Bagi umat Kristiani, Desember bukan hanya sekadar monumental,  tetapi juga historikal.
 Umat Kristiani meyakini bahwa sepanjang Desember  adalah  rangkaian waktu yang menjadi titik pusat terpenting, bahkan maha  penting, dari  seluruh waktu sejarah penciptaan Allah terhadap dunia  dan manusia. Mereka  meyakini, secara teologis dan ideologis, bahwa  bulan Desember adalah simbolisasi  dari garis merah historikal karya  ‘intervensi’ penyelamatan Allah terhadap  dunia. Awal Desember adalah  masa-masa adventis sebagai persiapan untuk menyambut  dan menyongsong  fajar baru. Bagi banyak umat masa adventis lazimnya dipakai  untuk  hening dan introspeksi. Puncaknya adalah tanggal 25 Desember yang   dirayakan sebagai Hari Natal, hari Kelahiran Yesus Kristus, Sang  Juruselamat  Dunia. 
Gelap Menjadi Terang
Sebagaimana  dideskripsikan Alkitab, Yesus hadir ketika dunia  dilanda kekerasan,  tipu muslihat, hukum yang diperjualbelikan, moralitas yang  ambruk.  korupsi, ketidakadilan, hipokrisme, dan fundamentalisme (ajaran) agama   yang membabi buta. Manusia berada dalam kubangan Sejarah Hitam penuh  Dosa (Black  History) yang membuat manusia seolah makin mendekati, namun  kenyataannya makin  jauh dari Allah, sang Pencipta. Dosa dan kegelapan  telah begitu mengakar,  merajalela, genial, dan kolosal. Akibatnya, tak  seorangpun manusia yang bisa  menebus dosa dan mengusahakan keselamatan  atas diri dan sesamanya. Allah telah  murka dan berpaling dari manusia.  Sampai kemudian Yesus Kristus lahir di dunia  meretas sejarah Terang  (Light History) bagi manusia dengan membawa damai dan  sukacita. 
Dahsyatnya,  sejarah terang itu datang bukan dengan pedang  kekuasaan dan tangan  besi kekerasan (koersif) tetapi dengan kasih karunia (sola  fide) dan  anugerah (sola gratia). Melalui Kasih, Pengorbanan, dan Kesederhanaan   (KPK) yang tercermin dalam personifikasi kelahiran Yesus Kristus, Allah   meng-‘intervensi’ dunia. Manusia akhirnya bisa kembali dekat dengan  Allah. Sang  Juruselamat membuat dosa bukan lagi penghalang relasi  antara manusia dengan  Allah. Dosa bukan lagi belenggu dan sangkar yang  memenjarakan manusia. Dengan  kata lain, Natal menjadi titik balik  sejarah manusia dari kegelapan dosa menuju  terang. Manusia akhirnya  menemukan kesegambarannya (imago dei) dengan Allah.  Inilah pesan  sentral dan otentik dari sebuah Perayaan Natal.
Natal  adalah sebuah narasi cerdas tentang bagaimana gelap  membutuhkan  terang. Natal adalah story bernas bagaimana sebuah ‘intervensi’  tidak  harus selalu berakhir dengan resistensi dan tragedy. Soalnya kemudian   apakah pesan natal yang fenomenal dan historikal itu masih menemukan   relevansinya dengan situasi dan kondisi bangsa kita yang sampai kini  belum bisa  sepenuhnya keluar dari aneka masalah? Adakah  perayaan-perayaan Natal kita,  sekecil apapun itu, telah berhasil  meng-‘intervensi’ kehidupan kita?
Natal Minus Daya ‘Intervensi’
Di  sinilah letak masalahnya. Dalam banyak hal perayaan Natal  tampaknya  semakin ir-relevan. Spirit Natal habis digerus trend global yang makin   verbal dan konsumtif serta kompromis. Suka atau tidak suka, perayaan  natal tak  lagi mampu mengintervensi kegelapan yang terjadi di  masyarakat. Ini diakibatkan  perayaan Natal telah bergeser menjadi ajang  selebrasi yang dicirikan oleh dua  hal, ritual dan komersial. Karena  pengaruh hantu materialisme, perayaan natal  lebih mirip menjadi event  hiburan untuk mencari untung dan popularitas.  Alih-alih menjadi  pencarian spiritual, perayaan natal berubah menjadi bisnis  komersial. 
Lewat  pendekatan mind game, banyak ibadah peryaan Natal  tereduksi menjadi  sekadar ritual tipu daya untuk mengelabui umat dari realitas  yang  sesungguhnya. Berbagai perayaan Natal berlangsung dalam liturgi dan  ibadah  megah yang tampak seolah membawa umat berada di pintu sorga.  Namun yang terjadi  sebenarnya adalah terapi sugesti rohani. Umat  digiring untuk semakin  individualis, memikirkan dirinya dan  kelompoknya, dan bahkan menjadi anti  sosial. Walau ini bukanlah sebuah  konklusi general terhadap ritual Natal namun  fenomena perayaan Natal,  khususnya di kota-kota besar, yang makin ir-relevan dan  mengidap  kelumpuhan intervensionis terhadap realitas kegelapan sulit untuk   dibantah. 
Benar, sebagian elit dan umat  Kristiani, berdasarkan kacamata  modernis dan demokratisasi, bisa saja  menilai bahwa realitas Indonesia tidak  lagi dalam gelap. Oleh karena  itu Natal tak perlu lagi bicara tentang terang dan  gelap. Menurut  mereka Natal harus bicara yang lain. Natal yang bicara tentang   kemapanan. Natal tentang hiburan. Natal tentang gegap gempita sukses  duniawi.  
Namun jangan lupa, walau kita  sudah keluar dari masa  otoritarianisme menuju era demokrasi, namun  realitas kemiskinan, kekerasan,  korupsi, law enforcement yang mandul,  moralitas hipokrit, dan ekstrimisme serta  fundamentalisme religi,  adalah warisan sejarah gelap umat dan bangsa yang masih  terus  berlangsung hingga kini. Paling tidak, kalau tak mau disebut gelap,   Indonesia kini masih dalam pusaran black history (sejarah abu-abu).  Dengan kata  lain pesan bermakna dari perayaan Natal seharusnya adalah  intervensi terhadap  realitas black history tersebut! 
Eklesiasentris
Spirit  Natal yang tergerus menjadi sekadar teatrikal, sehingga  tak lagi mampu  mengintervensi realitas adalah cermin kegagalan gereja-gereja  yang,  dalam lima dasawarsa terakhir, gagal menemukan pusat religiusitasnya.   Celakanya, Gereja justru makin berpusat kepada struktur organisasi dan  pemimpin  Gereja. Gereja menjadi semakin Eklesiasentris. Akibatnya,  meminjam istilah  almarhum Eka Darmaputera, kebenaran dan keadilan  adalah menurut kami, bukan  menurut kita. Eklesiasentris membuat gereja  bermasalah dalam membangun  relasinya, baik dengan agama lain maupun  dengan denominasi gereja lain.  Eklesiacentris membuat gereja mirip  kotak-kotak. Kondisi ini berimplikasi kepada  gerakan oukumenis gereja  yang makin disorientatif, dan gerakan dialog lintas  agama yang semu.  Dalam kondisi begini gereja sibuk dengan dirinya sendiri dan  nyaris tak  pernah lagi berpikir untuk mengintervensi dunia (menjadi garam dan   terang bagi dunia).
Eklesiasentrisme membuat  Kasih, Pengorbanan, dan Kesederhanaan  (KPK) makin mengalami defisit  makna. Indikasinya sangat jelas dan gamblang.  Gereja dan umat makin  jauh dari internalisasi nilai dan praktik KPK. Ironis  sekali, sebagai  sebuah karakter Gereja, KPK justru nyaris tidak kita temukan  dalam  kultur dan struktur gerejawi. Malah, alih-alih menyuarakan KPK kepada   sesama, Gereja justru identik dengan kekerasan, kerakusan, dan  kemewahan.  Beragam konflik, persaingan, dan rivalitas di dalam dan  antar gereja yang jauh  dari spirit KPK menjelaskan hal tersebut. Gereja  yang defisit KPK membuat gereja  secara eksternal kehilangan  signifikansi, dan secara internal kehilangan  dominasi dan legitimasi. 
Eklesiasentrisme  juga membuat Gereja dan umat Kristen tidak  makin cerdas menjalankan  misi profetis-nya (menjadi garam dan terang). Gereja  menjdi acap  terjebak dalam logika dan mentalitas paradoks. Di satu sisi mereka   minder of minority namun di sisi lain mereka juga berwatak simbolisme  superior.  Sebagai minoritas Gereja dan umat merasa tak perlu ikut  terlampau jauh dalam  masalah bangsa karena hal itu sensitif, bisa  dituduh sebagai upaya Kristenisasi.  Namun dalam praktiknya gereja dan  umat acap memicu sentiment lewat pembangunan  gedung-gedung gereja yang  bisa dikategorikan sebagai simbolisme superior. Logika  dan mentalitas  paradoks membuat Gereja sering gagal menebar kasih dan jalan   keselamatan terhadap semua orang. Padahal sejarah Kekristenan  membuktikan bahwa  Profetic voice (suara kenabian) tidak pernah  didasarkan pada logika dan  mentalitas paradoks. Bila logika ini yang  dipertahankan maka kemungkinan yang  terjadi kemudian adalah gereja dan  umat makin tersegmentasi, dan di pihak lain  gereja tanpa sadar ikut  membenturkan antar religi vis a vis. 
Menuju Etikosentris
Merayakan  Natal dengan hanya menekankan Eklesiasentris, rasanya  tidak cukup  memadai lagi. Agar kekristenan bisa relevan dan memiliki daya   intervensi sosial, sudah selayaknya selebrasi Natal memberi penekanan  kuat pada  Etikosentrisme, yang berpusat pada KPK. Itu hanya mungkin  tumbuh bila spirit  Garam dan Terang menjadi landasan etika hidup  kekristenan kita. Spirit dan etika  Garam akan membuat Kekristenan mudah  larut dan memberi cita rasa terhadap  seluruh masyarakat, tanpa  memandang suku, dalam wadah bangsa dan negara  Indonesia. Sementara  spirit dan etika Terang akan menjadikan Kekristenan sebagai  cahaya yang  menyinari semua pelosok kehidupan yang masih di dalam kegelapan.  Garam  dan Terang tidak pernah peduli siapa yang menikmati cita rasa dan sinar   cahaya. Garam dan Terang hanya peduli bahwa mereka harus member cita  rasa dan  terang. Spirit dan etika Garam dan Terang adalah manifestasi  dari Kasih,  Pengorbanan, dan Kesederhanaan (KPK) yang telah digariskan  Allah untuk  mengintervensi dunia lewat kelahiran Yesus Kristus di  Betlehem. Semoga garis  Allah tersebut juga menjadi spirit dan etika  kita dalam merayakan dan  merefleksikan Natal, sehingga light history  nyata di bumi ini. Selamat Hari  Natal!
Opini Anaisa Daily 24 Desember 2010