04 Januari 2011

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Projek Hukuman Mati

Projek Hukuman Mati

Oleh Abdul Ghoffar
Selain persoalan politik dan bencana alam, 2010 dipenuhi banyak peristiwa kusutnya penegakan hukum. Selain kasus BLBI yang makin buram, kasus Century, kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, dan Gayus Tambunan cukup menyita pemberitaan media.
Dalam kasus bailout Bank Century, diduga negara dirugikan Rp 6,7 triliun. Kasus itu pun masuk gedung parlemen dengan dibentuknya Pansus Century yang bekerja sekitar dua bulan dengan biaya miliaran rupiah. Hasilnya, mayoritas anggota DPR menganggap bailout tersebut bermasalah dan menyerahkan kepada penegak hukum untuk mengusutnya. Namun, ternyata sampai sekarang kasus tersebut tidak jelas rimbanya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digadang-gadang untuk mengurai kelambu hitam tersebut, sampai sekarang belum menemukan bukti indikasi korupsi.
Hal serupa juga terjadi dalam kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltoem. Kasus yang telah menyeret beberapa anggota DPR ke penjara itu justru menimbulkan pertanyaaan publik. Pihak yang diduga sebagai penyuap dan pendistribusi travelers cheque (cek perjalanan) kepada anggota DPR sampai sekarang belum dijebloskan ke penjara.
Setali tiga uang, Gayus Tambunan, pegawai pajak golongan III A, juga menghebohkan. Dia bebas keluar masuk penjara Brimob Kelapa Dua Depok. Selain licin, Gayus juga mempunyai kicauan merdu yang harganya ditaksir miliaran rupiah. Beberapa pejabat teras di negeri ini diduga panas dingin akibat kicauan tersebut.
Waktunya penuhi janji
Tiga hal tersebut adalah sedikit dari ribuan perkara hukum yang melilit negeri ini. Tiga hal tersebut adalah pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan oleh Yudhoyono jika masih punya komitmen dalam penegakan hukum. Keseriusan menyelesaikan perkara tersebut tidak hanya memenuhi janji kepada rakyat, tetapi juga akan berkorelasi dengan tingkat kepercayaan investor menanamkan modalnya.
Sejak Yudhoyono terpilih sebagai Presiden pada 2009 sampai sekarang, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (ICP) Indonesia stagnan, bertengger pada level 2,8. Itu artinya, selama dua tahun tidak ada gebrakan nyata dari Presiden Yudhoyono untuk melakukan pemberantasan korupsi. Survei IPK ini dilakukan pada responden pelaku bisnis tentang persepsi mereka tentang lazim atau tidak lazimnya pejabat pemerintah dalam melakukan korupsi, dan bagaimana usaha pemerintah dalam memberantas korupsi.
Saya kira, Cina adalah contoh paling gamblang. Negeri ini tidak segan menghukum mati siapa pun yang terlibat korupsi. Dari 2001 sampai 2005, Cina menghukum mati sedikitnya 4.000 orang karena korupsi. Bahkan kurang dari setahun, dari Januari sampai November 2009, Cina menghukum lebih dari 106.000 pejabatnya karena pelanggaran disiplin, termasuk di dalamnya terkait dengan korupsi. Hasilnya, 2010 ini ekonomi Cina resmi menyalip Jepang. Cina menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat.
Setelah putusan MK
Bagi seorang presiden, melakukan penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, menurut saya tidak sulit. Dia mempunyai perangkat yang bisa digunakan untuk menjalankan niatan tersebut. Terlebih setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Kejaksaan (UU No. 16 /2004 ). Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa pemberhentian Jaksa Agung adalah hak prerogatif presiden. Putusan ini dikeluarkan terkait dengan permohonan Yusril Ihza Mahendra yang menganggap Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung ilegal karena tidak diangkat kembali pada periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II.
Saya kira putusan ini harus diberi apresiasi guna tegaknya pembangunan hukum di Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana presiden bisa melakukan pemberantasan korupsi jika tidak mempunyai power atas itu. Sebagai check and balances-nya ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdiri sebagai lembaga independen. Lembaga ini penting untuk mengontrol jika ternyata presiden menyalagunakan kekuasaaan (abuse of power). Dengan dimilikinya kewenangan penuh atas Jaksa Agung, presiden tinggal memberi batasan waktu terhadap Jaksa Agung untuk menyelesaikan perkara-perkara korupsi. Jika ternyata Jaksa Agung tersebut tidak mampu, presiden harus langsung menggantinya.
Dilihat dari sistem hukum, di negeri ini sudah cukup bagus. Namun, mengapa sampai sekarang hukum tidak kunjung tegak? Saya kira yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan nyata presiden untuk menegakkan hukum, tidak tebang pilih, dan tidak menjadikan hukum hanya sebagai stempel politik. Ke depan, Sudah waktunya kita memilih presiden yang mempunyai program "projek hukuman mati" seperti yang dilakukan Presiden Cina Jiang Zhe Min saat terpilih menjadi presiden. Pada waktu itu, sesaat setelah terpilih, Min dengan tegas meminta agar dibuatkan 1.000 peti mati untuk koruptor. Sebanyak 999 unit untuk para koruptor, sisanya untuk dia bila melakukan korupsi. Presiden seperti inilah yang saya kira diperlukan bangsa ini, bukan presiden yang sibuk membangun "projek pencitraan."***
Penulis, peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengkajian (Puslitka) Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini pendapat pribadi.
Opini Pikiran Rakyat 5 Januari 2010