23 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Natal: Pengharapan dan Cinta

Natal: Pengharapan dan Cinta

Perayaan Natal merupakan inkarnasi sempurna Allah Bapa kepada Yesus Putera-Nya menjadi manusia. Dengan menjadi manusia, Ia merasakan suka duka manusia. Ia juga merasakan betapa pahitnya akibat dosa yang disandang oleh bangsa manusia. Oleh sebab itu, Natal merupakan solidaritas paling nyata Allah kepada manusia yang berdosa untuk diselamatkan.
Sejak manusia pertama Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, begitu terus sampai kedatangan banyak nabi manusia terus-menerus bergumul dengan kedosaan. Nabi Yesaya meramalkan akan datang sosok dari tanggul Isai yang kelak akan berdiri sebagai Mesias bagi bangsa-bangsa di dunia. Kedatangan-Nya begitu dirindukan, dinanti dengan penuh harap dari abad ke abad dalam sejarah karya keselamatan.
Sebab itu, kelahiran Yesus pada hari Natal 25 Desember merupakan jawaban Allah atas kerinduan manusia yang mohon keselamatan dari Bapa. Pada saat yang sama karena cinta-Nya yang demikian besar kepada manusia Allah mengutus Putera-Nya sendiri menjadi manusia, hidup, dan tinggal bersama manusia melalui rahim Bunda Maria. Natal menjadi bukti pemenuhan cinta dan harapan antara Allah dan manusia.
Dalam Natal selalu dihadirkan narasi utama cerita tentang seorang bayi anak keluarga miskin yang lahir di kandang. Allah memilih sosok bayi sebagai perantara keselamatan. Sosok yang ringkih, rapuh, dan tidak berdaya. Bukan seorang panglima perang lengkap dengan senjata di tangan. Bukan pula seorang politisi yang lengkap dengan kekuasaan. Ini menjadi kritik di tengah dunia yang suka mengandalkan kekerasan dan kekuasaan, Allah justru mengandalkan kelemahlembutan dan kesederhanaan seorang bayi.
Begitu pun pilihan terhadap sebuah keluarga miskin ini menjadi kritik sosial ketika orang miskin dengan mudah tidak masuk dalam perhitungan. Karena status mereka yang miskin, mereka gampang terlupakan. Mereka dengan mudah dijadikan objek orang-orang yang merasa kaya dan berkuasa. Tentu saja pilihan Allah menjadi manusia dengan lahir di kandang Betlekhem bukanlah tanpa alasan mendasar.
Bagi Allah sebenarnya apa susahnya memilih keluarga kerajaan yang kaya raya untuk tinggal sementara selama persiapan menuju penebusan. Tetapi Yesus memilih pasangan tukang kayu miskin dari Arimatea Yosef dan Maria utuk menjadi perantara karya keselamatan. Allah menggugat kemapanan berpikir sebagian besar orang. Ia juga bukan lahir di tempat bidan yang lengkap dengan pertolongan persalinan. Kelak Ia pun memilih profesi membantu orang tuanya dengan menjadi tukang kayu. Sama sekali tidak tergambar dengan menjadi tukang kayu hendak menyelamatkan dunia.
Dengan menjadi miskin Allah dapat merasakan solider yang amat nyata. Ia hadir bersama dengan kekurangan dan keterbatasan rakyat jelata. Ia berpihak kepada kaum jelata, budak belian yang hina dina. Kemiskinan menempatkan orang pada situasi pasrah kepada Tuhan. Kemiskinan pula yang menjadi dasar orang mengakui dengan rendah hati segala keterbatasan dan kekurangan. Dalam hidup yang serba terbatas, kesrakat dan melarat lebih mungkin terbuka pada uluran tangan orang lain, terutama terhadap campur tangan Tuhan.
Dengan menjadi miskin Allah hendak merasakan pedihnya akibat dosa yang disandang manusia—sekalipun Ia tidak pernah berdosa. Maka, pilihan untuk lahir di antara domba-domba di kandang sejatinya merupakan pesan bahwa penebusan dosa hanya dapat diraih ketika diri kita berani menyediakan secara utuh keterceraiberaian diri karena dosa secara utuh kepada Tuhan sebagai persembahan.
Kitab Mazmur melukiskan korban bakaran akan ditolak sementara hati yang remuk redam tidak akan ditolaknya. Gambaran itu menjadi pangkal mengapa Natal merupakan momen yang layak disyukuri karena Tuhan begitu cinta kepada manusia sehingga mengorbankan Putera-Nya sendiri menjadi tebusan bagi banyak orang.
Dewasa ini di tengah masyarakat yang serasa seperti remuk redam makna penebusan itu menjadi begitu relevan. Masalah yang satu belum selesai muncul masalah baru yang tidak kalah pelik. Tak mengherankan kalau Komaruddin Hidayat melukiskan bangsa ini sebagai bangsa yang kelelahan. Dan belakangan ini rakyat disibukkan dengan wacana politik sosial yang meresahkan. Natal datang dan menjadi kartasis kehidupan.
Yesus lahir menjadi teladan sekaligus kritik sosial. Dalam sosoknya bayi mungil, Ia mengkritik pemegang kekuasaan yang dengan rakus melipat gandakan nafsu pemangsanya. Padahal, sejatinya keselamatan bukan terletak pada kemegahan dan kemewahan kekuasaan. Karya keselamatan terletak pada sikap rendah hati mengakui Allah. Natal adalah adalah yang berpihak sekaligus Allah yang solider kepada bangsa-bangsa manusia.
Natal yang hadir 2000 tahun yang lalu memotret dalam suasana yang tidak jauh berbeda dengan keadaan sekarang ini. Ketika manusia banyak diwarnai pertikaian dan perselisihan. Santo Paulus kepada umat di Galatia melukiskan situasi bangsa yang tercerai berai, penuh pertikaian, dengki, saling jegal merupakan karya setan atau roh pemecah belah. Dalam situasi seperti itu kita menantikan lahirnya sosok juru selamat yang akan membawa kita pada pemerdekaan dan penyelamatan.

Opini Lampung Pos 24 Desember 2010