04 Januari 2011

» Home » Opini » Republika » Krisis Kebanggaan Negara Hukum

Krisis Kebanggaan Negara Hukum

Muh Khamdan
Peneliti Paradigma Institute

Krisis kebanggaan rasanya telah menjadi fenomena pada masyarakat Indonesia, terlebih atas cita-cita membangun negara Indonesia sebagai negara hukum. Fenomena demikian sangat dimaklumi karena kedaulatan hukum telah dipermainkan oleh saktinya mafia hukum melalui penggiringan dalam proses negosiasi kekuasaan dan kekayaan untuk mengamankan kepentingan masing-masing.

Oleh karenanya, cita-cita sebagai negara hukum harus tercederai karena hukum tidak mampu berjalan sebagaimana fungsinya. Pernyataan demikian seperti digambarkan melalui acara plesiran Gayus yang mencapai 68 kali meninggalkan selnya di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Peristiwa tersebut menunjukkan kontradiksi dengan penegakan kasus-kasus hukum sebelumnya.

Bagi masyarakat umum, peristiwa tersebut akan membuka kenangan yang belum hilang dalam prahara penegakan hukum di Indonesia menyangkut keadilan yang seolah telah hilang di pengadilan.

Pada penghujung 2009, rentetan perkara hukum yang menyandera keadilan masyarakat ditunjukkan dengan adanya putusan hakim yang mengganjar 45 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan terhadap Nenek Minah (55), hanya karena memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).

Hukum juga memaksa Basar dan Kolil mendekam dalam penjara Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka. Tentu hiruk pikuk keadilan semakin keras ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita Mulyasari mengganti kerugian material dan imaterial kepada RS Omni sebesar Rp 204 juta karena dakwaan pencemaran nama baik.

Berbagai pelajaran kasus-kasus yang menimpa masyarakat kelas bawah ternyata belum mampu mengokohkan relasi keadilan hukum dan moralitas di negeri ini. Justru pada 2010, kesaktian mafia hukum di negara hukum semakin menjadi-jadi. Terbongkarnya istana di dalam penjara yang melibatkan Artalyta Suryani menjadi permulaan.

Secara perlahan, kekuatan-kekuatan mafioso semakin menggurita dengan menangnya Anggodo Widjojo dalam gugatan praperadilan terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus yang dituduhkan kepada dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Darurat mafia hukum semakin nyata dengan tidak jelasnya penindakan atas kasus Bank Century dan pengungkapan intimidasi hukum yang menimpa aktivis ICW Rama Satya Langkun serta pengeboman kantor redaksi Tempo yang dianggap terkait dengan rekening "gemuk" para petinggi kepolisian.

Terlebih pengakuan mantan kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji telah membongkar adanya jaringan mafia korupsi di semua instansi penegak hukum. Namun lagi-lagi, penindakannya seolah jalan di tempat.

Dari kenyataan hukum di atas, kiranya fakta adanya upaya tajam sepihak atas pisau keadilan terhadap masyarakat kelas bawah harus dijadikan introspeksi. Terlebih saat ini mulai terbongkar praktik-praktik negosiasi perkara hukum di atas peristiwa politik, sehingga masyarakat awam mudah melihat barter antara kekuasaan politik dan kekuasaan hukum.

Dalam kaitan itu, hukum harus relevan dan berpihak pada kepentingan rasa keadilan sosial masyarakat. Hukum harus menjadi pengayom sesama warga masyarakat tanpa membeda-bedakan dengan menegakkan keadilan untuk semua (equality before the law). Fakta adanya negosiasi perkara hukum dengan perkara-perkara lainnya harus dijadikan wahana introspeksi untuk melihat sejujurnya apa yang terjadi antara kekuasaan hukum dan kekuasaan tak terlihat.

Hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi hukum tidak bisa dibiarkan ditunggangi oleh kekuasaan. Secara hakiki hukum harus pasti dan adil agar hukum berfungsi sebagaimana mestinya. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil menunjukkan hukum yang buruk, sehingga mudah direkayasa untuk kepentingan tertentu sekaligus memberi peluang kepada profesional hukum guna menafsir atau menjerat perkara hukum sesuai selera subjektif. Pernyataan ini bukan sekadar isapan jempol, tetapi memiliki korelasi fakta yang terjadi selama ini bahwa hukum memang telah diatur oleh kekuatan uang dan bisnis.

Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973) menggambarkan bahwa hukum cenderung dibuat untuk menampung keinginan elite yang menguasai negara daripada untuk kepentingan masyarakat. Akibatnya, muncul pertentangan antara idealitas teori hukum dan positivitas hukum, sehingga penegakan hukum justru mendatangkan malapetaka dalam kehidupan sosial karena moralitas sudah terkalahkan oleh kekuasaan.

Untuk itu, dibutuhkan komitmen bersama untuk mengawal hukum agar tidak menghina rasa keadilan masyarakat atau adanya politisasi hukum karena keberadaan Satgas anti-Mafia Hukum tidak efektif memerankan pengawasan.
Pada sisi lain, penyadaran melalui pendampingan yang kontinu terhadap masyarakat mengenai hukum harus diperluas ke semua lapisan agar mampu mengawal kepastian hukum dan mencegah terjadinya manuver kekuasaan dalam kedaulatan hukum.

Inilah yang harus dilakukan agar fungsi hukum benar-benar berjalan dengan pasti dan adil, di samping memang harus dikembangkan pula internalisasi etika universal terhadap aparat penegak hukum.

Terlebih tiga institusi hukum yang menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum telah memiliki pimpinan baru di penghujung tahun.
Opini Republika 5 Januari 2010