04 Januari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Pleidoi Gayus

Pleidoi Gayus

GAYUS Halomoan Tambunan membacakan nota pembelaan (pleidoi) terhadap kasus penggelapan pajaknya (03/01/11). Dalam pleidoi itu, dia menyinggung ketidakadilan yang dilakukan oleh penyidik dalam mengungkap kasus. Dia memaparkan, sudah banyak kasus besar yang dilaporkan ke penyidik.

Kasus penyelewengan fiskal, penghilangan berkas wajib pajak, berkas perusahaan luar negeri yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Gayus mengikuti skema penyidik untuk memperkarakan pimpinannya di Ditjen Pajak dengan harapan dapat membongkar skandal mafia pajak.

Apa mau dikata, hingga pidana penjara 20 tahun dituntutkan ke dirinya, ternyata penyidik belum sedikitpun menyentuh pimpinannya itu. Yang terjadi malah berkebalikan dengan skema awal. Hanya dia dan kolega segolongannya yang diusut, tapi pimpinannya tidak. Gayus mengucap, ‘’Uang Rp 25 miliar itu tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan keterlibatan pejabat-pejabat besar. Mengapa hanya perkara saya saja yang diperiksa?’’

Pleidoi Gayus menguatkan anggapan miring bahwa hukum akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum akan garang pada kalangan menengah ke bawah, namun bersikap lembut terhadap kalangan menengah ke atas.

Tatkala mencermati perkembangan penanganan kasus Gayus, boleh jadi pleidoi Gayus yang memuat ketidaktersentuhan pejabat-pejabat besar menemukan faktanya. Dalam catatan Pukat Korupsi Fakultas Hukum UGM, setidaknya Gayus diduga terjerat lima kasus. Kasus PT Surya Alam Tunggal (SAL) senilai Rp 570 juta, kasus suap yang melibatkan oknum kepolisian, kasus pemblokiran rekening Rp 28 miliar, kasus safety box senilai Rp 75 miliar, dan kasus suap yang melibatkan petugas Rutan Markas Komando Brimob terkait plesirannya ke Bali. Dari lima kasus itu, baru kasus SAL dan suap oknum kepolisian yang diperkarakan.

Pada kasus suap yang menyeret oknum kepolisian ke meja hijau, hanya polisi berpangkat menengah ke bawah saja yang diadili. Untuk perwira atas yang sebelumnya disangka turut menikmati aliran duit Gayus, seperti terlupakan dan tak tersentuh. Berikutnya, dua kasus (rekening Rp 28 miliar dan safety box Rp 75 miliar) juga masih menyisakan tanda tanya? Ke mana arah pembongkaran dua kasus yang diduga mengikutsertakan para pejabat dan kelompok ekonomi kuat itu juga tidak terang. Segalanya buram.
Buat Terang Buramnya potensi pengungkapan kasus besar di sekitar Gayus dipicu oleh dua hal. Pertama; lemahnya imunitas penegak hukum dari intervensi kekuatan ekonomi dan politik yang masuk dari luar dan menghantam penegak hukum secara sistematis. Bukanlah rahasia kalau banyak perusahaan besar ditangani oleh Gayus semasa dirinya menjadi pegawai Ditjen Pajak. Tumpukan rupiah memengaruhi penegak hukum agar memperlambat pemerkaraan beberapa perusahaan besar yang bersangkut-paut dengan kasus Gayus.

Kedua; hambatan datang dari internal penegak hukum sendiri. Misalnya, pendapat Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota, bahwa anggaran menjadi salah satu penghambat penanganan sebuah kasus korupsi (SM, 4/1/2011). Untuk meningkatkan efektivitas dan pemenuhan target penyelesaian dalam penyidikan korupsi di lingkungan kepolisian, anggaran penyidikan korupsi jangan berlaku surut.

Anggaran harus mendukung sejak tahap penyelidikan sampai penyidikan kasus korupsi. Persoalan anggaran yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan penegak hukum juga ditengarai merusak independensi penegak hukum.

Namun, perlu diingat bahwa korupsi (penyelewengan wewenang) penegak hukum bisa disebabkan karena kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan (corruption by needs), bisa juga dipicu oleh keserakahan dan gaya hidup (corruption by greeds). Tampaknya agak susah menjustifikasi bahwa penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat tinggi penegak hukum disebabkan oleh kebutuhan ekonomi mengingat gaji dan pendapatan tinggi yang telah diberikan negara kepada mereka. Pada bagian ini, korupsi karena keserakahanlah yang mendominasi penyebab tindak pidana korupsi yang dilakukan para pejabat tinggi lembaga penegakan hukum.

Pleidoi Gayus yang telah disampaikan di muka sidang seharusnya memberikan arah bagi penegak hukum untuk tak segan membongkar sisi gelap pejabat hukum. Sebab, yakinlah bahwa keterlibatan para petinggi (dan pejabat besar) yang tak tersentuh itu bukanlah karena rasa lapar melainkan karena serakah. Dan itu harus diberantas. (10)

— Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM, mahasiswa S2 Magister Ilmu Hukum UG
Wacana Suara Merdeka 5 Januari 2011