23 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Anak dan Keadilan

Anak dan Keadilan

Kabar buruk dari dunia anak. Laporan akhir tahun 2010 dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengabarkan bahwa terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak. Kekerasan bahkan merambah korban anak usia di bawah satu tahun. Ada 2.335 pengaduan kasus kekerasan terhadap anak. Ini peningkatan yang luar biasa dibandingkan sebelumnya yang mencapai 1.998 kasus. Sebanyak 62,7 persen merupakan kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, kasus inses, dan sisanya berupa kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan terjadi di lingkungan terdekat, seperti rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan bermain. Pelakunya tak jauh dari orang tua, kerabat dekat, guru, dan ayah atau ibu angkat maupun tiri. (Republika, 22/12).

Data Komnas PA ini harus menjadi refleksi penting bagi bangsa Indonesia. Anak-anak harus diselamatkan masa depannya. Dalam konteks ini, mari kita telusuri bersama bagaimana konsep Islam dalam perlindungan hak-hak anak. Dalam Islam, setiap anak yang lahir adalah sosok yang fitri: suci, bersih, dan murni. Ini ditegaskan Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, "kullu mauludin yuladu ala fitrah al-Islam" bahwa setiap anak yang dilahirkan itu lahir dalam keadaan suci (fitri). (HR Bukhri).

Hadis ini jelas sekali menunjukkan komitmen Islam dalam menghormati hak-hak anak. Sebelum Islam datang, status anak masa jahiliyah sangat mengenaskan. Bahkan, anak perempuan harus rela di kubur hidup-hidup. Sebuah tragedi peradaban bangsa Arab yang sangat memilukan waktu itu.

Dalam kisah hidupnya, Umar bin Khattab RA pernah ditanya tentang hal yang berkesan dalam hidupnya. Ia menjawab, "Ada dua kejadian. Setiap aku teringat yang pertama, aku tertawa, dan setiap teringat yang lainnya, aku menangis." Untuk yang pertama, Umar mengatakan, "Pada masa Jahiliyah, aku menyembah patung dari kurma yang diperas. Apabila berlalu setahun, aku makan patung itu. Kemudian, aku makan patung yang lain dari kurma mentah."

Sedangkan untuk yang kedua beliau menjawab, "Tatkala aku menggali lubang untuk menguburkan putriku, debu mengotori janggutku. Kemudian, putriku membersihkan debu itu dari janggutku. Meskipun begitu, aku tetap mengubur putriku hidup-hidup." Umar menceritakan itu sambil menangis tersedu.

Sekelumit cerita Umar bin Khattab merupakan bukti bahwa Islam hadir untuk mengangkat harkat dan martabat anak. Dalam buku Hak-hak Sipil dalam Islam, Abdullah al-Habsyi dkk (2005: 64) menjelaskan bahwa anak mempunyai dua hak: hak sebelum dilahirkan dan setelah dilahirkan. Sebelum dilahirkan, anak berhak mendapatkan calon ibu yang salehah karena nuthfah lelaki akan dititipkan kepada calon ibu. Dan sains juga mengatakan bahwa sifat-sifat bawaan (kromosom) secara fisik dan spiritual akan berpindah melalui proses reproduksi. Dari sini, Nabi SAW juga menandaskan bahwa "Menikahlah kalian dari perempuan saleh karena akhlak ayah itu menurun kepada anak." Dengan prinsip ini, Islam mengharamkan seseorang Muslim yang berzina.

Sedangkan hak anak setelah dilahirkan ada empat. Pertama, hak hidup. Hak hidup anak menjadi prinsip utama dalam Islam. Tidak ada toleransi membunuh anaknya walaupun dalam kondisi kelaparan. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS al-An'am [6] ayat 151. "Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena hanya takut akan kemiskinan, kami akan memberi rezeki kepada dan kepada mereka."

Hal yang juga ditegaskan dalam QS Al-Isra [17] ayat 31. "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu." Kedua ayat ini meyakinkan bahwa akan ada jalan rezeki Tuhan kalau kita memang benar-benar menjaga amanat-Nya, berupa anak.

Kedua, hak papan, pangan, dan sandang. Dalam hal ini, Allah menegaskan dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 233. "Para ibu-ibu hendaknya menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seseorang ibu menderita karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya."

Pemenuhan ini dilakukan agar anak-anak tidak terjerembap dalam kerusakan dan kebinasaan sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Tahrim [66] ayat 6, "Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."

Ketiga, hak memperoleh nama yang baik. Proses Nabi SAW mengubah peradaban jahiliyah barbarian menjadi kosmopolit adalah dengan mengubah nama. Sebab, nama adalah sebuah identitas yang menunjukkan diri personal seseorang. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, "Pertama-tama yang harus kalian berikan kepada anaknya adalah nama yang bagus. Oleh karena itu, hendaknya setiap kalian memperbagus nama anaknya."

Hal ini dibuktikan Nabi SAW dengan memberikan nama untuk anak-anaknya dengan nama Ibrahim, Fatimah, dan lainnya, serta juga cucunya, Hasan dan Husein. Nama-nama yang dianjurkan Nabi adalah nama disamakan dengan nama para Nabi, atau didepannya ada Muhammad, Ahmad, atau Mahmud, dan juga kata 'abd yang disandingkan dengan al-asma' al-husna.

Keempat, hak pendidikan dan pengajaran. Dalam surat Luqman [31] ayat 13-19, Alquran sangat jelas menganjurkan umat Islam untuk mendidik anaknya dengan sungguh, khususnya mendidikan perihal tauhid dan keimanan kepada Allah. Fondasi tauhid inilah yang akan menjadi pegangan anak di kemudian hari sehingga tetap menjaga diri pada prinsip-prinsip Islam yang pokok. Setelah itu, anak harus diberikan pengetahuan dan wawasan keilmuan yang dapat dijadikan sebagai bekal memakmurkan bumi.

Begitu besar komitmen Islam kepada hak anak, apalagi hak bagi anak yatim, atau dalam kasus di Indonesia adalah anak jalanan. Orang yang menyia-nyiakan anak hatim sangat dikecam keras oleh Islam. Surah Al-Maun [107] ayat 1-3 telah menandaskan bahwa mereka yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin dikatakan sebagai pendusta agama: sebuah predikat yang sangat memalukan.

Sementara itu, orang yang peka dan perhatian dengan orang yatim sangat dihargai oleh Islam. Bahkan, Nabi SAW bersabda, "Siapa yang menanggung tiga anak yatim, ia seperti bangun waktu malam, puasa waktu siang, dan pergi berjihad dengan pedangnya di jalan Allah. Dan aku bersama dengannya di surga, menjadi dua bersaudara seperti dua jari ini (beliau menunjukkan dua jari, telunjuk dan jari tengah)."

Itulah konsep perlindungan hak anak dalam Islam. Anak yatim dan anak jalanan justru menjadi prioritas utama yang bahkan akan menjadi teman Nabi di surga nanti. Tetapi, mengapa banyak orang Islam yang justru tidak mau tahu dengan kondisi tragis kaum anak jalanan.

Inilah yang harus kita pertanggungjawabkan bersama. Saatnya keteladanan Nabi Muhammad kita aplikasikan sebaik mungkin di tengah zaman yang penuh onak ini. Wajah-wajah anak di masa depan haruslah ceria, penuh harapan, dan siap menjadi penerus perjuangan menegakkan kebaikan dan kebenaran.

Opini Republika 24 Desember 2010