangani perizinan kepada koperasi-koperasi yang telah ditunjuk kelurahan yang berada di wilayah terpencil untuk menyalurkan BBM subsidi, serta mengawasi standar kualitas produk dan standar kualitas peralatan dan alat angkut untuk memenuhi aspek keamanan (safety) dalam pengiriman BBM subsidi ke daerah terpencil. Kementerian Kelautan dan Perikanan bertugas memonitor pemenuhan BBM bersubsidi sesuai kebutuhan bagi para nelayan dan pembudi daya ikan di daerah terpencil. BPH Migas bertugas mengawasi penyaluran BBM subsidi agar jangan sampai terjadi penyimpangan. Adapun Pertamina sebagai perusahaan migas nasional yang telah memiliki infrastruktur yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia bertugas menyalurkan BBM subsidi ke SPBU/APMS yang telah ditentukan. Sinergi yang solid dari seluruh instansi terkait sesuai dengan kompetensi masing-masing akan memberikan hasil yang nyata bagi pemenuhan BBM subsidi bagi masyarakat terpencil.

Akhir kata, bila hal itu dapat diimplementasikan dengan baik, asas pemerataan akan terpenuhi, yaitu masyarakat Indonesia di daerah terpencil juga diperhatikan dan diperlakukan secara adil sehingga dapat berkembang bersama dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Selanjutnya, hal itu diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan mereka, menjadikan mereka lebih berdaya, mampu melepaskan diri dari keterbelakangannya, dan pada akhirnya menjadi masyarakat yang maju dan mandiri. Semoga! 
Opini Media Indonesia 5 Januari 2010