ALOTNYA debat antarfraksi di DPR soal ambang batas parlemen sesungguhnya tidak bermutu dan tidak memberi pencerahan bagi masyarakat. Debat itu hanya urusan parpol untuk meraih kekuasaan dan mempertahankan status quo, padahal UU terkait dengan parpol mengamanatkan waktu pelaksanaan pemilu harus dilakukan 2 tahun 6 bulan sebelum hari pencoblosan. Dengan alotnya debat tersebut pelaksanaan Pemilu 2014 bisa terganggu.
Partai besar seperti Golkar dan PDIP mempertahankan 5%, Partai Demokrat 4%, PKS semula 4% kini 3%. Sisanya seperti PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura setuju 2,5% dengan toleransi 3%. Debat ini sesungguhnya tidak perlu terjadi karena hanya melihat komposisi partai di panggung politik nasional. Terlebih ada inkonsistensi parpol, di satu sisi ingin membangun demokrasi, tapi di sisi lain membatasi partai kecil atau baru masuk Senayan. Lantas, apa solusinya, dan berapa idealnya?
Apabila partai besar seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat berhasil mematok ambang batas parlemen 4 atau 5%, keberadaan parpol kecil bisa tamat meski sistem multipartai sederhana lahir secara alamiah. Tetapi di balik itu, banyak suara pemilih akan hilang hingga keragaman pilihan politik dan keterwakilan merosot tajam.
Itulah sebabnya, penyederhanaan partai secara bertahap atau alamiah perlu dilakukan. Hal itu mengingat sistem pemerintahan presidensial akan berjalan efektif jika didukung sistem kepartaian sederhana.
Kegagalan membangun sistem kepartaian sederhana, berawal dari kompromi membolehkan partai-partai yang memperoleh kursi DPR, meski 1 kursi hasil Pemilu 2004 bisa ikut Pemilu 2009. Ketentuan electoral treshold 2,5%n dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 dilanggar sendiri.
Akibatnya, sempurnalah kompromi itu ketika ketentuan ambang batas parlemen dipatok 2,5% berbasis kursi DPR. Padahal jumlah partai yang tidak terlalu banyak, bisa membentuk sistem multipartai sederhana. Dari situ akan dicapai dua hal sekaligus, yakni penguatan partai politik dan penguatan lembaga politik.
Demi Kesejahteraan
Untuk itu, UU Pemilu harus disempurnakan untuk jangka panjang, tidak seperti sekarang tiap 5 tahun direvisi. Partai-partai harus konsisten atas regulasi untuk mewujudkan multipartai sederhana.
Solusi lain, partai yang tidak memenuhi ambang batas parlemen harus bergabung dengan partai lain, mendirikan partai baru, atau ikut partai besar. Kesepakatan angka ambang batas parlemen ini bergantung pada kearifan pimpinan parpol. Selain itu, pimpinan partai harus sadar bahwa partai adalah alat meraih kekuasaan sekaligus mencerdaskan rakyat.
Secara tradisional, orientasi agama juga dianggap merupakan faktor strategis guna memengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Studi klasik Clifford Geertz (1963) tentang kecenderungan pilihan parpol kaum santri dan abangan di Jawa, biasanya dirujuk terkait asumsi ini.
Namun kegagalan partai politik berbasis Islam dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009 mengonfirmasi terjadinya perubahan orientasi pemilih. Partai-partai sekuler seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat justru memperoleh dukungan signifikan di daerah-daerah santri.
Faktor kelas sosial sering dirujuk sebagai variabel yang ikut memengaruhi pilihan konstituen dalam pemilu. Namun karena umumnya parpol di Indonesia bersifat merangkum semua dan tak punya isu spesifik tertentu untuk kelas sosial tertentu maka pilihan atas parpol cenderung bersifat lintas kelas sosial (Syamsuddin Haris : 2011).
Pemilih PDIP sebagai partainya wong cilik misalnya, menjangkau pula kaum Soekarnois terdidik di perkotaan, kendati porsinya juga terus merosot dari pemilu ke pemilu.
Pertanyaan yang tersisa, bagaimana kompetisi Pemilu 2014? Ada dua tantangan utama. Pertama; meningkatnya persyaratan ambang batas parlemen pada pemilu mendatang, tantangan parpol baru makin berat jika persyaratan ambang batas juga diberlakukan bagi DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Partai yang sudah eksis di parlemen pun seperti PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura, bisa hilang dalam Pemilu 2014. Kedua; 9 parpol di parlemen akan berusaha keras mempertahankan kursi mereka dan berusaha meningkatan kursinya di Senayan. Untuk itu, tantangannya adalah bagaimana menjalankan aksi nyata dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. (10)
— FS Swantoro, peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
Wacana Suara Merdeka 23 Juni 2011
24 Juni 2011
Debat Tak Bermutu Parlemen
Thank You!