04 Januari 2011

» Home » Okezone » Opini » Kemauan Politik Minim Bukti

Kemauan Politik Minim Bukti

Pemerintah selama 2010 ibarat sesosok yang bernafsu besar, tapi bertenaga kurang. Kemauan politik Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono hanya terdengar indah. Sayang, implementasinya buruk.

Kemauan politik (political will) mereformasi birokrasi telah dilaksanakan dengan pendekatan remunerasi. Sayang, hasilnya jauh dari memuaskan. Bukan hanya tercermin dari kasus penggelapan pajak oleh PNS bernama Gayus Tambunan, melainkan juga terlihat dari rendahnya efektivitas pengelolaan anggaran pembangunan. Kemudian, Presiden pun menyuarakan langsung kemauan politiknya untuk memberantas korupsi (menegakkan hukum).

Presiden ingin memimpin sendiri aksi pemberantasan korupsi. Hasilnya? Korupsi justru makin merajalela. Akhirnya, kemauan politik Presiden dan pemerintahannya untuk melayani rakyat ditanggapi sebagai omong kosong belaka. Rakyat “dipaksa” menanggung sendiri risiko kenaikan harga komoditas pangan, sementara Presiden dan para menterinya kurang peduli dan bersikap sangat minimalis.

Pada hampir semua bidang pembangunan, bunyi kemauan politik Presiden dan pemerintahannya terdengar sangat meyakinkan. Demikian meyakinkannya sehingga kita semua—rakyat Indonesia— sempat berangan-angan kalau keadaan akan semakin bertambah baik dari waktu ke waktu. Ternyata, kita kini menghadapi kenyataan yang justru sangat mengecewakan.

Seadanya

Karena semua kemauan politik itu minim bukti, kredibilitas dan kapabilitas pemerintahan sekarang sudah berulangkali menjadi sasaran kecaman. Banyak kalangan yakin pemerintahan ini mengalami disorientasi sehingga inkonsistensinya tampak begitu nyata. Disorientasi tak hanya menyebabkan inkonsistensi, tetapi juga menyebabkan ketidaktahuan menentukan apa yang seharusnya menjadi program prioritas. Misalnya, banyak pemerintah daerah, terutama daerah baru hasil pemekaran, mengalami kesulitan teknis dalam proses perencanaan dan merealisasikan program pembangunan.

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan mestinya fokus mengonsolidasi kesiapan pemerintah daerah. Tetapi, konsolidasi itu dilakukan seadanya alias tidak maksimal. Kementerian Dalam Negeri justru lebih menyibukkan diri dengan proyek nomor induk kependudukan (NIK) yang tak urgen, dan nyaris tak mau tahu dengan problem sejumlah daerah. Kini salah satu penyebab lambannya penyerapan anggaran belanja dan pembangunan adalah belum siapnya sejumlah daerah mengikuti aturan dan mekanisme pencairan anggaran yang ditetapkan pemerintah pusat.

Ketidaksiapan banyak pemerintah daerah itu secara tidak langsung menjadi bukti bahwa reformasi birokrasi belum mencatat progres yang meyakinkan. Jangan lupa bahwa reformasi birokrasi dengan pendekatan remunerasi diawali oleh kementerian keuangan. Kalau hingga pelaksanaan APBNP 2010 masih terjadi kelambanan penyerapan anggaran, patutkah Kementerian Keuangan boleh merasa tidak bertanggung jawab atas kelambanan itu, serta menimpakan semua kesalahan kepada kementerian/ lembaga lain serta pemerintah daerah yang gagal memaksimalkan pemanfaatan anggaran?

Tiga tahun terakhir ini, rasio pencairan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) bisa lebih dari 90%. Tetapi, tetap saja terkesan lamban karena lebih dari setengahnya dicairkan pada kuartal ketiga dan keempat. Pada 2010, pencairan diperkirakan di bawah 90%. Lambannya pencairan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Bank Indonesia pun ikut mengindikasikan memburuknya penyerapan APBN pada 2010.

Hingga akhir November 2010, posisi APBNP 2010 masih surplus. Akibatnya, menurut BI, dari semua sumber pertumbuhan ekonomi, hanya kontribusi pemerintah yang paling memprihatinkan. Kalau Presiden tidak memberi terapi kejut pada kabinetnya, dan kepada semua pemerintah daerah, kecenderungan lambannya penyerapan anggaran akan terus berlangsung. Selain merefleksikan kegagalan reformasi birokrasi, taruhan lainnya adalah kualitas buruk pertumbuhan ekonomi akan berlanjut dengan risiko rapuhnya stabilitas ekonomi negara.

Pangan

Pemerintah memang mengalokasikan anggaran untuk pengamanan pangan dan pengendalian harga komoditas makanan. Untuk keperluan itu, anggarannya dialokasikan dalam beberapa pos antara lain pos anggaran subsidi pangan, pos anggaran pengadaan cadangan beras pemerintah, dan pos anggaran stabilisasi harga pangan. Dalam APBN-P 2010, untuk pos subsidi pangan dialokasikan anggaran Rp13,925 triliun. Alokasi anggaran untuk pengadaan cadangan beras pemerintah Rp2 triliun dan anggaran untuk stabilisasi harga pangan Rp1 triliun.

Kita maknai kebijakan ini sebagai kemauan politik pemerintah melayani dan melindungi kebutuhan pangan rakyat. Namun, ketidakmampuan pemerintah menstimulasi penurunan harga aneka bahan pangan yang telah berlangsung sejak Januari 2010 menjadi bukti bahwa efektivitas strategi dan kebijakan pengamanan pangan rakyat itu belum efektif. Hari-hari ini tak hanya ibu rumah tangga yang terus menggerutu. Para bapak kepala keluarga pun mulai mengeluh.

Akibat kenaikan tajam harga pangan sepanjang November-Desember 2010, nilai tukar pendapatan keluarga berpenghasilan pas-pasan anjlok. Gizi keluarga menjadi taruhannya. Sedangkan warga miskin hanya bisa merenungi nasibnya. Dalam rapat kabinet terbatas bidang ekonomi di Istana Bogor, Kamis (30/12/2010) pekan lalu, pemerintah mencoba strategi baru. Sedang disiapkan dua instruksi presiden (inpres) untuk menjamin ketahanan pangan. Draf dua inpres itu dalam tahap finalisasi dan diharapkan terbit awal 2011.

Inpres pertama memberi fleksibilitas kepada menteri pertanian merespons perubahan iklim yang ekstrem, yang juga menyebabkan perubahan musim tanam, serangan hama atau kerusakan lahan pertanian. Inpres ini memberi menteri pertanian wewenang menerbitkan kebijakan seperti pembagian benih lebih awal atau memiliki dana cadangan. Diharapkan menteri pertanian bisa mengantisipasi perubahan produksi pertanian akibat gangguan cuaca dengan cara stabilisasi harga atau mekanisme lain.

Inpres kedua memberi fleksibilitas kepada Perum Bulog untuk memasok dan membeli beras petani. Tidak hanya berlaku untuk beras dengan kualitas tertentu. Dengan inpres itu, Bulog memiliki fleksibilitas membeli beras dengan harga komersial. Selain itu, bisa melepas beras kualitas premium. Apakah kemauan politik ini akan mampu mewujudkan stabilisasi stok dan harga aneka bahan pangan?

Kita tentu saja berharap dua inpres itu efektif.Tetapi, saya khawatir, efektivitas fungsi dua inpres ini bisa sangat minimal jika Bulog dan Kementerian Pertanian masih terperangkap perilaku ego sektoral. Apalagi, dalam dua inpres itu, belum terlihat mekanisme pengambilan keputusan impor,terutama beras sebab impor menyangkut wewenang Kementerian Perdagangan. Karena itu, sangat jelas urgensinya untuk memadu kewenangan lintas sektoral pengamanan pangan ke dalam sebuah tim.

Hukum dan Korupsi

Dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, arus kritik dan kecaman kepada pemerintah dan penegak hukum begitu deras dan berkesinambungan. Gelombang kritik dan kecaman itu relevan karena mengacu pada sejumlah fakta kasus besar yang mencabik-cabik rasa keadilan rakyat. Dari skandal Bank Century hingga kasus penggelapan pajak dengan tersangka mantan karyawan Ditjen Pajak Gayus Tambunan. Dalam refleksi akhir tahun, saya mendeskripsikan era penegakan hukum 2010 justru ditandai maraknya benih-benih kegagalan fungsi hukum.

Inkonsistensi atau tebang pilih penegakan hukum begitu telanjang. Oknum dan institusi penegakan hukum justru menjadi sumber masalah. Ketidakpastian hukum 2010 menyebabkan frustrasi sosial dengan beragam ekses dan tragedi. Hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Mereka yang kuat mengubah hukum menjadi sangat diskriminatif. Hukum tidak berfungsi dengan tegas dan lugas terhadap sejumlah kasus besar seperti skandal Bank Century dan kasus penggelapan pajak.

Namun, ketika merespons kasus skala kecil, hukum kita begitu “galak” dan tidak pandang bulu. Tersangka pencuri cabe pun diinapkan di ruang tahanan. Kecewa oleh hukum yang diskriminatif itu, sebagian warga di akar rumput memilih caranya sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang membelit mereka. Bentrok berdarah dan aksi saling bunuh terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta.

Itulah benih-benih kegagalan fungsi hukum. Karena fenomena itu muncul dalam era reformasi dan demokratisasi sekarang ini, saya khawatir pembangunan sektor hukum kita memang sedang bergerak mundur. Presiden perlu memperbarui kemauan politiknya dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan pemberantasan mafia hukum. Tak cukup hanya dengan kata-kata, tapi juga harus dengan bukti.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Opini Okezone 5 Januari 2010