04 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Ancaman Kebijakan Salah

Ancaman Kebijakan Salah

Ada anggapan bahwa korupsi lebih berbahaya daripada terorisme karena korban korupsi jauh lebih besar, bersifat masif, dan berjangka panjang dalam artian, pemulihan terhadap korban dan kerusakan yang ditimbulkan bisa berlangsung dalam hitungan dekade.
Namun, sebenarnya kebijakan pemerintah atau penguasa yang salah jauh lebih destruktif: korban dan kerusakannya lebih berlipat ganda dibandingkan dengan akibat korupsi. Kemiskinan dan kebodohan serta berbagai sindrom patologi sosial yang ditimbulkannya dapat melilit dari generasi ke generasi.
Kita perlu merujuk bagaimana para bapak bangsa yang tergabung dalam BPUPKI/PPKI merumuskan kebijakan bagi kehidupan berbangsa-bernegara yang akhirnya menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara, falsafah bangsa yang menjiwai konstitusi, serta menjadi sumber dari hukum nasional. Kendati secara resmi BPUPKI/PPKI hanya bekerja dalam beberapa bulan, sebenarnya pemikiran tentang Pancasila serta garis haluan kenegaraan telah lama berkembang menjadi bahan diskusi mereka dalam forum pergerakan, bahkan hingga di tempat pengasingan.
Dengan demikian, formula yang dihasilkannya merupakan buah, kristalisasi, dan kulminasi dari proses pemikiran strategis jangka panjang. Formula itu digali Bung Karno dan kawan-kawan dari akar budaya bangsa sendiri dan memadukannya dengan ideologi serta sistem kenegaraan yang telah berkembang secara global.
Rumusan kebijakan itu boleh dibilang sebagai buah perkawinan lokalisme dan universalisme, idealisme dan realisme, sehingga membumi, sangat cocok, visioner, dan terbaik dalam upaya mempersatukan bangsa serta mencapai tujuan nasional: negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Liberalistis
Memasuki era Orde Baru, penguasa saat itu mulai membuka ruang bagi liberalisasi ekonomi. Beberapa perusahaan asing diundang berinvestasi di berbagai bidang, termasuk pertambangan, perkebunan, dan pengelolaan hutan dengan ketentuan bagi hasil yang tak adil. Sejak itu bergulirlah proses pengerukan kekayaan alam serta perusakan hutan tanpa memberi manfaat berarti bagi pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, serta pertahanan nasional yang sangat dibutuhkan bagi pencapaian tujuan nasional.
Namun, kebijakan saat itu, khususnya di awal Orde Baru, masih mampu buka jalan keluar dari megakrisis bidang ekonomi, politik, dan keamanan, bahkan mampu memberi peningkatan kesejahteraan yang cukup berarti. Memang kemajuan ekonomi tersebut bersifat semu sehingga belakangan gampang runtuh diterpa krisis hebat.
Mari kita cermati kebijakan penguasa pascareformasi, termasuk pemerintah yang berkuasa saat ini. Kebijakan-kebijakan yang liberalistis, beraroma fundamentalis pasar bebas, diikuti gelombang privatisasi BUMN, termasuk perusahaan strategis yang mengurusi cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak—sebagaimana diatur Pasal 33 UUD 1945—telah digelar dengan intensitas amat tinggi.
Selain membuka ruang lebar bagi perusahaan asing untuk mengisap kekayaan bangsa, langkah ini sangat potensial membenamkan rakyat menengah-bawah ke jurang kesulitan ekonomi yang sangat kuat menjerat.
Ambil contoh kebijakan penghapusan subsidi BBM dengan menghilangkan premium dan menggiring konsumen beralih ke pertamax yang harganya jauh lebih mahal. Menurut ahli perminyakan, Kurtubi, kebijakan ini, selain mutlak salah, juga sangat tendensius. Selain dapat memicu kenaikan harga berbagai komoditas kebutuhan pokok masyarakat, konsumen pun dapat beralih ke produk asing Shell atau Petronas.
Demikian pula kebijakan ketenagalistrikan yang memecah PLN menjadi unit pembangkit, transmisi, dan distribusi serta dapat diprivatisasi sebagaimana diatur dalam UU 30 Tahun 2009 yang judicial review-nya baru saja ditolak Mahkamah Konstitusi. Akibat pemberlakuan kebijakan ini, akan terjadi kenaikan tarif listrik, dan asing pun bakal beramai-ramai menguasai PLN.
Tangan asing
Contoh lain adalah tentang Penanaman Modal sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2007 yang sangat liberalistis karena memberi kesempatan bagi asing mengeruk kekayaan alam kita selama hampir 200 tahun dengan modal di atas 90 persen. Akibatnya, terjadi pemanfaatan lahan serta pengerukan kekayaan alam oleh asing dalam kurun waktu panjang dengan manfaat amat minim bagi rakyat.
Contoh kebijakan penguasa yang dituangkan dalam UU di atas hanya sebagian kecil dari kebijakan ekonomi liberalistis. Badan Intelijen Negara (BIN) pernah menyampaikan data: sedikitnya terdapat 72 UU yang proses pembuatannya dikawal oleh konsultan asing sehingga patut dicurigai bermuatan kepentingan asing.
Liberalisasi bidang politik telah menyuburkan sikap machiavellian, kolusi, nepotisme, dan politik uang sehingga iklim demokrasi pekat dengan konflik dan anarki. Di bidang budaya, mekar sikap feodalistis, pragmatisme sempit, individualisme, materialisme, hedonisme, konsumtivisme, fanatisme sempit, fundamentalisme, serta radikalisme.
Dari perspektif Pancasila serta garis haluan kenegaraan karya para Bapak Bangsa, semua kebijakan liberalistis di atas jelas menyimpang dan berdampak pada kerusakan sosial-ekonomi-budaya yang potensial berujung pada disintegrasi. Tentu pendapat ini bisa diperdebatkan dan pihak penguasa pun pasti memiliki kontra-argumen.
Namun, berdasarkan pantauan penulis dari media massa serta ajang diskusi langsung maupun lewat dunia maya, tulisan ini membawa aspirasi banyak kalangan, seperti kaum nasionalis (sejati), intelektual, purnawirawan, dan terutama rakyat kecil sehingga patut jadi perhatian pemerintah demi kepentingan nasional kita. Dalam pigura itulah spirit tulisan ini diletakkan.
Kiki Syahnakri Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)
Opini Kompas 5 Januari 2011