Para politisi di negara kita kerap membuat kebijakan dan peraturan perundangan demi kepentingan sempit dan sesaat sehingga sering melanggar UUD.
Apabila kita cermati, pembuatan kebijakan dan peraturan perundangan demi kepentingan sesaat sebenarnya bukan mutlak milik politik, di dunia pendidikan pun acap terjadi. Keduanya disebut politik transaksional dan pendidikan transaksional.
Terminologi pendidikan transaksional pernah diekspos TW Moore. Dalam Introducción a la Filosofía de la Educación
Praktik pendidikan transaksional di Indonesia sudah banyak, bahkan sudah sampai pada tahap yang mengancam kinerja pendidikan nasional itu sendiri, di antaranya kebijakan sekolah bertaraf internasional (SBI). Kebijakan ini sebenarnya bagus dan sesuai dengan amanat Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Berbagai ketentuan untuk menyelenggarakan SBI pun dibuat; antara lain 30 persen gurunya harus berpendidikan minimal magister untuk SMA dan SMK, 20 persen untuk SMP, serta 10 persen untuk SD. Gurunya pun harus bisa berbahasa Inggris secara aktif dalam mentransfer pengetahuan, ilmu, dan nilai kepada siswa. Secara institusional, sekolah harus berkualitas, yang tecermin dalam peringkat akreditasi A (paling tinggi), dan masih banyak ketentuan lainnya. Dengan semua itu, diharapkan kualitas lulusannya benar-benar bertaraf internasional.
Sampai di situ konsep dan pelaksanaan SBI sangat positif dalam upaya memantapkan kinerja pendidikan nasional. Konsep berubah ketika masyarakat ingin mengakses SBI karena, untuk bisa berpartisipasi dalam SBI, calon partisipan harus mampu menyediakan dana relatif besar.
Untuk bisa masuk SBI di pedesaan saja, kandidat anak didik harus mampu menyediakan dana awal minimal Rp 6 juta. Angka ini sangat sulit dipenuhi masyarakat pedesaan yang umumnya tidak kaya. Namun, SBI tetap saja ”penuh” peminat, yang sebagian adalah orang-orang kaya dari kota. Di sini terjadi praktik pendidikan transaksional antara orang-orang kaya alias kaum berduit dan penyelenggara sekolah.
Apakah lulusan SBI tersebut benar-benar bertaraf internasional? Rasanya kok tidak. Dengan alasan masih bersifat rintisan (RSBI), jumlah guru yang berpendidikan magister belum memenuhi persyaratan dan penguasaan bahasa Inggris para guru masih setengah-setengah. Alhasil, kualitas lulusan kurang.
Praktik pendidikan transaksional dalam kasus SBI tidak sekadar kurang sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945, tetapi juga merugikan masyarakat kelompok miskin (the have not).
Di luar kasus SBI, masih banyak kasus lain yang mempraktikkan pendidikan transaksional. Kasus ujian nasional (UN) yang selalu menjadi polemik adalah contoh lain; berbagai kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN identik dengan praktik pendidikan transaksional.
Apakah praktik pendidikan transaksional bisa dieliminasi atau setidak-tidaknya diminimalkan? Tentu saja bisa, tergantung pada kemauan dan kesungguhan penyelenggara pendidikan.
Dalam kasus SBI, seandainya pemerintah atau pemerintah daerah mau menyediakan anggaran menjalankan SBI, praktik pendidikan transaksional bisa diminimalkan. Dengan disediakannya anggaran oleh pemerintah atau pemerintah daerah, SBI dapat diakses siapa saja yang berminat dan memenuhi ketentuan, termasuk anggota masyarakat yang tidak mampu.
Dalam kasus UN, kalau semua pihak dapat mengeliminasi kecurangan-kecurangan yang terjadi di dalamnya, praktik pendidikan transaksional tentu bisa dieliminasi. Untuk mengeliminasi kecurangan pelaksanaan UN, diperlukan komitmen semua pihak, termasuk penyelenggara pendidikan, karena disinyalir kecurangan pelaksanaan UN tidak saja dilakukan oknum siswa, tetapi juga oknum guru, kepala sekolah, sampai pejabat pendidikan.
Praktik pendidikan transaksional bisa menjerumuskan kita pada kinerja semu. Maka, praktik pendidikan transaksional harus dihentikan!