Mahmudi Asyari
Alumnus S3 UIN Jakarta
Dalam harian ini, saya melihat sudah ada beberapa opini yang mengulas masalah Sutadi. Saya mengetahui bahwa masalah Sutadi sepertinya dijadikan masalah besar, jauh lebih besar ketimbang-sebagaimana diungkapkan para tokoh-ancaman kebangkrutan bangsa. Dan, Sutadi, meskipun berusaha menjelaskan duduk perkaranya, pendapatnya sudah seperti tidak masuk pertimbangan karena sejumlah artikel sesudahnya masih saja mempersoalkan masalah itu.
Saya memang tidak membenarkan sikap Sutadi. Sebab, bagaimanapun bangsa ini, sebagaimana pernah dikatakan Bachtiar Effendy dalam sebuah seminar di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lahir dari perjuangan umat Islam. Selaku penghuni mayoritas, Muslim bisa dikatakan mempunyai andil terbesar, meskipun tidak bisa dinafikan juga mempunyai peran kelompok lain.
Oleh sebab itu, ketika sejumlah orang mengecam ekstremitas sejumlah kelompok, Bachtiar mengatakan bahwa semua itu dilandasi oleh perasaan berhak atas bangsa ini. Sebab, para pendahulu bangsa ini yang berjuang hampir dipastikan memulai teriakan dengan kalimat "Allahu Akbar", baru kemudian meletuskan peluru ke arah penjajah.
Jadi, semestinya umat Islam menghargai jejak leluhurnya dengan menjaga dan menghormati hasil perjuangan mereka. Sehingga, dalam konteks ini, sikap Sutadi, menurut saya, memang agak berlebihan dan tindakan itu tidak terlepas dari pengabaian doktrin dalam qawaid fiqhiyyah yang diderivasi dari hadis "Al-'umuru bi maqashidiha". Niat itulah yang mesti diluruskan, baru kemudian dinilai apakah masuk ranah syirik atau tidak. Jadi, kalau niatnya tidak menganggap ibadah seperti tindakan hormat bendera dan mengucap Pancasila, semestinya tidak usah khawatir.
Umat Islam sealiran Sutadi memang sedang booming saat ini. Tidak hanya di al-Irsyad, tapi di sekitar juga banyak yang tindakannya serba mudah mengeluarkan fatwa syirik, bid'ah, dan sejenisnya. Memang, tidak sedikit orang-orang berilmu, tapi sangat menyedihkan bahwa berdasarkan fakta, mereka semacam 'radio' yang sekadar menyampaikan pesan 'induknya'. Sementara itu, wawasan keagamaannya sempit dan sekadar memahami nas melalui terjemahan.
Oleh sebab itu, semestinya pertama kali harus kita lakukan adalah mengajak berdialog secara bijak (hikmah). Semestinya, MUI di daerah itu bergerak cepat agar persoalan menjadi jelas dan secara serta-merta kemudian dikait-kaitkan dengan sesuatu yang tidak nasionalis.
Saya kira, Sutadi tidak pernah mengaku selain sebagai orang Indonesia. Masalah tidak hormat dan membaca Pancasila, baginya bisa jadi kedua hal itu secara empiris memang "La yamliku lakum dharran wa la naf`a" (tidak mendatangkan bahaya dan juga tidak memberikan manfaat). Sikap Sutadi, meskipun sekali lagi saya tidak bermaksud membenarkan, sejatinya menjadi renungan bagi orang-orang yang selama ini selalu mengeramatkan Merah Putih dan Pancasila. Sudahkah kedua hal itu menyejahterakan rakyat?
Menurut Komaruddian Hidayat, dalam sebuah wawancara di Delta FM pada saat hiruk pikuk 1 Juni lalu, Pancasila yang merupakan salah satu aspek yang tidak mau dihormati Sutadi, belum terbukti memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa, terutama masalah kesejahteraan. Sehingga, meskipun sudah sekian tahun 'disembah', tidak juga membuat pengelola negara ini tergerak hatinya untuk menjadikannya sebagai penggerak kesejahteraan. Walhasil, tidak hanya bagi Sutadi yang mungkin karena memang tergerak agama, sejumlah rakyat yang terimpit sudah mulai mengatakan, apa manfaat Pancasila dan Merah Putih itu?
Secara doktrin, kebangsaan memang tidak logis. Namun, dari segi tuntutan pragmatis, logis saja, mengingat tujuan pembentukan negara ini memang kesejahteraan selain keadilan. Namun, keduanya masih di langit, di mana rakyat masih haris giat berdoa. Anehnya, para penghalang pengabulan doa itu adalah orang-orang yang menganggap Merah Putih dan Pancasila itu seperti agama. Betapa tidak, orang yang disumpah untuk setia kepada keduanya malah bertindak dengan sesuatu yang sama sekali tidak sejalan dengan keduanya.
Lihatlah contoh pada akhir cuti bersama lalu. Sejumlah oknum prajurit TNI merasa tidak perlu membayar tiket kereta api, mungkin dengan profesinya itu dianggap semuanya sudah gratis. Itu baru yang ketahuan dan hampir setiap hari jauh lebih banyak jumlahnya. Bandingkan dengan rakyat, sudah mencari uang, susah membayar, dan separuh saja tidak boleh. Walaupun dengan remunerasi, mereka harus membayar 50 persen.
Ini sebuah bukti, Pancasila dan Merah Putih belum menjadi nilai-nilai kebaikan selain hanya untuk upacara. Buktinya, keduanya dijadikan seperti agama dalam melakukan perbuatan yang tidak selaras dengan nilai-nilai.
Begitu juga dengan kasus Nunun, misalnya, yang tidak kunjung jelas. Itu semua adalah fakta bahwa orang-orang yang sejatinya menjadi contoh, yang di dalam Islam disebut uswah hasanah, seharusnya tidak melakukan itu. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya. Karena merasa berkuasa, hukum dianggap tidak berlaku bagi mereka.
Melihat keadaan seperti itu, jangankan Sutadi yang mungkin memang tergerak oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam surah al-Maidah ayat 67, orang-orang yang hidupnya semakin sulit pun sudah enggan melirik Pancasila. Jika Pancasila berhasil membuat rakyat sejahtera dan berkeadilan, saya kira akan sangat sedikit orang seperti Sutadi. Jadi, proporsional saja lah melihat kasus Sutadi itu.
Opini Republika 21 Juni 2011
24 Juni 2011
Ikon Sutadi dan Hormat Bendera
Thank You!