PRESTASI gemilang tim nasional Indonesia di ajang Piala AFF merupakan bukti bahwa negeri ini punya potensi budaya dan olahraga yang membanggakan, namun terkubur oleh egoisme elite kekuasaan yang menghadirkan sistem amburadul. Kemenangan demi kemenangan yang diukir oleh Firman Utina dkk, tak hanya mewartakan kebangkitan olahraga tetapi menggerakkan optimisme, khususnya memperkuat identitas kebudayaan kita.
Menyaksikan euforia kemenangan timnas, ataupun merasakan gelombang semangat di Istora Senayan, kita seolah terperanjat dan mulai sadar bahwa ”beginilah seharusnya timnas Indonesia!” atau, ”Jika timnas sejak lama menang gemilang, tentu Indonesia tak terlalu terpuruk di ajang sepakbola”, atau beberapa komentar spontan yang lain. Menyaksikan gol demi gol Crhistian Gonzales, kita tersentak bahwa sudah sejak lama menantikan timnas sepak bola menjadi perkasa, dengan lesakan gol-gol indah, dan permainan elegan yang diperagakan.
Euforia yang dirasakan mayoritas manusia Indonesia merupakan momentum tepat membangkitkan kebersamaan dalam ruang krisis multidimensi; krisis ekonomi, gegar kebudayaan, konflik politik, dan deligitimasi aparat hukum. Lalu, bagaimana memaknai kebangkitan prestasi timnas Indonesia, terutama di ajang AFF? Apa implikasi substansial momentum ini bagi warga negeri ini, di tengah krisis multidimensi dan rapuhnya relasi komunal?
Kebangkitan timnas Indonesia membangkitkan emosi komunal dan menghadirkan bayangan masa silam tentang gemilangnya sepak bola negeri ini. Euforia lima kemenangan timnas Indonesia, tentu masih ditentukan oleh dua laga final melawan Malaysia. Pertandingan melawan Malaysia kali ini tak sekadar urusan sepak bola, namun juga pertarungan martabat sebagai bangsa, yang sering terusik oleh masalah teritorial, buruh migran, dan kekayaan budaya.
Kemenanganlah yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas warga negeri ini, namun jika hanya mengejar kemenangan, momentum kebangkitan timnas Indonesia tak ada artinya. Sebab, seharusnya Indonesia tak hanya puas berjaya di level Asia Tenggara, namun juga Asia ataupun Piala Dunia. Sekadar menyegarkan ingatan, pada 1985, tim nasional Indonesia yang dikomando pelatih Sinyo Aliandoe, menjadi juara Sub IIIB, dan nyaris saja masuk final Piala Dunia Meksiko, 1986.
Namun, di bawah Nurdin Halid, PSSI tak ubahnya sebagai kerajaan sepak bola, yang penuh dengan skandal pengaturan skor, praktik suap, hingga pertikaian kepentingan dengan beberapa klub sepak bola. Polemik Nurdin dengan pengurus Persebaya Surabaya merupakan salah satu catatan hitam PSSI, di samping pelbagai kasus yang menumpuk. Langkah Arifin Panigoro yang menyelenggarakan Liga Primer Indonesia (LPI) didukung oleh pelbagai pihak, terutama beberapa tim semisal PSM Makassar, Persebaya, dan Persema Malang, menjadi alternatif aksi di luar rel PSSI.
Menjadi Indonesia
Jika sebagian besar warga menganggap sukses timnas Indonesia adalah kemenangan Indonesia, namun bukan prestasi PSSI, tentu Nurdin beserta pengurusnya harus melakukan refleksi betapa legitimasi di tubuh organisasi sepak bola telah begitu rapuh.
Indonesia membutuhkan tangan dingin pemimpin sekaliber Alfred Riedl, yang tegas dan otoritatif, namun tak melupakan kebersamaan tim. Riedl dengan tegas meminta Presiden SBY agar memperhatikan infrastruktur, terutama lapangan latihan, agar pemain bisa mengolah skill dan strategi tanpa kerepotan oleh rusaknya rumput. Pelatih timnas ini, sejak juga menegaskan bahwa kewenangan dirinya tak boleh dicampuri oleh kepentingan PSSI, dalam memilih pemain ataupun mengolah strategi, akibatnya muncul pemain-pemain muda berbakat yang menjadi sandaran masa depan timnas, semisal Arif Suyono, Oto Maniani, Eka Ramdani, Yongki Aribowo dan sebagainya.
Jika mau jeli, PSSI bisa melacak pemain-pemain muda berbakat dari pelbagai penjuru, tanpa pretensi politik apapun. Crhistian Gonzales memang menjadi pahlawan dan patut diapresiasi, namun akan berbeda jika tak didukung oleh pemain pribumi yang gigih. Semoga pemain-pemain timnas mampu mewarisi semangat founding father dalam membangun fondasi nasionalisme dan mencipta proses —dalam bahasa Parakitri Tahi Simbolon (2007)— ”menjadi Indonesia”.
Kebangkitan timnas Indonesia tinggal selangkah lagi, dan apapun hasilnya perlu diteruskan dengan pembinaan simultan dan sistem organisasi yang terbuka, egaliter, dan jauh dari praktik korup. (10)
— Munawir Aziz, esais kelahiran Pati, peneliti di CRCS UGM Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 24 Desember 2010