Pada hari-hari menjelang Natal, ingar-bingar kekisruhan nasional terkesan mereda. Sejenak kita merasakan kedamaian dan menikmati kenyamanan kebersamaan antaranak bangsa. Kegaduhan akibat mafia hukum, korupsi birokrasi, kasus pornografi Ariel dkk, kesengsaraan TKI, dan pertarungan politik memperebutkan kekayaan maupun kekuasaan, untuk sementara tergeser dari fokus perhatian. Suasana hati yang panas yang membuat jiwa gersang mendadak jinak. Mungkin alasannya karena kita mendekati Natal dan Tahun Baru. Keinginan untuk membersihkan diri dan memulai dengan semangat baru tentu mengilhami.
Tetapi ada alasan lain yang lebih membumi, yang bukan bersifat spiritual: Ada atraksi memesona. Perhatian kita pindah ke perhelatan memperebutkan Piala Suzuki AFF 2010. Kita sedang menyatukan rasa dan semangat kebersamaan untuk mendukung tim nasional yang berlaga di ajang pertandingan. Kita lupa perbedaan dan perselisihan. Kita mendesah, bersorak, bernyanyi bersama. Ketika gol kemenangan masuk gawang, misalnya, kita ikut tertawa melihat Ibu Negara melonjak-lonjak kegirangan di tribune VIP, bersamaan dengan ledakan kegembiraan lebih dari 80 ribu penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Kita menang. Kita telah diberkahi. Ajang final AFF sedang menunggu.
Bagi generasi yang mengalami masa revolusi untuk meraih kemerdekaan, rasa kebersamaan seperti itu pernah lama dirasakan sebelum dan setelah pecah revolusi; bahkan lama sesudahnya. Tidak ada kisruh soal korupsi dan hukum. Pertarungan politik kita lakukan melawan musuh bersama, yakni kalangan penjajah. Untuk itu kita bersemboyan 'bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh'.
Ada pelajaran yang bisa dipetik dari episode sejarah saat ini. Dalam menghadapi lawan bersama di kompetisi sepak bola, kita memiliki rasa kebersamaan karena ingin mengungguli negara-negara ASEAN lainnya. Seandainya untuk menanggulangi problem-problem bangsa yang gawat kita pun mau berupaya membangun kebersamaan, alangkah hebatnya. Maka, mirip kata sebuah lagu, janganlah penyatuan rasa kebersamaan cepat berlalu. Reformasi masih terus diperlukan demi kesempurnaan.
Mempertanyakan nasionalisme
Mungkin kita perlu menengarai, apa problem-problem gawat yang sedang kita hadapi. Harapannya, semangat positif segenap anak bangsa pasti mampu menanggulangi. Apakah benar nasionalisme kita memudar?
Banyak yang berasumsi, rasa kebangsaan memudar. Namun euforia menyambut kompetisi AFF memberi kesan lain. Tayangan tentang ribuan orang antre puluhan jam, lalu berjejalan untuk memperoleh tiket sepak bola, mempertontonkan bahwa rasa kebangsaan masih memancar. Tentunya orang-orang kebanyakan bersusah payah datang ke sana dari tempat-tempat jauh bukan semata-mata untuk melampiaskan kerinduan akan tontonan menggairahkan. Ada dorongan yang rasanya tidak bisa dijelaskan. Mereka hanya tahu, mereka di sana untuk menonton olahraga memesona dan memberi dukungan bagi tim nasional Indonesia. Apakah itu bukan pertanda ada rasa nasionalisme?
Nasionalisme adalah rasa bangga melihat pemain-pemain kita berjalan beriringan dengan perkasa memasuki lapangan dengan seragam merah dihias lambang Garuda di dada, lalu berlarian dengan bersemangat mengejar atau menendang bola, diiringi sorak-sorai puluhan ribu penonton di sekeliling lapangan yang dengan harap-harap cemas merasakan adrenalin mereka melonjak menyeruak, menimbulkan emosi meluap-luap.
Nasionalisme adalah rasa ikut berbahagia melihat tim pemenang semifinal Piala AFF 2010 mendapat bonus besar dari para konglomerat, dielu-elukan para pembesar, dipuji dan menjadi buah bibir para cendekiawan, pakar, pengusaha, politisi, dan orang-orang kebanyakan. Semua berbicara dengan gembira, tanpa fanatisme kelompok atau agama, ras atau golongan; tanpa kedengkian dan prasangka. Bukti-bukti sepintas itu sempat membuat kita meragukan hasil penelitian tentang makin longgarnya ikatan sosial, merosotnya nilai-nilai, makin mengerucutnya kepentingan kelompok, makin menjauhnya perhatian pada kepentingan nasional.
Keampuhan gawe bersama
Euforia kemenangan tim nasional di semifinal memang menghanyutkan. Tetapi tahun baru akan mengembalikan fokus perhatian kita umumnya pada kenyataan-kenyataan yang mengesalkan sekalipun tidak harus membuat kita pesimistis.
Tentang salah satu problem paling gawat--korupsi--baru-baru ini pemerintah menegaskan niatnya lagi untuk menghabisinya. Sejak lama telah dibentuk lembaga-lembaga penumpasan, satgas-satgas untuk meneliti dan mengawasi, aturan-aturan hukum untuk memastikan. Tetapi korupsi sulit dibasmi. Begitu pula program Ganyang Mafia Hukum masih membingungkan: yang mana ujung, yang mana pangkalnya. Mungkinkah sapu kotor mampu menyapu bersih?
Maka benar yang dikatakan Presiden: ini gawe bersama. Di negara-negara maju yang rakyatnya relatif jauh lebih terdidik dan sejahtera, ketertiban hukum dan keamanannya terjaga, toh sekali-sekali masih diguncang oleh tindak korupsi besar. Apalagi di masyarakat negara berkembang seperti kita. Lacurnya, korupsi menyebarkan benih-benih kebiasaan buruk lainnya, termasuk mafia hukum dan hilangnya nilai-nilai luhur bangsa.
Tentang nilai-nilai, rasanya tidak bijaksana mengharapkan generasi muda penerus tetap berkutat pada nilai-nilai tua yang oleh angkatan sekarang dianggap usang. Walaupun, memang, yang muda-muda jangan tergopoh-gopoh menyebut yang lama selalu usang dan sebaiknya ditinggalkan. Nilai-nilai terus berubah, tetapi tidak harus bertentangan dengan yang lama. Nilai-nilai lama dan baru bukan kutub-kutub berlawanan. Mereka bisa menjadi fenomena yang komplementer.
Selalu ada kelompok-kelompok yang menginginkan perubahan dan pembaruan, di samping kelompok-kelompok yang gigih mempertahankan yang lama yang mereka kenal. Laju, isi, dan dampak perubahan kultural dan sosial berbeda-beda, tergantung tinggi-rendahnya pendidikan dan pengalaman. Tetapi bagaimanapun, tidak ada masyarakat yang tetap statis dan bisa terhindar dari roda perubahan. Kadang-kadang memang sulit untuk memilih, mana yang usang yang harus dibuang, mana yang lama namun sebaiknya dipelihara.
Tetapi tetap saja kalau dihadapkan pada pilihan mana tindakan kotor dan mana tindakan bersih, mana yang jahat dan mana yang baik, mana yang memiliki kesetiakawanan dan mana yang egoistis dan mengutamakan kepentingan kelompok atau pribadi, dengan gamblang orang bisa membedakan. Secara spiritual, hal-hal begini tertanam dalam diri kita masing-masing. Etika adalah etika. Nurani adalah nurani. Kalau saja gawe bersama mau berpandu pada asas itu, tanpa kutak-katik berbagai teori dan aliran baru yang dianggap modern dan disakralkan segelintir orang, tujuan kemerdekaan akan bisa tercapai. Apa arti kemerdekaan kalau dia tidak mampu menciptakan kemaslahatan bersama?
Selamat Natal bagi yang merayakannya.
Opini Media Indonesia 24 desember 2010
23 Desember 2010
Damai Antarkita
Thank You!