24 Juni 2011

» Home » Okezone » Opini » RRI, Pertahanan Informasi dan Diplomasi Internasional

RRI, Pertahanan Informasi dan Diplomasi Internasional

Komisi I DPR-RI kini tengah membahas revisi UU 32/2002 tentang Penyiaran yang juga mewacanakan penggabungan TVRI dan RRI. Momentum pembaharuan regulasi penyiaran ini alih-alih menguatkan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Republik Indonesia (RI) justru akan melemahkan, jika penggodogan regulasi ini dilakukan dengan paradigma yang mengagungkan swastanisasi dan mengabaikan nilai strategis salah satu LPP atau keduanya, baik TVRI atau RRI.

Penulis, dalam kesempatan ini, hendak memberikan perhatian khusus pada RRI lebih potensial untuk dikesampingkan dari perhatian negara. Pertama, karena berkembang asumsi bahwa era audio-visual televisi dan internet sudah saatnya menggeser peran radio-auditori. Kedua, ketiadaan pemahaman terhadap nilai strategis RRI hanya akan menjadikan peleburan LPP menjadi era dominasi TVRI terhadap RRI, bukan “duet” antara keduanya. Ketiga, skepstisme masyarakat terhadap RRI membuat berbagai inovasi terbaru tidak begitu terdengar sehingga menihilkan potensi besarnya di masa datang.

Penggabungan: Penguatan atau Sekadar Efisiensi?

Di Belanda baru-baru ini ada proses merger yang sedang berjalan antara radio dan televisi publik tros dan avro (Mei 2011). Keputusan merger di sana, dilakukan untuk efisiensi alias menyiasati pemotongan anggaran. Sah-sah saja alasan efisiensi anggaran juga dilakukan terhadap LPP di Indonesia, namun dalam kondisi LPP kita yang belum memiliki konstruksi visi yang kuat maka ia potensi benar-benar terefisiensikan tanpa mengalami progress berarti.

Era “perang informasi” sekarang ini memberikan tantangan tersendiri bagi LPP di Indonesia. Dinamika situasi baru tersebut menguji keampuhan strategi LPP untuk tetap eksis. Ahli kebijakan, perencanaan dan pembangunan asal Amerika Serikat, James M. Ferris dan Elizabeth Graddy (2007) pernah mengangkat fenomena empirik tersebut dalam riset-nya yang berjudul “Why Do Nonprofits Merge?”. Keduanya memaparkan banyaknya lembaga penyiaran publik nonprofit yang terpaksa melebur diri dengan lembaga nonprofit lainnya karena kalah bersaing modal dengan lembaga swasta.

Tak heran kemudian jika ada wacana di parlemen untuk memformat ulang LPP yang lebih terbuka terhadap peluang komersil. Wacana ini tentu saja merupakan pertaruhan antara independensi negara dengan kehendak pasar. Sikap moderat tentu ada pada diberikannya ruang keterbukaan untuk meraih peluang iklan layanan masyarakat dari pemerintah, parlemen atau lembaga negara lainnya, namun tetap menjaga status kelembagaannya sebagai “Badan Hukum Publik” yang independen dan non-komersial.

Pertahanan Informasi, Perekat Sosial, dan Diplomasi Internasional

Tantangan lain bagi RRI dari ide merger TVRI-RRI menjadi LPP RI ialah, pertama, bagaimana mencari kesamaan tujuan dan platform antara TVRI dan RRI, tanpa didiskreditkan atau didominasi. Tendensi eksistensi Televisi di era digital memang lebih kuat, meskipun demikian radio sebagai lembaga penyiaran publik tetap harus diberikan ruang otonomi yang sama besar karena memiliki segmentasi masyarakat dengan kekhasannya tersendiri.

Bagaimana mengoptimalkan infrastruktur yang telah dimiliki RRI. Cakupan 95% kawasan NKRI serta perseberannya hingga 62 studio dari Sabang sampai Merauke, 16 stasiun produksi di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Timur, Thailand, Singapura dan Filipina, menunjukkan fungsinya sebagai sarana “pertahanan informasi” dan “perekat sosial”. Sementara itu keberadaan 11 kontributor luar negeri dari RRI World Service dengan tajuk Voice of Indonesia (VoI) merupakan bukti fungsional lain bahwa ia juga sarana “diplomasi internasional”.

Keberadaan infrastruktur memang tidak sepenuhnya menjamin fungsi tersebut berjalan optimal, namun hal tersebut mencerminkan potensi riil milik negara/publik. Inovasi itulah yang menjadi tantangan manajerial selanjutnya. Terutama sekali mengacu pada siaran World Service yang dimiliki BBC di Inggris, ABC di Australia atau NHK di Jepang. Mereka memiliki strategi pendekatan segmentasi penyiaran tersendiri ke masing-masing negara bidikannya.

Misalnya ABC, membidik masyarakat Indonesia dengan optimalisasi promosi bahasa Inggris-Australia. Sementara terhadap negara-negara pasifik yang terpisah-pisah kepulauan, ABC menargetkan program “konektivitas” antarkeluarga dan penduduk, begitupun terhadap negara-negara Asia Tenggara lainnya, ABC menerapkan STP (Segmentation-Targetting-Positioning) berdasarkan analisa kebutuhan (need assesment) terhadap masing-masing negara bidikan.

Salah satu peluang yang menarik ialah promosi bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa dunia. Almarhumah Ibu Yoyoh Yusroh, mantan anggota Komisi I DPR-RI pernah mengisahkan pengalamannya saat presentasi dalam pertemuan internasional di sebuah negara Arab. Usai presentasi dengan bahasa Arab, ada seorang peserta asal negara Arab menyarankan, “ibu, lain kali gunakan bahasa Indonesia saja, jumlah rakyat Indonesia lebih banyak dari kami negara-negara Arab. Biarkan kami yang belajar.” Penulis juga jadi teringat bahwa dalam perjalanan Mekkah-Madinah, petunjuk tertulis untuk jama’ah Umroh-Haji ada dalam 4 bahasa: Arabiyah, English, Turkiye, dan Indonesia. Belum lagi negara di kawasan Asia Tenggara yang modalnya sudah lebih dari cukup. Di sebagian wilayah Australia, Vietnam, Malaysia dan Brunei, bahasa Indonesia digunakan.

Inovasi Lembaga Penyiaran Publik

Menghadapi tantangan baru tersebut, ada beberapa saran menarik yang disadur dari tulisan Pat Aufderheid, Jessica Clarck, dan Jake Shapiro (2008) tentang “Public Broadcasting and Public Affairs”.
Pertama, stasiun di level pusat/nasional dapat lebih mendunia (seperti RRI World Service), sementara di sisi lain perlu mendukung penuh menguatnya peran stasiun penyiaran daerah yang ada di Ibukota provinsi, kabupaten/kota, kawasan terpencil, perbatasan dan kawasan khusus. Kedua, membuat mesin inovasi dan investasi nasional dengan membuat Laboratorium Perubahan Media (Media Shift Lab) untuk menggerakkan komunitas inovator media, berita dan teknologi untuk memberikan masukan pada produser media. Ketiga, membuat kolaborasi antara lembaga penyiaran publik dengan lembaga penyiaran swasta dalam program siaran yang bersifat umum untuk kepentingan publik, independen, dan non-komersial. Tujuannya ialah mendekatkan pertukaran ide kreatif yang kian jauh antara LPP dengan milik swasta. Seperti kerjasama RRI dengan Radio-radio lainnya. Keempat, komitmen memberikan apresiasi terhadap capaian dari RRI yang dianggap berhasil dalam kacamata partisipasi masyarakat, kreativitas, bernilai pembelajaran, dan daya mobilisasi massa. Komitmen parlemen dapat berupa kenaikan anggaran dalam program tersebut.

Semoga proses regulasi penyiaran berjalan baik dengan konsep penguatan LPP RI yang berimbang antara TVRI dan RRI. Jalan pelemahan RRI jelas merupakan paradoks dari idealisme LPP RI. Era demokratisasi, bagaimanapun memuliakan media setara dengan tiga pilar negara lainnya: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Arya Sandhiyudha AS
Delegasi Indonesia dalam Training Program for Young Political Leaders of Asia, Konrad Adenauer Stiftung, Jerman 2011-2012
Opini Okezone 21 Juni 2011