04 Januari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Pribadi dan Agama

Pribadi dan Agama

DUNIA maju amat cepat dalam banyak sektor tapi tidak diikuti kemajuan peradaban, bahkan mundur mungkin berabad-abad, menyangkut kepribadian individu dalam soal pluralitas dan pluriformitas agama. Tiga bulan menjenguk keluarga di Hilversum, Belanda, perkara yang amat melelahkan batin tersebut juga terasa. Ternyata ‘’konflik absurd’’ (jika konflik kok begini, jika bukan konflik kok begitu) menyangkut agama bukan hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga di Belanda, sesuatu yang sulit saya bayangkan sekitar 30 tahun lalu.

Padahal, agama itu sumber perdamaian? Mungkin begitu idealnya, tetapi dalam sebagian dogmatismenya selalu ada ruang untuk ‘’konflik absurd’’. Agama A atau B selalu benar dan baik bagi umat A atau B tetapi tidak selalu begitu bagi umat bukan A atau B. Inilah akar perbedaan dalam sikap pribadi berurusan dengan agama sebagai pluralitas dan pluriformitas dunia nyata yang harus dihidupi dan dihidupkan.

Bagi insan-insan bijak, keniscayaan perbedaan dalam pluralitas dan pluriformitas tersebut bukan masalah malahan diterima sebagai kekayaan peradaban. Sikap pribadi manusiawi macam inilah, apapun agama kita, yang mestinya menjadi dasar moral individu dalam menghidupi-menghidupkan dunia nyata peradaban manusia yang masuk akal atau kemanusiaan yang beradab. Di sini korelasi sebagai dasar otonomi manusia (makin korelatif makin otonom) dan kemerdekaan-pemerdekaan manusia, menjadi kunci. Masalahnya, agama yang diterima benar dan baik bukan hanya oleh pengikutnya tetapi juga oleh setiap orang yang ada di dunia, apakah ada?

Jika agama A menganggap Z bukan Tuhan ketika agama B memuliakan Z sebagai Tuhan, jika X dianggap sebagai nabi oleh agama C ketika agama D hanya menerima X sebagai orang baik, jika agama E penuh misteri ketika agama F lebih didasarkan pada refleksi atas pengalaman nyata, dan daftar ‘’jika’’ bisa diperpanjang... semua ini bisa menjadi sumber konflik dan sekaligus menunjukkan bahwa mustahil suatu iman-keyakinan-dogma agama ini atau itu sebagai paling benar dan paling baik. Dari sini bisa ditarik banyak pedoman dasar moral sosial, terpenting enam:
Hidup Wajar Pertama; mengingat pertemuan antardogmatisme agama bisa menjadi sumber masalah maka sikap pribadi yang manusiawi menjadi mutlak untuk prinsip kehidupan bersama ialah merangkul dan mengembangkan segala yang masuk akal dan wajar serta meninggalkan yang tidak keruan.

Kedua; sikap pribadi yang hanya berdasar dogma satu agama tertentu mustahil bisa menjadi sikap pribadi manusiawi yang universal sebab syarat universalitasnya terutama dengan asas: berpijak pada bumi dan hidup nyata sehingga bisa dicerna dan diakomodasi akal sehat. Produk-produk praktisnya, misalnya tentang bagaimana mengontrol perasaan, mengungkap kesaksian iman secara manusiawi, tentang bagaimana hidup mandiri sebagai orang beriman dan sebagainya. Terpenting dalam sikap pribadi manusiawi adalah bagaimana hidup secara manusiawi dan wajar.

Ketiga; sikap pribadi yang manusiawi terpenuhi saat kita merasa punya kewajiban moral untuk hidup lebih harmonis dengan orang-orang lain. Maka kita akan belajar menjadi lebih terbuka terhadap segala sesuatu di sekitar kita, memperoleh pemahaman lebih dalam tentang identitas kita sendiri, bisa hidup lebih damai, lebih bersyukur, dan siapa tahu mungkin lebih bahagia.

Keempat; sikap pribadi manusiawi adalah hidup pengembangan cinta kasih, memberi garis tebal ajaran agama pada sisi-sisinya yang positif, inklusif, altruistik dan pada saat yang sama kritis terhadap unsur-unsurnya yang negatif, eksklusif, dan egoistik. Inilah upaya menemukan cara berpikir yang sehat, yang gilirannya menghasilkan kepribadian dengan sikap mental yang sehat juga.

Kelima; sikap pribadi manusiawi adalah sumber pembuat langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran di dalam diri. Ini berlangsung terus menerus, dalam suatu aksi-reaksi dan refleksi yang tanpa henti. Peningkatan kesadaran adalah langkah untuk pencerahan di mana orang mengalami pelepasan dan pembebasan, sebagai titik tolak untuk memilih mana baik-buruk, benar-salah, terpuji-nista, dan seluruh dikotomi kemanusiaan secara manusiawi dan membumi.

Keenam; tanpa meremehkan keindahan dan keagungan misteri, sikap pribadi manusiawi lebih mengacu pada dan dengan kehidupan yang hidup, ialah apa dan siapa saja yang masih hidup dalam ruang-waktu yang nyata, sehingga mampu menyimpan hal-hal imajiner yang agung dalam relung batin terdalam. Sebagai contoh: jika sikap pribadi manusiawi melarang pembunuhan atau korupsi, di tempat pertama bukan karena pembunuh atau koruptor akan masuk neraka atau sesuatu seperti itu, tetapi karena pembunuhan dan korupsi menghancurkan harmoni kehidupan di dunia nyata dan tidak sejalan dengan hati nurani pribadi manusia yang beradab. (10)

— L Murbandono Hs, peminat dan pengamat peradaban, tinggal di Ambarawa, Kabupaten Semarang
Wacana Suara Merdeka 5 Januari 2011