04 Januari 2011

» Home » Opini » Sinar Harapan » Pentingkah Menjadi “Good Boy” di ASEAN?

Pentingkah Menjadi “Good Boy” di ASEAN?

Indonesia akan menjadi ketua ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) pada tahun 2011 mendatang.
Keketuaan ini merupakan kepemimpinan secara bergiliran di antara 10 anggota ASEAN. Indonesia, yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri, mengambil tema “Komunitas ASEAN dalam Komunitas Bangsa-bangsa Global” sebagai tema besar yang akan diusung sepanjang masa keketuaan ASEAN pada tahun 2011. Tema ini menunjukkan bahwa semangat Indonesia di ASEAN bukanlah regionalisme yang didasarkan pada kebutuhan domestik, melainkan keinginan Indonesia untuk terintegrasi dengan komunitas global yang belum jelas benar apa arahan dari komunitas global ini. Tema ini juga mengukuhkan bahwa prinsip “universalisme” dibawa oleh pemerintahan Indonesia, di samping prinsip-prinsip nasional yang jelas merupakan amanat konstitusi.
Dalam teori politik internasional, universalisme adalah suatu aliran yang memercayai nilai-nilai universal yang lekat dengan kepentingan hegemon yang ditransformasikan menjadi hukum internasional (Jouannette, 2007). Di dalam tata dunia saat ini, berbagai perjanjian internasional yang mengatur mengenai nilai universal telah disepakati dan telah diratifikasi di tingkat nasional dalam bentuk undang-undang.
Misalnya, nilai universal dalam perjanjian perdagangan internasional telah diatur dalam perjanjian di WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia. Perjanjian ini mempu­nyai pilar mendasar dalam hal pengurangan tarif dan pencabutan subsidi. Pilar ini yang kemudian menjadi prinsip perjanjian perdagangan bebas secara regional dan bilateral melalui Free Trade Agreements (FTA), setelah kemandekan perundingan di WTO.
ASEAN, dalam hal ini, merupakan “pelopor” dari perjanjian FTA ini. Dalam cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN, Piagam ASEAN, maupun Vientienne Action  Programme, prinsip mengenai perdagangan bebas dan wilayah pasar bebas menjadi prinsip yang menjadi arus utama di dalam kesepakatan-kesepakatan tersebut. Dalam ASEAN sendiri, tarif telah diturunkan sampai 0 persen melalui skema ASEAN Free Trade Area yang disepakati tahun 1992. Perkembangan terbaru, ASEAN telah menyepakati kesepakatan ASEAN China FTA, ASEAN Korea FTA, ASEAN Jepang FTA, dan ASEAN India FTA. Saat ini, ada beberapa perjanjian FTA di ASEAN yang sedang dalam negosiasi, seperti misalnya ASEAN EU FTA.

Dampak Perdagangan Bebas
Perdagangan yang diarahkan oleh negara untuk mencapai tujuan nasional dan visi nasional mempunyai dampak yang positif dalam pembangunan. Namun, bagaimana dengan perdaga­ngan bebas yang menjadi nilai universal dari rezim di tingkat global jika diterapkan ke Indonesia? Simaklah data berikut. Akibat ASEAN China FTA, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ada 7,5 juta pekerja yang berpotensi untuk di-PHK.
Akibat FTA yang dilakukan EU dengan India, pasien miskin di negara-negara berkembang kehila­ngan akses terhadap obat-obatan produksi India yang patennya telah dilepaskan dari  perusahaan farmasi raksasa asal EU.
Sebaliknya, realitas untuk dapat bertarung dengan mekanisme pasar bebas, bagai api jauh dari panggangnya. Indonesia dan Jepang telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas di tahun 2008 dengan embel-embel “Partnership Agreement”. Dalam perundingan tersebut, disepakati bahwa Indonesia akan mengirimkan perawat ke Jepang untuk memenuhi stok domestik perawat di Jepang yang masyarakatnya mema­suki fase aging population.
Publik dan media massa di Indonesia juga menangkap secara manis janji-janji tersebut. Akan tetapi, janji tersebut tak juga terealisasi, karena dari fase awal dikirimnya pe­rawat Indonesia sebanyak 220 orang, hanya dua orang yang menembus sertifikasi yang diterapkan pemerintah Jepang. Standar sertifikasi ini khas dengan apa yang disebut de­ngan non-tariff barrier yang diterapkan di banyak negara maju, termasuk Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat yang menolak ekspor perikanan dan perkebunan Indonesia karena standar ganda yang diterapkan negara-negara maju tersebut.
Contoh lain dari “janji manis” pasar bebas adalah safeguard. Safeguard adalah instrumen yang dapat digunakan dalam pasar bebas jika satu pihak terkena dampak serius akibat lonjakan impor melebihi batas yang ditentukan. Dalam praktiknya, ketika industri paku kawat di Indonesia runtuh akibat serbuan impor dari China (melalui CAFTA), safeguard yang diterapkan tidak bisa berfungsi karena kerumitan dalam pengurusan safeguard serta waktu 200 hari masa jeda yang membuat industri terlebih dahulu gulung tikar sebelum pemerintah mengambil tindakan.
Berdasar pada poin-poin kritis di atas, masihkah relevan jika pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, mengusung tema “Komunitas ASEAN di dalam Komunitas Bangsa-bangsa Global”? Apa Indonesia akan selamanya menjadi good boy yang menjaga hubungan baik di ASEAN demi terjaganya nilai universal, atau Indonesia akan mampu menjalankan diplomasi yang kritis dan gigih membela kepentingan konstituen dan menjaga konstitusi bangsa?
Pemerintahan SBY, melalui politik pencitraannya, berusaha menciptakan citra sebagai good boy, baik secara personal di mata publik Indonesia, maupun di tingkat internasional. Dalam kasus-kasus di ASEAN, misalnya, soal penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia, atau soal TKI Indonesia di Malaysia yang mendapat perlakuan tidak layak, diplomasi Indonesia terlihat lemah.

Tunduk pada Nilai Global
Diplomasi Indonesia diarahkan pada simpati dan dukungan dari komunitas internasional, misalnya dalam hal keanggotaan Indonesia di G-20 atau soal kasus sengketa Spratly di Laut China Selatan. Karakter persisten dan kritis dalam diplomasi Indonesia tidak muncul. Akibatnya, amanat konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dipaksa tunduk oleh nilai-nilai global dan etika dalam pergaulan internasional  yang bertentangan de­ngan prinsip tersebut.
Salah satu bukti lemahnya diplomasi Indonesia adalah ketika Uni Eropa dan Indonesia memperingati ditandata­nganinya Indonesia–Uni Eropa Partnership Cooperation Agreement di Jakarta, November 2009. Dalam pasal-pasalnya, ketika pasal berbicara mengenai kepentingan Uni Eropa di dalam Hak Kekayaan Intelektual, Jasa, dan Finansial, perjanjian menggunakan kata-kata shall yang artinya “harus”. Sementara itu, ketika pasal berbicara mengenai agenda pembangunan, perjanjian menggunakan kata-kata may atau take into consideration yang artinya “dapat” atau “menjadi pertimbangan”. Secara hukum, kata-kata ini mempunyai kekuatan yang berbeda. Sementara itu, pelobi bisnis dari korporasi raksasa di Uni Eropa telah berdiri dengan kuat di balik negosiator Uni Eropa.
Jika diplomasi Indonesia tidak bergigi dan tidak tunduk pada amanat konstitusi, keketuaan ASEAN hanyalah sebuah gelar tanpa agenda nasional yang jelas. Sementara itu, di wilayah Asia Tenggara, kedaulatan Indonesia, baik secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya, terusik akibat aktivitas transnasional, seperti illegal fishing, illegal drugs trafficking, human trafficking, dan juga penyiksaan terhadap TKI/TKW yang terus berlanjut. Akankah Indonesia terus menjadi good boy?

Penulis adalah peneliti pada Institute for Global Justice (IGJ) Jakarta.
Opini Sinar Harapan 5 januari 2010