24 Juni 2011

» Home » Okezone » Opini » Partai Politik dan Praktek Korupsi

Partai Politik dan Praktek Korupsi

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Partai Politik di Indonesia pertama kali didirikan oleh kaum pergerakan pada tahun 1911 bernama Indische Partij, mempermaklumkan “nasionalisme Indonesia dan menuntut kemerdekaan”. Inilah pangkal tolak lahirnya partai politik di tanah air sebagai alat perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Beberapa partai politik baru pun bermunculan, tanggal 4 Juli 1927, Soekarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia yang akhirnya pada Mei 1928 menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan “memperjuangkan kemerdekaan bagi kepulauan Indonesia dengan cara nonkoperatif yang digerakkan oleh organisasi massa”.

Hal serupa dilakukan oleh Tan Malaka dengan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) untuk mempersiapkan gerakan bawah tanah yang memuat nilai-nilai nasionalistik dengan meletakkan garis perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. PARI ditujukan kepada kaum intelektual, mahasiswa dan sarjana yang mengenyam pendidikan di Belanda dan yang berada di tanah air untuk menggalang kekuatan dan persatuan rakyat Indonesia bagi terwujudnya “Naar de Republiek” menuju Republik Indonesia yang merdeka.

Kemudian pada tahun 1939 ada usaha dari beberapa partai politik untuk melakukan penggabungan menjadi semacam dewan perwakilan rakyat KRI (Komite Rakyat Indonesia) yang terdiri dari salah satunya GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang memiliki program solidaritas antara kelompok-kelompok politik di Indonesia memperjuangkan hak menentukan sendiri bangsa Indonesia, kesatuan bangsa berlandaskan demokrasi sosial, politik, dan ekonomi, serta membentuk parlemen yang demokratis dan bertanggungjawab kepada rakyat Indonesia.

Di atas adalah sekelumit sejarah pembentukan dan perjuangan partai politik membela kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para Faunding Father tidak berfikir bahwa Partai Politik adalah alat kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan, apalagi sebagai alat untuk memperkaya diri, memburu rente, atau lahan basah melakukan tindakan korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara.

Begitulah bangsa kita, lain dulu lain sekarang, sejarah hanyalah tinggal kenangan. Idealisme adanya dulu, sekarang partai politik berlomba meraih kekuasaan, bersaing memperkuat pengaruh, berkompetisi mencari rente sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan nasib rakyat yang ditindas. Jika dulu aturan hukum tentang parpol belum ada, namun tidak ada partai politik menjadi alat penindas. Sekarang legal stanting dan enforcement law begitu kuat, namun supremasi hukum dilindas, demokrasi dicabik, dan hak asasi manusia diinjak-injak justru oleh partai politik. Bahkan partai politik menjadi sarang koruptor, penyamun uang rakyat yang notabene adalah konstituennya. Kader partai politik berjaya, rakyat melarat.

Secara konstitusional partai politik adalah satu-satunya kendaraan politik yang sah menurut UUD 1945. Semua pemangku kebijakan di negeri ini selalu bersinggungan dengan partai politik. Presiden dan wakil presiden haruslah diusung oleh partai politik, anggota legislatif adalah kader Partai Politik, para menteri mayoritas berasal dari partai politik, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati mesti dimenangkan oleh partai politik. Calon pejabat publik, Gubernur BI, anggota BPK, KPK, Komisi Yudisial, Kapolri, Bahkan Hakim Agung pun berkepentingan dengan partai politik, karena harus melalui fit and proper test oleh kader Partai Politik di parlemen. Kewenangan fit and proper test DPR perlu dikaji ulang karena menjadi lahan basah bagi transaksi politik yang koruptif.

Nyatalah bahwa seluruh sendi kehidupan kita dikendalikan oleh partai politik, hajat hidup masyarakat kita ada di tangan partai politik, serta nasib bangsa Indonesia ditentukan oleh partai politik lantaran partai politik lah tempat pendidikan politik dan tempat rekruitment politik para pemimpin bangsa ini.

Tentunya kita tidak menginginkan hajat hidup kita ditentukan oleh partai politik yang menjadi sarang koruptor, rumah penyamun dan pemburu rente. Kita perlu mereview kembali legal standing partai politik sehingga tidak ada celah korupsi dan transaksi dagang sapi di antara elit partai politik, penguasa dan pemodal. Peraturan tentang pencalonan Gubernur/ wakil gubernur dan Bupati/ Wakil Bupati yang linear dengan kebijakan otonomi daerah dimainkan oleh partai politik untuk mengusung calon yang “wani piro” alias berani bayar berapa. Klausul inilah yang menyebabkan banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi karena harus memgembalikan modal yang habis mereka pakai untuk membayar partai politik pengusungnya.

Begitupula hubungan antara partai politik dengan kader-kadernya di parlemen. Parlemen menjadi lahan subur bagi terjadinya transaksi peraturan perundang-undangan yang dipersembahkan untuk pengusaha atau investor bermodal besar. Dana Penguatan Infrastruktur Daerah (DPIP) pun menjadi incaran transaksi dagang sapi dengan daerah yang ingin mendapatkan proyek infrastruktur. Transaksi-transaksi tersebut menjadi lahan kader Partai Politik di legislatif. Dan tidak menutup kemungkinan di eksekutif. Proyek pembangunan, pengadaan barang dan jasa di Eksekutif akan selalu berurusan dengan legislatif, dan terbukti perusahaan pemenang proyek pun milik kader partai politik di legislatif. Sehingga ada klausul lingkaran korupsi yang melibatkan partai politik.

Oleh karena itu, mungkinkah kita bisa mengembalikan partai politik pada garis tujuannya menurut UU No.2 tahun 2008 bahwa partai politik didirikan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta berkewajiban menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Itulah tugas pemangku kepentingan di negeri ini, kewajiban para politisi, keharusan bagi para pengurus partai politik. Substansi peraturan perundang-undangan tentang partai politik harus menutup celah korupsi dan penyelewengan kekuasaan oleh kader partai politik di pemerintahan melalui pendidikan politik yang nasionalistik, perekrutan anggota dengan menjunjung tinggi keadilan dan memerangi KKN. Partai politik jangan hanya sibuk mengurus Parliamentary Treshold saja, padahal elektabilitas sejalan dengan upaya partai untuk mengatakan ‘tidak’ pada korupsi. Semakin bersih partai politik akan semakin dipercaya oleh rakyat.
Namun jika tidak, rakyat akan berdemokrasi dengan keterpaksaan; terpaksa memilih pemimpinnya, terpaksa memilih wakil-wakilnya di legislatif, terpaksa mengikuti pesta demokrasi, dan akhirnya keterpaksaan itu akan menuju puncak kebosanan yaitu hukum rakyat berlaku, karena yakinlah kedaulatan ada di tangan rakyat. Hidup rakyat!

MULYADIN PERMANA
Ketua Umum PC PMII Jakarta Timur;
Opini Okezone 23 Juni 2011