24 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Tak Ada Pejabat Bersih?

Tak Ada Pejabat Bersih?

TAK ada pejabat yang bersih. Demikian pernyataan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, setelah melantik Dirjen Peradilan Tata Usaha Negara dan Militer di kantornya di Jakarta (23/06). Ketua pucuk peradilan itu melanjutkan, pernyataannya itu dimaksudkan tidak ada pejabat yang lepas dari kesalahan. Seterusnya dia mengimbau pejabat negara jangan saling menghujat dan menonjolkan diri, tetapi tidak mau menghargai (SM, 24/06/11). Pernyataan itu menandakan republik ini sedang berada di titik nadir.

Banyak media memberitakan banyak pejabat yang bobrok. Misalnya, Pusat Kajian Antikorupsi mencatat pada triwulan III/ 2010 ada 38 macam pelaku korupsi. Koruptor ada dari anggota/mantan anggota DPR/ DPRD, kepala daerah/ mantan kepala daerah, dirut perseroan terbatas, kepala dinas, pejabat departemen, kepala desa, dan pegawai pemda.

 Kemudian, kepala sekolah, sekretaris daerah, mantan menteri, perangkat desa, pejabat universitas, pengusaha, pengurus koperasi, anggota ormas, kepala kantor pajak, auditor BPK, pegawai pemkab/pemprov, polisi, anggota/ pegawai KPUD, kepala kantor pos, dirut perusda, dokter, camat, kepala kantor pertanahan, pengurus klub, pegawai kantor DPRD, pagawai BUMD, pimpinan proyek, pegawai bank, pegawai BUMN, pejabat perguruan tinggi, markus, hakim, pegawai pajak, masyarakat biasa, dan pemuka agama.

Melihat catatan itu, kebanyakan pelaku korupsi didominasi pejabat negara dan pernyataan Harifin Tumpa menemukan kebenarannya. Namun bagi saya, dan mungkin juga bagi masyarakat seluruhnya, pernyataan tersebut mengundang resah tanya. Apa memang sudah tak ada lagi pejabat yang bersih?

Lalu apa usaha untuk membersihkan pejabat yang kotor? Meski hampir semua aktor korupsi berasal dari lingkup pejabat negara, negeri ini masih memberikan sekelumit pejabat yang bersih. Di dunia peradilan, contohnya, ada nama Dr Yap Thiam Hien yang terkenal keras dan jujur. Rekannya, seorang hakim bernama Lie Oen Hock juga bersifat serupa.

Pernah suatu ketika Pak Yap bercerita, hakim Lie, temannya itu, tatkala bertugas di Pengadilan Istimewa Jakarta (sekarang PN Jakarta Pusat) tahun 1950-an, pagi-pagi mengejar advokat sampai ke pinggir jalan. Pengadilan geger. Ternyata si advokat datang lebih pagi ke pengadilan untuk menyuapnya. Hakim Lie marah dan ingin menempeleng si advokat dan ia mengejarnya sampai ke jalan. Untung si advokat bisa lolos.

Semangat Melayani

Mantan hakim, masih hidup, Bismar Siregar, juga contoh hakim bersih. Mantan Jaksa Agung, Baharuddin Lopa, adalah pejabat yang bersih. Alkisah, Pak Lopa pernah diminta datang ke sebuah pertemuan. Dia menolak menggunakan mobil dinas. Alasannya, meski bensin mobil bisa diganti, ban mobil yang aus karena digunakan untuk jalan, itu juga merugikan negara. Di Polri, kita pernah punya jenderal yang jujur, Hoegeng Iman Santoso.
Pak Hoegeng, dalam sebuah cerita, memerintahkan istrinya menutup toko bunganya. Dia emoh nanti toko bunganya itu didatangi banyak pembeli karangan bunga karena melihat jabatan Pak Hoegeng. Sampai begitu para pejabat putih itu  menjaga jabatannya agar tidak tercemari.

Contoh para pejabat jujur tersebut memberikan harapan bagi negeri ini, untuk rakyatnya dan untuk pejabatnya, yang sebenarnya bagian dari rakyat, untuk bisa bersih. Menjaga jabatannya dan tak korup, tak berkolusi, dan tidak nepotisme. Tinggal apakah ada kemauan dan kemampuan pejabat supaya bersih.
Agar tidak korupsi, semuanya dimulai dari kemauan semua pejabat negara. Kemauan harus dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak dipoles untuk pencitraan, tidak juga bohongan. Kemauan harus disemestakan. Pimpinannya memulai, niscaya bawahan turut di belakangnya. Bukankah ikan busuk dimulai dari kepalanya?

Setelah ada kemauan, harus ada kemampuan menangkal korupsi. Kemampuan penegakan hukum memberantas korupsi juga kemampuan bagi pejabat negara untuk tidak berlaku koruptif. Jangan biasakan terima pemberian dari orang lain semasa menjabat, meskipun kecil, kecuali gaji dan tunjangan dari negara.
Bukankah hakikat pejabat negara itu seharusnya melayani (to serve)? Biaya pelayanan itu sudah dibayar negara? Negara mendapatkan dana dari pajak yang rakyat bayarkan. Intinya, jangan berlaku korup. Apakah para pejabat kita masih mau bersih? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. (10)

— Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Opini Suara Merdeka 25 Juni 2011