24 Juni 2011

» Home » Okezone » Opini » Petani dan Politik Pangan

Petani dan Politik Pangan

Sejarah membuktikan bahwa pangan menjadi alat politik sudah terjadi sejak jaman dulu. Kekalahan pasukan Sultan Agung Mataram dalam melawan VOC diakibatkan karena gudang/lumbung pangan prajurit mataram dibumihanguskan oleh VOC. Kisah Nabi Muhammad yang diboikot oleh suku qurais dan diasingkan di sebuah lembah dan dilarang melakukan transaksi jual beli bahan pangan mengakibatkan “penderitaan” pengikut Islam waktu itu. Saat ini hampir 1 miliar penduduk dunia mengalami kelaparan akibat adanya krisis pangan yang melanda dunia saat ini.

Petani sebagai aktor utama dalam penyediaan pangan dalam arti beras saat ini juga mengalami kondisi yang menyedihkan. Krisis pangan saat ini semakin parah karena ditambah dengan perubahan iklim yang ekstrem membuat banyak kegagalan panen di mana–mana. Kondisi petani di saat pangan melimpah juga belum banyak mengubah nasib mereka, tetap saja miskin dan mewariskan kemiskinan itu kepada anak cucunya bermodalkan lahan sawah yang hanya 0,5 Ha. Saat pangan melimpah harganya jatuh, tidak cukup untuk menutup biaya produksi dan akhirnya petani rugi. Saat kondisi pangan sulit harga komoditas pertanian naik petani tidak banyak merasakan kenaikan produksi mereka, yang merasakan adalah para cukong dan Bandar besar yang untung berlipat–lipat atas jerih payah petani.

Kondisi di atas disebabkan oleh politik. Politik sebagai alat melahirkan kebijakan dan pengaruh yang kuat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Indonesia yang 80% penduduknya tinggal di wilayah pedesaan dan pesisir membutuhkan politik pangan yang jelas dari penguasa dan wakil rakyatnya. Politik pangan menempatkan urusan pangan sebagai urusan pokok rakyat harus diprioritaskan, bukan seperti saat ini di mana urusan pertanian yang menangani masalah produksi pangan hanya menjadi “lipstick” dengan istilah urusan pilihan, bukan urusan wajib yang artinya kalau dipilih ya akan diberikan dukungan anggaran, namun jika tidak dipilih cukup ada saja dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi pemenuhan pangan masyarakat.

Politik pangan harus didukung oleh wakil rakyat dan esksekutif. Karena pangan menjadi salah satu pilar ketahanan nasional di samping energy, keamanan, dan moral. Politik pangan telah menjadikan Negara–Negara besar seperti Amerika, China, menguasai hampir 60% produk pangan dunia. Mereka leluasa menjajah Negara di kawasan asia dan dunia umumnya karena kebijakan politik pangan mereka jelas. Politik pangan yang diterapkan adalah beorientasi kepada proses mengangkat harkat dan kesejahteraan petani. Jadilah petani dan usaha pertanian di Negara–Negara tersebut anak emas yang mendapatkan perhatian besar dalam sisi kebijakan politik, anggaran dan perlindungan dari berbagai gangguan.

Kebijakan Politik Pangan

Petani sebagai obyek akan politik pangan harus ditempatkan sebagai “mitra” dalam penentuan kebijakan pangan. Selama ini petani hanya menerima kebijakan tanpa adanya keterlibatan dalam menentukan arah kebijakan pangan nasional. Adanya Bulog, Kementan, Kementrian Perdagangan sering membuat arus kebijakan tidak sinkron, kadang malah berbenturan satu dengan yang lain. Sebagai contoh kebijakan Impor beras telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 1,5 juta ton beras tahun 2011. Namun menteri perdagangan akan menambah impor beras menjadi 1,7 juta ton beras. Posisi ini BULOG dan Kementan tidak bisa berbuat banyak, walaupun kementan menyampaikan surplus beras tahun 2011 berkisar 15 – 16 juta ton beras. Melihat kondisi masih lemahnya kordinasi dan sinkronisasi antardepartemen, munculnya ego sektoral serta rendahnya implementasi kebijakan politik pangan nasional rasanya sulit bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan secara nasional.

Melihat masalah di atas pemerintah harus kembali kepada kebijakan politik pangan yang berorientasi kepada kesejahteraan petani dan kemandirian pangan nasional. Untuk mencapai itu politik pangan dikembalikan sebagai soko guru politik nasional melalui pendekatan dalam berbagai perspektif yang utuh. Pertama politik pangan sebagai pilar kesejahteraan nasional. Artinya bahwa politik harus mengembalikan urusan pangan sebagai masalah pokok yang harus segera diselesaikan. Urusan pangan yang meliputi pemenuhan kebutuhan sehari–hari masyarakat seperti beras, jagung, lauk pauk harus mendapatkan dukungan yang penuh. Sebagai contoh lahirnya UU Perlindungan Petani untuk melindungi petani dan usaha pertanian agar tidak hancur oleh kebijakan luar.

Perspektif politik pangan sebagai penyelamatan dan optimalisasi potensi pertanian. Potensi pertanian Indonesia ibarat laut yang tidak pernah habis airnya, artinya bahwa kekayaan alam pertanian Indonesia selalu mampu memberikan pangan kepada rakyat selama potensi ini dipelihara secara berkelanjutan. Kalau politik pangan sebagai pilar kesejahteraan nasional menghadirkan regulasi yang berpihak kepada petani, maka perspektif penyelamatan dan optimalisasi adalah upaya memanfaatkan kekayaan alam pertanian untuk petani, bukan hanya dinikmati oleh pemodal saja.

Keberadaan dunia pertanian nasional merupakan asset anak negeri yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang. Pertanyaannya adalah apakah dunia pertanian 100 tahun ke depan akan bisa menjawab tantangan kebutuhan pangan dunia? Tergantung saat ini apa yang kita lakukan, jika kita menghancurkan pertanian sendiri maka generasi ke depan akan selalu mengingat bahwa penyebab kelaparan dan kemiskinan adalah kita saat ini yang mengeksploitasi pertanian secara tersistem dan terencana.

Riyono
Sekjen DPP Perhimpunan Petani dan NelayanSej ahtera Indonesia
Opini Okezone 17 Juni 2011