Mencermati liputan SOLOPOS, 3 Januari 2011, pada halaman 1 ditulis angka kasus cerai di Solo naik pesat, per tahun naik 100 perkara.
Wow, angka yang spektakuler. Tidak main-main. Ngeri. itulah kata yang pertama muncul di kepala saya tatkala membaca hasil liputan itu. Memang disebutkan berbagai alasan terjadinya perceraian itu. Suami yang tidak bertanggung jawab sebagai alasan dominan.
Disebutkan pula tiga tahun terakhir angka perceraian meningkat. Bisa-bisa pada tahun yang akan datang menjadi 150 atau 200 perkara kasus perceraian. Bisa saja hal itu terjadi bila tidak diatasi sejak sekarang.
Bila Anda memperhatikan, akhir-akhir ini, banyak masyarakat yang berpikir perceraian adalah solusi jitu mengatasi kemelut rumah tangga. Bandingkan 15 atau 20 tahun lalu. Memang kala itu ada perceraian. Namun, paradigma masyarakat tidak sekacau sekarang.
Pada zaman itu, bila perceraian terjadi, cenderung ditutup-tutupi. Tidak mau diketahui orang lain. Toh itu masalah internal keluarga. Keluarga besar merasa malu bila perceraian sampai terjadi. Namun, sekarang jangan tanya. Media pun diundang. Semua dibuka di depan publik. Di media, kedua belah pihak saling adu argumentasi, bukannya diselesaikan secara kekeluargaan. Terkesan problema keluarga diumbar di depan publik. Perang dingin di ruang publik kerap kali dihadirkan. Mengapa semua ini terjadi?
Andil TV
Pertengahan 2010, saya mendamaikan keluarga muda yang nyaris cerai. Mereka punya masalah serius yang hampir tidak bisa ditolong. Walau pernikahan baru memasuki tahun pertama namun masalahnya kompleks.
Ada kalimat tak terduga meluncur dari mulut si istri yang hendak menggugat suaminya saat itu. Ia berkata, “Lihat, di TV itu kan diberitakan banyak kasus perceraian.”
Rupanya, ia sangat emosi saat itu. Perceraian adalah kata yang senantiasa ada di kepalanya. Menurutnya, tidak ada solusi terbaik kecuali perceraian. Benang kusut rumah tangganya hanya bisa diselesaikan lewat jalur perceraian. Namun, hari itu, saya memutuskan tidak akan melakukan mediasi mengingat masing-masing berego tinggi.
Pada kesempatan lain, dalam suasana santai, saya datang lagi dan mencoba menawarkan alternatif baru. Intinya hendak menyelamatkan keluarga yang bermasalah itu. Akhirnya, keduanya lunak, sepakat untuk membarui komitmen di tengah rumah tangga mereka. Hingga kini, keluarga itu tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mengakhiri rumah tangga mereka. Mereka bahagia.
Di saat-saat kacau, siaran TV bisa jadi sumber inspirasi negatif. Hampir semua stasiun TV menayangkan gosip-gosip keretakan rumah tangga. Gosip-gosip tersebut mampir di tengah keluarga yang berada dalam masalah yang sama. Tanpa berpikir panjang, mereka pun mengambil keputusan tak bijaksana. Mantan Rektor Universitas Atmajaya Jakarta, Dr J Drost, pernah berkata, “You are what you see.” Anda adalah apa yang Anda lihat.
Bila Anda terus-menerus menonton siaran-siaran yang seperti itu, tontonan tersebut mengendap di alam bawah sadar, lantas pada waktu tertentu Anda akan melakukan hal yang sama. Melihat efek negatif yang lebih besar daripada efek positif, sebaiknya keluarga-keluarga mewaspadai tayangan-tayangan tidak sehat seperti itu. Mungkin Anda protes dan mengatakan ini kan hak asasi manusia. Ya, benar. Namun, bila efeknya merugikan, sangat tepat bila keluarga-keluarga menghindarinya. Tayangan-tayangan semacam itu bagaikan bom waktu. Pada saatnya akan meledak dalam keluarga masing-masing. Maka, sebaiknya dihindari.
Dampak negatif
Saya meneliti dan membaca banyak buku tentang topik perceraian. Mungkin puluhan bahkan ratusan judul. Sungguh. Sepuluh tahun terakhir saya membaca buku terkait dengan topik perceraian.
Dalam pembelajaran itu, saya menemukan tidak ada perceraian yang membawa dampak positif. Dampaknya pasti negatif. Terutama dampak kepada anak-anak. Anak-anak selalu mengalami keterpecahan jiwa karena perceraian orangtua mereka. Anak-anak tersebut mengalami problema sosial serius.
Yang lebih mengerikan, sebuah penelitian mengatakan salah satu penyebab meningkatnya persentase homoseksualitas adalah akibat perceraian orangtua mereka sebelumnya. Seorang anak perempuan berpendapat laki-laki itu brengsek.
Buktinya, ayah meninggalkan dan menelantarkan ibu tanpa argumentasi yang jelas. Ketika anak perempuan ini dewasa, ia tidak akan menikah dengan laki-laki. Ia memilih berpacaran dengan sesama jenis. Demikian sebaliknya. Anak laki-laki menjadi homo karena melihat ibunya sangat tidak manusiawi terhadap ayahnya. Ketika bertumbuh dewasa, yang ada di pikirannya semua perempuan jahat. Maka, ia pun melabuhkan cintanya kepada sesama jenis. Gawat!
Dampak lain adalah sekali menikah dan akhirnya bubar, ada kecenderungan untuk tidak setia kepada pasangan yang baru. Seorang laki-laki atau perempuan akan terus mencari pribadi yang menurutnya sempurna. Ia haus akan pribadi yang dinilai sempurna. Pribadi seperti yang ada dalam pikirannya. Tapi, adakah yang sempurna?
Secara naluri memang kita menghendaki pasangan yang sempurna. Itu oke-oke saja. Semua orang pun berpikir yang sama. Namun, pertanyaan mendasar, “Adakah pribadi yang sempurna?” Suatu kata bijak datang dari seseorang. Ia berkata, “Jangan menuntut sempurna dari pribadi yang tak sempurna.” Berarti, kalau sudah tahu tidak sempurna, percuma menuntut sempurna. Kalimat ini benar.
Siapa pun kita pasti tidak sempurna. Mungkin benar kata Dorce Gamalama bahwa kesempurnaan itu milik Tuhan. Manusia pasti tak sempurna. Ada saja titik lemahnya.
Bila esensi ini dipahami, pasti tidak ada saling menuntut. Yang ada hanyalah saling mengerti. Saling menutupi kekurangan. Saling mengampuni pasangan yang tak sempurna.
Bagaimana dengan Anda warga Kota Solo dan sekitarnya? Semoga di tahun 2011, kita sungguh menyadari bahwa perceraian bukanlah solusi penyelesaian kemelut keluarga. Saya berharap pada 2011, perkara perceraian akan menurun bukan sebaliknya. Taruhlah belas kasihan pada generasi yang akan kita lahirkan. Kasihilah generasi yang akan datang dengan tidak melakukan perceraian. Bagaimana sekalipun, anak-anak selalu jadi korban. - Oleh : Manati I Zega Penulis buku-buku rohani dan keluarga
Opini SOlo Pos 5 Januari 2011
04 Januari 2011
Menyelamatkan keluarga atau pilih cerai?
Thank You!