04 Januari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Manfaat dan Mudharat Momentum Pergantian Tahun

Manfaat dan Mudharat Momentum Pergantian Tahun

Oleh : H. Kliwon Suyoto
Ledakan petasan dan pancaran sinar kembang api diikuti dengan asap berbau mesiu di udara, serta hiruk pikuk bunyi terompet selalu mewarnai momentum pergantian tahun.
Entah sejak kapan model ini mentradisi, yang pasti tiap kali pergantian tahun suasana itu pun terjadi.
Di berbagai kota, sejumlah lokasi dikerumuni massa; jalanan dipadati kendaraan, bahkan terkadang juga kebut-kebutan. Panggung hiburan pun digelar, yang terkadang berbuntut tawiuran. Tapi ironisnya, semua ini tak luput menjadi komoditas liputan dan pemberitaan di media massa.
Polisi didukung anggota TNI kerja ekstra. Mobil pemadam kebakaran pun disiagakan, walau sering kali tak mampu bergerak leluasa ketika terjadi kebakaran. Karena hampir semua jalan dipadati kendaraan. Objek wisata dibanjiri pengunjung yang harus rela antri untuk mendapatkan tiket masuk. Agar lebih lama berada di objek wisata, pengelola pun menawarkan momentum lain, sambut mentari pagi tahun baru 2011, sebagaimana terjadi di Ancol, sehingga sebagian pengunjung bermalam di objek wisata, yang esok menyisakan tumpukan sampah.
Memang tidak semua masyarakat memilih cara di atas. Di bagian lain, gema zikir juga menandai malam pergantian tahun. Misalnya yang terjadi di Masjid At Tin Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, yang antara lain dihadiri Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan anggota DPD AM Fatwa. Di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, zikir akbar sambut tahun baru 2011 digelar di Masjid Raya Baiturrahman, dipimpin ulama asal Yaman yang juga dihadiri 200 ulama dari seluruh Aceh.
Pelaksanaan zikir dan doa bersama juga menjadi pilihan di Gorontalo dan Sukoharjo. Ribuan orang larut dalam zikir dan doa bersama tersebut. Mereka menghindari sambut pergantian tahun 2010 menuju 2011 dengan gelar pesta "hura-hura" yang memboroskan dana. Evaluasi dan introspeksi diri menjadi pilihan, ketimbang membakar petasan dan mercon yang berpotensi bencana. Misalnya seperti yang terjadi di Samarinda, empat unit rumah terbakar pada detik-detik pergantian tahun akibat percikan kembang api yang jatuh di atap rumah. Mobil pemadam kebakaran yang sudah siaga, tidak mampu menembus keramaian jalan yang dipadati massa.
Contoh bencana lainnya terjadi di Makasar, Ilham, bocah usia dua tahun menangis histeris setelah terkena petasan yang dinyalakan sekelompok pemuda. Insiden terjadi saat Ilham dan kedua orang tuanya berada di tengah ribuan orang, yang sedang menyambut pergantian tahun di Pantai Losari Makassar. Ilham yang mengalami luka di bagian pelipis langsung dilarikan ke rumah sakit untuk segera mendapat perawatan. Tetapi pesta petasan tetap berlanjut, warga tetap menyalakan petasan dan kembang api untuk menyambut datangnya tahun baru 2011.
Sungguh sangat disayangkan, kegiatan yang terkesan "hura-hura" ini malah dijadikan media untuk pemecahan rekor MURI. Ini terjadi di Manado, Sulawesi Utara yang konon berhasil menyelenggarakan pesta kembang api selama 90 menit pada pergantian tahun. Manager MURI Paulus Pangka, di Manado, mengatakan rekor MURI penyalaan kembang api terlama selama 90 menit tanpa henti telah berhasil digelar. Penyalaan kembang api ini masuk pada penghargaan rekor MURI ke 4.684. Sebelumnya rekor MURI untuk penyalaan kembang api terjadi pada tahun 2003 di Jakarta dalam waktu 55 menit.
Manfaat dan Mudharatnya
Walau manfatnya hanya sebatas kesenangan dan kegembiraan, suka cita dan kebahagiaan sesaat, namun gelar "hura-hura" sambut momentum pergantian tahun semakin mentradisi dalam skala nasional. Memang ada konstribusinya kepada sejumlah pedagang kecil – petasan, kembang api, aneka makanan ringan dan minuman – serta pelaku bisnis objek wisata tertentu atas kegiatan itu. Tetapi, pernahkan menakar bagaimana mudharatnya ? Rumah terbakar akibat percikan kembang api, bocah terluka akibat ledakan mercon. Walaupun sifatnya kasuistis, bukankah ini contoh nyata dari mudharatnya ?
Masih banyak bentuk mudharat yang lain dari kegiatan "hura-hura" ini. Mobilitas massa dengan peningkatan jumlah kendaraan di sejumlah ruas jalan raya. Lalulintas di jalur Bogor – Puncak – Cianjur (Bopuncur) padat merayap, jalur menuju kawasan Monumen Nasional (Monas) dan menuju Ancol macet. Bahkan kemacetan lalulintas tidak hanya terjadi di ibukota, berbagai kota provinsi, kabupaten dan kota pun nyaris tidak berbeda. Maklum, dengan prediksi 5% warga NKRI turun ke jalan bermobil, maka ada sekitar 46 juta kendaraan. Berapa konsumsi BBM yang telah diboroskan ?
Belum lagi mudharatnya terhadap lingkungan kota. Selain asap dari sejumlah kendaraan, masih ditambah dengan kepulan asap dari pembakaran kembang api dan mercon. Sejauh ini memang belum diketahui jenis gas buang apa yang terkandung pada asap keduanya.
Tetapi dapat dipastikan itu juga berkonstribusi terhadap pencemaran udara lingkungan kota yang sudah sarat dengan kandungan polutan emisi gas buang kendaraan. Bahkan di desa, saat membuat tulisan ini pagi 1 Januari 2011, penulis kehilangan kicau burung yang biasa bertengger di dahan pohon. Mungkin sekali satwa itu menyingkir akibat asap petasan dan mercon tadi malam ?
Mudharat berikutnya adalah serakan sampah, yang tidak hanya di jalanan, juga di sejumlah objek wisata tempat berlangsungnya perhelatan sambut pergantian tahun. Kertas bekas topi kerucut dan terompet, bahkan bekas kemasan aneka makanan ringan dan minuman berserakan. Walaupun tersedia tempat pembuangan sampah, namun akibat masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat, buang sampah sembarangan masih tetap dominan. Giliran petugas kebersihan yang harus menanganinya, walau terkadang dibantu pemulung sebagai mitranya.
Mudharat terakhir adalah terbuangnya waktu secara sia-sia, sehingga berkonstribusi terhadap hilangnya produktivitas secara nasional. Logikanya momentum pergantian tahun hanya beberapa menit. Tetapi, berbagai persiapan pra dan purna momentum tidak cukup dalam bilangan menit, bisa berjam-jam. Artinya, banyak waktu yang dikorbankan hanya untuk sebuah momentum yang sarat seremonial dengan muatan kemudharatan. Indikator nyata, saat azan Subuh 1 Januari 2011, beberapa Mushollah dan Masjid hanya diisi sedikit jemaah.
Evaluasi dan Interospeksi
Beruntung, dalam suasana gegap gempitanya anak manusia yang "berhura-hura" di permukaan bumi, termasuk di negeri ini. Ternyata masih ada yang memanfaatkan momentum pergantian tahun dengan cara yang lebih elegan untuk sebuah evaluasi dan interospeksi. Salah satunya, zikir akbar di Masjid At Tin, TMII, yang dihadiri Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan anggota DPD AM Fatwa. Juga di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, di Masjid Raya Baiturrahman, bahkan mungkin di sejumlah tempat lainnya.
Lebih beruntung lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana diberitakan situs berita VIVAnews, tidak memiliki agenda khusus di malam pergantian tahun. Staf Khusus Bidang Informasi dan Komunikasi Heru Lelono kepada VIVAnews mengatakan: "Tidak ada agenda khusus. Rencananya di Istana Cipanas." Menurut Heru, Presiden hanya memiliki agenda malam pergantian tahun bersama keluarga. "Hanya internal bersama keluarga," lanjutnya kepada VIVAnews. Kita berharap presiden juga melakukan evaluasi dan interospeksi selama berada di istana Cipanas bersama keluarga.
Sebab, evaluasi dan interospeksi sangat diperlukan dikaitkan dengan fakta, bahwa dalam beberapa hal peringkat keunggulan serta citra negeri ini masih kalah dengan sejumlah negara Asean, bahkan juga kalah dengan negara "tetangga sebelah" Malaysia. Sejalan dengan adagium The Man Behind The Gun, jelas bahwa ini merupakan indikasi masih belum primanya mentalitas dasar (basic mentality) anak negeri ini. "Hura-hura" lebih menjadi pilihan ketimbang melakukan evaluasi dan interospeksi. Akibatnya, keindahan alam yang dilukiskan sebagai untaian jambrut di khatulistiwa. Kesuburan tanah yang diungkapkan dengan gemah ripah loh jinawi belum mampu membuat negeri menempati posisi unggul.
Bukti paling aktual, kegagalan Timnas PSSI meraih kemenangan pada babak final piala AFF. Senyum, tawa, kegembiraan, bahkan kegemparan, secara temporer memang mampu disuguhkan Timnas. Publik pun rela merogoh saku lebih dalam lagi, antri dengan berbagai suka dukanya untuk membeli tiket, mengorbankan waktu dan energi untuk menonton atau sekedar membahas jalannya pertandingan. Tetapi apa endingnya ?, Malaysia lebih unggul dari Indonesia. Inilah antara lain perlunya prosesi evaluasi dan interospeksi tadi, yang tentunya tidak sebatas di bidang sepak bola, juga di semua bidang.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan lingkungan tinggal di Tebing Tinggi.
Opini analisa Daily 5 Januari 2010