24 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Pilot Pocokan Pembaru PPP

Pilot Pocokan Pembaru PPP

PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) pada 3-6 Juli 2011 menggelar Muktamar VII di Bandung. Persaingan antarkandidat ketua umum  terasa sejak beberapa waktu lalu, terutama antara kubu incumbent Suryadharma Ali dan Ahmad Muqowam.

Wacana mendaulat ”pilot pocokan” guna mendongkrak suara partai menjelang Pemilu 2014 juga menggema, misalnya nama mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie mulai digadang-gadang sejumlah kader partai. 

Secara nasional, elektabilitas partai itu terus menurun sejak pemilu pasca reformasi (1999, 2004, dan 2009). Sekalipun partai ini selalu menjadi koalisi pemerintah, kursi wakil presiden dan beberapa menteri tidak mampu mendulang suara partai. Sebaliknya, dengan menjadi bagian pemerintah, partai tersebut justru memudar parpolnya. Partai dianggap oleh beberapa pihak telah kehilangan daya kritis, dan hanya menjadi bemper kebijakan pemerintah. Padahal dua hal ini tetap menjadi preferensi pemilih, terutama sebagai pencitraan di media.

Kehilangan yang belum tergantikan di tubuh parpol Islam ini adalah mulai menipisnya kiai dan tokoh pesantren yang menjadi andalan dan vote getter selama ini. Bersama Golkar dan PDIP, PPP sesungguhnya punya warisan modal masa lalu yang tak dimiliki oleh partai lain. Golkar dan PDIP relatif sanggup berbicara banyak dan mampu menjaga modal politik yang dimiliki. Ancaman berdirinya partai berhaluan nasionalis, hanya sedikit menggeser dan tidak sampai membuatnya terpuruk di papan bawah.

Hal ini sangat berbeda dari PPP. Di tengah berdirinya partai Islam dan berbasis massa Islam (seperti PKS, PKB, dan PAN), PPP nyaris tidak mampu memenuhi ambang batas (electoral threshold) di DPR jika jadi dinaikkan. Kekhawatiran makin terpuruk pada Pemilu 2014 dapat dipahami, yang terlihat dari dari menurunnya performance partai, baik saat kadernya bertugas di DPR, eksekutif, maupun partisipasinya di masyarakat.       

Bawa Perubahan

Tak ada yang berani menduga kekuatan Orde Baru tumbang secara dramatis oleh gerakan mahasiswa. Krisis ekonomi dan moneter 1997 membawa berkah bagi lahirnya gerakan reformasi pada 1998. Parpol lahir bak cendawan di musim hujan, termasuk parpol Islam.

Mereka menawarkan platform baru dengan tokoh politik yang lebih progresif. Dagangan baru ini dianggap jauh lebih menarik ketimbang jualan lama yang sudah out of date. Dengan partai baru, konstituen yang selama ini dibungkam dan hanya diberikan pilihan terbatas diharapkan dapat lebih mengaktualisasikan diri melalui berbagai pilihan.
Politik Indonesia sejak pemilu pertama berpusat pada dua kekuatan besar, yaitu partai berideologi nasionalis dan Islam. Pada berbagai survei, tampak bahwa elektabilitas parpol Islam makin menurun atau minimal stagnan pada masa datang. Sebaliknya parpol nasionalis relatif mampu menjaga posisi teratas, setidaknya ditunjukkan hasil Pemilu 2009. Kenyataan ini kontras dengan mayoritas penduduk Indonesia yang muslim.

Partai Persatuan Pembangunan adalah parpol Islam yang gagal menangkap modal politik mayoritas ini. Kebangkitan beragama di Tanah Air tidak memberi keuntungan positif baginya. Alih-alih malah kehilangan basis pemilihnya karena kaum nahdliyin, pesantren, dan sejumlah kiai kini makin pragmatis dan rasional berpolitik. Basis pemilih PPP sama persis dengan PKB sehingga pertarungan hebat tak terhindarkan. Pada sisi lain, ikatan ideologis keagamaan makin mengendor akibat politik kartel yang dipraktikkan oleh hampir seluruh parpol saat pemilu dan pilkada, tidak terkecuali PPP.

Partai ini telah kehilangan ideologi Islam yang selama Orde Baru menjadi magnet. Jualan ideologi politik makin menciut karena penetrasi PKS jauh lebih menggigit pemilih muda muslim. Performance politikus PPP di tingkat lokal dan nasional kadang malah membebani partai akibat kasus korupsi dan kurang mampu menunjukkan kapasitas diri untuk membela kepentingan rakyat.

Hitungan itu belum menempatkan parpol nasionalis sebagai pihak yang paling diuntungkan dengan situasi politik Islam di Indonesia. Jumlah parpol Islam yang banyak hanya membuat pemilih bingung, dan PPP adalah korban ego elite parpol Islam, yang hanya ingin menjadi raja sekalipun wilayahnya sempit.

Muktamar di Bandung harus dapat menjadi momentum meraih kembali kejayaan partai. Gambar Kakbah harus berkibar lebih tinggi dan makin memesona pemilih kalangan Islam. Partai butuh figur yang kualitasnya di atas Suryadharma Ali atau Ahmad Muqowam. Yang muda, ideologis, dan visioner lebih menjanjikan untuk membawa perubahan. (10)
    
— Abu Rokhmad, dosen IAIN Walisongo Semarang

Wacana Suara Merdeka 24 Juni 2011