Oleh : Launa, SIP MM
Prospek dan dinamika politik 2011 diestimasi masih akan berjalan suram? Realitas ini setidaknya tercermin dari maraknya kasus-kasus politik 2010 yang masih akan berlangsung hangat dan membebani politik nasional 2011.
Dinamika politik yang berlangsung sepanjang tahun 2010 dianggap banyak analis masih terlalu seronok, over acting, dan melodramatic. Politik 2010 praktis masih menyandera agenda pencapaian pembangunan demokrasi 2011.
Jika kita melihat atraksi "panggung" politik 2010 dari sisi depan, memang menarik dan penuh sensasi. Namun, fenomena tersebut tak sebangun dengan hasil pemilu langsung (direct democracy) 2009 yang sesungguhnya telah memberi mandat bagi terselenggaranya tiga tujuan demokrasi, yakni pemerintahan yang efektif dan terkontrol, kemampuan pemerintah menghasilkan kebijakan publik yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pendalaman (deepening) demokrasi melalui peningkatan pelembagaan politik guna menata struktur demokrasi dan perilaku aktor/elite politik yang beradab.
Kedua, perseteruan kepentingan yang kini intens berlangsung di tubuh Sekretariat Gabungan (Setgab), organ bayangan koalisi parpol loyalis SBY-Boediono. Konflik di tubuh Setgab menunjukkan bahwa koalisi gemuk tak menjamin terciptanya stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif. Kesan bahwa Setgab di-create sebagai produk tawar-menawar politik antarparpol besar sulit untul ditampik. Sedari awal, publik politik melihat eksistensi Setgab tak lebih dari simbol kemenangan Partai Golkar (baca: Aburizal Bakrie), terhadap pemerintahan SBY-Boediono.
Ketiga, hampir semua parpol, terutama empat parpol peraih suara terbesar pemilu 2009, terbelit berbagai kasus hukum pada 2010. Partai Demokrat tersandera skandal Bank Century, Golkar oleh kasus mafia pajak Gayus Tambunan, PDI-P oleh ulah suap yang membelit kadernya di parlemen terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom, dan PKS oleh kasus letter of credit (L/C) yang mendera Misbakhun.
Keempat, kuatnya politisasi birokrasi, dimana institusi pelayan publik ini akhirnya tak pernah bisa bekerja efektif, baik dalam rangkan mewujudkan good governance dan memberi pelayanan prima pada masyarakat. Politisasi birokrasi yang lebih fatal terjadi di daerah. Tak hanya institusi birokrasi lokal, para pejabat birokrasi lokal kini dirundung perpecahan dan konflik akibat akibat intervensi dan pembajakan kebijakan yang dilakukan para elite daerah, baik dalam rangka memenangkan pertarungan pemilukada maupun dalam rangka "pendistribusian kebijakan" ekonomi bagi para penyokongnya yang kerap menabrak rambu-rambu regulasi pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel.
Kelima, sejalan dengan kian menguatnya politik kepentingan sebagai panglima, keecenderungan menguatnya oligarki dan dinasti politik kini semakin tampak. Di level nasional, fenomena jaringan kekerabatan, oligarki, dan dinasti politik telah terbangun apik di institusi eksekutif, DPR dan DPD. Sementara di level daerah, incumbent kepala daerah dua periode, tak malu-malu mencalonkan diri sebagai wakil kepada daerah di daerah yang sama, atau menjagokan istri dan saudaranya. Politik dinasti yang diawali oleh "politik uang" dan pola rekrutmen politik keluarga jelas melabrak kepatutan dan kesantunan demokrasi.
Keenam, sepanjang tahun 2010, kita disuguhkan oleh pemberitaan yang dominasi "politik uang" telah memporak-perandakan makna kebajikan kekuasaan. Kedaulatan rakyat ditukar dengan mengumbar kata dan pesona, kecanggihan membangun citra dan realitas semu. Namun, politik kekuasaan selalu gugup dalam menjalankan fungsinya untuk memuaskan dahaga rakyat akan "demokrasi", "hak asasi", dan "keadilan sosial" yang nyata, bukan yang telah direduksi, dieksploitasi, syarat basa-basi, dan dibumbui eufimisme.
Ketujuh, prioritas alokasi belanja negara untuk mencapai empat pilar pembangunan yang pro pertumbuhan ekonomi (pro growth), pro penciptaan lapangan kerja (pro job), pro pengentasan kemiskinan (pro poor), dan pro lingkungan hidup (pro environment), jika kita lihat aplikasinya, ternyata tak menunjukkan percepatan kinerja untuk mencapai keempat target prioritas itu. Kebijakan pembangunan pro rakyat hanya menjadi sekedar wacana yang miskin substansi, cenderung kosong, dan membosankan.
Kedelapan, pemerintah tak memiliki politik undang-undang sebagai acuan perencanaan program regulasi yang mendukung tujuan nasional. Padahal UU No 10/2004 secara imperatif mewajibkan perencanaan dalam penyusun UU harus melalui mekanisme program legislasi nasional (Prolegnas) dan program legislasi daerah (Prolegda) sebagai instrumen perencanaan penyusunan regulasi secara terpadu dan sistematis.
Tetapi semua itu menjadi mubazir karena para politisi parlemen lebih tertarik dengan politik dagang sapi yang dapat menjamin kelangsungan kedudukan mereka. Prolegnas dan Prolegda tak cuma menjadi mandul, namun secara substansi, tak banyak berguna bagi perwujudan demokrasi dan good governance.
"PR" Politik 2011
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan, konstelasi politik 2011 sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pemerintahan SBY-Boediono memiliki komitmen untuk menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus besar "politik" 2010. Sebab, berbagai kasus politik 2010 yang sensitif itu bukan tidak mungkin kembali memanas pada 2011, seperti kasus mega Century, kriminalisasi dan delegitimasi KPK, kasus mafia hukum dan mafia peradilan, serta sejumlah kasus penyuapan dalam pemilihan pejabat publik atau kasus penjualan saham perdana (IPO) PT Krakatau Steel yang sempat menghebohkan publik.
Selain itu, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, masih ada sejumlah agenda politik 2010 yang harus diselesaikan pada 2011, seperti revisi terhadap UU No 2/2008 tentang Partai Politik, UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Terkait dengan otonomi daerah, juga terdapat agenda yang harus diselesaikan di tahun 2011, yaitu revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, RUU tentang Pemilu Kepala Daerah, RUU tentang Desa, RUU tentang DIY, grand design penataan daerah, dan penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Satu dari antara revisi UU tersebut yang cukup kontroversial dan menyita perdebatan panjang adalah RUU tentang penyelenggara pemilu, terutama yang terkait dengan boleh tidaknya wakil parpol masuk sebagai anggota regulator pemilu (KPU).
Yang juga kontroversial adalah RUU Keistimewaan Yogyakarta. Hal ini terkait jabatan gubernur, apakah harus melalui pemilihan atau penetapan. Kasus lain yang dapat meningkatkan suhu politik tahun 2011 adalah rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik, tarif kereta api kelas ekonomi, serta rencana pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi.
Untuk merespon kondisi kurisal tersebut, setidaknya terdapat empat hal yang perlu segera dilakukan pemerintah. Pertama, memperkuat kapasitas sistem politik, sebagai prasyarat memperkuat bangunan negara. Kini, sistem politik Indonesia sedang mengalami radang yang parah, yang terindikasi dari perubahan paradigma dan fungsi parpol. Parpol tak lagi berperan sebagai sarana pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan.
Parpol kita juga tak memiliki tradisi political merit system yang kuat dan terlembaga, nir ideologi dan tak memiliki sistem rekrutmen dan kaderisasi yang memadai. Di 2011, parpol tak boleh lagi berperan ganda sebagai "perusahaan", tempat orang mencari nafkah, memenuhi ambisi, dan alat bagi kepentingan para elitenya.
Kedua, memperkuat proses penegakan hukum. Hal ini juga disorot Fukuyama terkait state empowering. Sudah jadi rahasia umum, penegakan hukum di Indonesia amat diwarnai KKN. Kesulitannya, upaya untuk memperkuat penegakkan hukum harus dimulai dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Kita menyebut ini sebagai judicial corruption karena upaya pemberantasan korupsi yang terjadi dalam birokrasi dan politik justru mengakibatkan korupsi baru dalam wilayah peradilan dan institusi penegak hukum lainnya. Kondisi ini tak saja telah membuat hilangnya kepercayaan dan penghormatan publik atas hukum, tetapi juga pembiaran terus-menerus terhadap tiap pelanggaran hukum.
Ketiga, memperbaiki kinerja birokrasi. Sebab, birokrasi yang kacau hanya akan membuat fungsi mesin negara bekerja secara tidak efisien, tidak efektif, korup, dan tak sensitif. Kegagalan pembangunan sering disebabkan ketidakmampuan negara mereformasi birokrasinya. Hal sama terjadi untuk Indonesia. Birokrasi sebagai mesin negara, terkooptasi kepentingan politik sehingga dipenuhi budaya kekuasaan, bukan sebaliknya: budaya pelayanan. Kondisi ini menimbulkan korupsi birokrasi (kleptokrasi). Pertautan dan perkawinan antara political corruption, judicial corruption, dan bureaucratic corruption telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara.
Keempat, memperkuat konsolidasi demokrasi yang sejak reformasi terus tertunda. Untuk itu, Kalangan masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi yang lebih efektif dan sinergis agar dapat membangun kekuatan tanding, baik terhadap pemerintah maupun parlemen. Penggalangan kekuatan masyarakat sipil sangat diperlukan mengingat demokrasi prosedural telah menjadi instrumen elite politik untuk kian memperkuat demokrasi prosedural, dan medelegitimasi tujuan penguatan demokrasi substansial.
Kita berharap, konfigurasi politik 2011 bisa berjalan lebih sehat. Jangan sampai pemerintahan SBY-Boediono yang telah diberi mandat rakyat menguras energinya hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite disekitarnya, yang pasti tak terkait dengan urusan rakyat. Ingat, mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, parpol, kerabat, dan golongan adalah perintah konstitusi! ?***
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Satya Negara Indonesia; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama.
Opini analiysa Daily 5 Januari 2010