04 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Pak Beye dan Jaminan Sosial

Pak Beye dan Jaminan Sosial

Apakah pemerintah siap melindungi rakyat dari kebangkrutan rumah tangga? Sebaliknya, pemerintah cepat melindungi bank bermasalah dari kebangkrutan.
Awal tahun 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—yang oleh seorang wartawan dijuluki Pak Beye—mengeluarkan Inpres Nomor 1/2010 yang antara lain berisi penyelesaian UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 2010. UU BPJS itu diperlukan untuk menjalankan program jaminan sosial. Program jaminan sosial adalah program perlindungan rakyat dari kebangkrutan rumah tangga akibat sakit berat, kematian, atau pensiun.
Atas perintah Pasal 34 Ayat 2 UUD 1945, tahun 2004 telah diundangkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam UU SJSN tersebut diatur pokok-pokok jaminan kesehatan dan jaminan pensiun untuk seluruh rakyat, mulai lahir sampai mati. Jika Pak Beye bereaksi cepat atas ancaman keamanan ketika ada isu teroris atau ada ancaman RMS di Belanda, rakyat menunggu reaksi cepat tim Pak Beye dalam perlindungan rakyat.
Pembenaran
Pasal 5 Ayat 1 UU SJSN menyatakan bahwa BPJS dibentuk dengan UU. Pasal itu timbul antara lain akibat penilaian pemerintah dan DPR pada tahun 2004 yang menunjukkan ada kekurangan program jaminan sosial yang dikelola empat BUMN (PT Persero): ASABRI, Askes, Jamsostek, dan Taspen. PT Jamsostek dalam 15 tahun, misalnya, masih gagal mencapai tujuan UU Jamsostek untuk melindungi semua pekerja. Sampai hari ini hanya sekitar 40 persen pekerja yang terlindungi oleh PT Jamsostek secara parsial.
Kurang dari 5 persen pekerja yang terlindungi oleh Jamsostek dari kebangkrutan rumah tangga akibat suatu penyakit. Banyak pemimpin rumah sakit dan peserta Askes (pegawai negeri sipil dan pensiunannya) yang menilai bahwa PT Askes belum melindungi sepenuhnya rumah tangga pegawai negeri dan pensiunan. Namun, Menteri Negara BUMN menilai kedua BUMN tersebut sukses besar dengan indikator keuangan yang sehat. Keliru! Seharusnya kinerja BPJS diukur sesuai dengan visi-misinya: melindungi peserta, bukan menghasilkan uang.
Dalam RUU BPJS versi DPR, keempat badan itu digabungkan menjadi satu badan yang bukan BUMN, melainkan badan hukum publik. Inilah best practices di seluruh dunia.
Model satu instansi yang mengurus semua program jaminan sosial secara nasional memang dijalankan oleh Amerika Serikat. Model ini memastikan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam program jaminan sosial. Dalam konsep DPR, sebuah BPJS dibentuk atau ”ditetapkan” dan ”diatur” tata kelolanya untuk menjamin transparansi dan tata kelola korporat—bukan pemerintahan—yang baik.
Versi DPR mengambil asumsi dasar bahwa substansi UU SJSN mengatur program negara yang bukan bisnis jual-beli dan karena itu diperlukan kendaraan (BPJS) yang sesuai untuk itu. Maka, pembahasan BPJS harus tidak terisolasi dari substansi UU SJSN.
Falsafah dan tujuan program jaminan sosial harus menjadi penentu pengaturan UU BPJS. Versi DPR tampaknya tidak menampung pembahasan UU BPJS sekadar membahas arti kata dibentuk dalam UU SJSN. Maksud dan tujuan UU SJSN adalah memperbaiki, mengembangkan, dan mengubah pengelolaan, yang selama ini berkonflik antara pengelolaan dana pungutan (iuran) wajib dan badan hukum yang ditugasi mencari laba.
Versi pemerintah menolak pengaturan. Pemerintah ingin agar BPJS hanya ditetapkan, bukan diatur. Yang mengaku ahli hukum pemerintah menyatakan bahwa kata dibentuk dalam UU SJSN harus ditafsirkan bezeking ’penetapan’, bukan regeling ’pengaturan’. Tidak jelas apakah UU SJSN yang disusun dengan bahasa Indonesia harus ditafsirkan dengan bahasa Belanda. Kata yang digunakan dalam UU SJSN adalah dibentuk, bukan ditetapkan. Apa bedanya?
Jika kata dibentuk ditafsirkan sebagai ditetapkan tanpa mengaitkannya dengan prinsip UU SJSN, maka pertanyaannya, bagaimana tata kelola BPJS? Karena tidak diatur, maka hanya satu kemungkinan tata kelola, yaitu sesuai dengan status badan hukum BPJS: BUMN. Status quo!
Salah satu argumennya adalah BUMN yang ada sekarang sudah berjalan baik, menurut versi pemerintah! Ada potensi konflik di sini. Jika BPJS berbentuk PT Persero, indikator kinerja BPJS diukur sesuai dengan tujuan perseroan yang, berdasarkan UU No 19/2003, merupakan suatu lembaga bisnis pencari laba.
Dengan sendirinya, pemaksaan ditetapkan, bukan diatur akan memaksa BPJS melanggar UU BUMN itu sendiri. Dalam UU SJSN, BPJS diberi kewenangan menerima dan mengelola pungutan (iuran) wajib yang esensinya sama dengan dana pajak penghasilan. Untuk itu, BPJS tak cocok sebagai lembaga bisnis perseroan yang fungsi utamanya transaksi jual-beli.
Motif lain?
Banyak orang tahu bahwa PT Jamsostek mengelola Dana Amanat, milik pekerja yang sekarang baru mencapai Rp 90 triliun. Jika UU SJSN dijalankan secara konsekuen, dalam waktu lima tahun ke depan Dana Amanat akan mencapai Rp 300 triliun. Jumlah dana yang besar ini berpotensi menjadi daya tarik khusus untuk sebagian orang.
Meski dengan kerja bersih, penempatan dana investasi obligasi, deposito, reksa dana, atau pembelian saham ke berbagai bank atau perusahaan dapat menguntungkan sebagian orang atau kelompok. Apalagi jika Dana Amanat itu dikelola tak transparan sebagaimana umumnya pengelolaan sebuah perseroan.
Apabila BPJS ”ditetapkan dan diatur” pengelolaannya, maka BPJS merupakan badan hukum publik yang tata kelolanya harus transparan. Aliran dana, investasi, baik obligasi, saham, maupun deposito harus terbuka. Hal itu diatur dalam UU BPJS. Maka, akan lebih sulit bagi sebagian orang untuk main-main dengan Dana Amanat. Dalam UU SJSN, pengelolaan Dana Amanat dan program harus transparan karena dana tersebut merupakan pungutan (iuran wajib).
Yang jelas, selama ini pekerja mengalami kerugian potensial yang mungkin mencapai Rp 10 triliun akibat pengelolaan dana jaminan sosial oleh badan hukum perseroan. Kerugian potensial tersebut terjadi dari pembagian dividen dan PPh badan yang merupakan kewajiban badan hukum perseroan.
Mana yang benar? Barangkali hanya pelaku dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, tim Pak Beye belum berhasil menjalankan amanat Inpres No 1/2010 tentang BPJS.
Hasbullah Thabrany Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia—Pandangan Pribadi
Opini Kompas 5 Januari 2011