SECARA resmi, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Surabaya. NU terlahir dari semangat persaudaraan, baik dalam konteks keislaman, kebangsaan, maupun kemanusiaan. Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari membidani langsung lahirnya NU.
Kini, NU sudah berumur 84 tahun dan menorehkan banyak prestasi bergengsi, baik dalam konteks kehidupan berbangsa maupun kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Secara kebangsaan, NU senantiasa menjadi pembela sejati keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara kemasyarakatan, NU senantiasa menjadi pelindung sejati tradisi masyarakat dari gerusan modernitas dan paham keagamaan yang cenderung anti terhadap tradisi.
Namun, harus jujur diakui, dalam perjalanannya, NU banyak menghadapi rintangan dan godaan yang berakibat langsung pada pertumbuhannya. Setidaknya ada dua macam rintangan dan godaan yang selama ini senantiasa menyandera NU.
Pertama, godaan kekuasaan pragmatis. Sejauh ini, kekuasaan pragmatis acap menjadi godaan mematikan bagi NU, terutama dalam dua periode kepengurusan NU terakhir. Kekuasaan pragmatis telah membuat warga NU tercerai-berai.
Kedua, godaan keberhasilan pada masa lalu. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, pada masa lalu NU berhasil menorehkan banyak prestasi, terutama dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu sebabnya, NU selalu menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun cukup disayangkan, prestasi besar seperti di atas tidak dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi penerus. Pada masa berikutnya (terutama sekarang), generasi NU hanya bisa bercerita dan mengenang tentang kehebatan NU pada masa lalu.
Teladan Gus Dur
Dalam konteks ini, segenap warga NU (terutama para pengurus struktural NU) sejatinya mengikuti keteladanan yang telah dilakukan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bisa dikatakan, pada masa Gus Dur, NU telah terlahir untuk kali kedua.
Kali pertama NU lahir di tangan Hadratus Syeikh yang kemudian menggaransi bahwa Pancasila sebagai ideologi negara mengandung nilai-nilai keagamaan yang berkembang di tanah air. Pada masa Gus Dur, NU lahir untuk kali kedua. Sebab, Gus Dur tak hanya menjaga keutuhan NKRI. Lebih dari itu, beliau juga mengisi dan menerjemahkan secara konkret arti Pancasila sebagai ideologi negara.
Sebagai negeri majemuk yang disengaja, Indonesia harus senantiasa menghormati dan melestarikan kemajemukan yang telah menjadi jati dirinya. Harus menghormati segala macam bentuk perbedaan di masyarakat.
Hak untuk berbeda senantiasa dipertahankan dan diperjuangkan oleh Gus Dur dengan membela orang/pihak yang berbeda dari kebiasaan orang pada umumnya. Secara kebangsaan, sikap Gus Dur di atas mempunyai landasan konstitusional yang sangat kuat. Begitu juga secara keagamaan.
Imam Ibnu Ishak sebagaimana dilansir oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa sebagai tokoh agama, Nabi Muhammad SAW dilarang memaksa, bersikap otoriter, menakut-nakuti, dan berlaku sadis terhadap kelompok minoritas yang lemah.
Pembelaan Gus Dur atas hak untuk berbeda acap melahirkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Sikap Gus Dur yang tidak membentak mereka yang meminta (dalam bahasa ayat di atas), contohnya, acap dipahami sebagai bentuk pembenaran terhadap perbuatan dan keyakinan mereka yang mengadu kepada Gus Dur.
Padahal, sikap Gus Dur tidak sampai pada tahap membenarkan keyakinan atau perbuatan orang/pihak yang mengadu kepada Gus Dur lantaran keyakinan/perbuatannya dipersoalkan oleh pihak-pihak tertentu. Faktanya, Gus Dur tidak pernah menjalankan keyakinan atau melakukan perbuatan orang/pihak yang dipersoalkan oleh sebagian pihak itu. Justru Gus Dur tetap dengan agama, keyakinan, dan tradisinya sebagai ulama NU.
Pasca Gus Dur
Pertanyaan yang cukup menggelisahkan kemudian adalah bagaimana nasib NU pasca Gus Dur? Disebut menggelisahkan karena di satu sisi, gerakan keagamaan ala Gus Dur mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat (sebagaimana terlihat dari histeria publik setelah Gus Dur wafat) dan mampu mengantarkan NU pada puncak keberhasilan sebagai ormas Islam bersemangat kebangsaan. Sementara itu, di sisi yang lain, di internal NU terdapat beberapa pihak yang cenderung melawan gerakan keagamaan Gus Dur dan memberikan nuansa radikal terhadap NU.
NU pasca Gus Dur akan senantiasa mengalami tarik-menarik antara mereka yang pro dan kontra terhadap perjuangan Gus Dur, terutama di bidang keagamaan. Namun, semua pihak (terutama mereka yang sering berseberangan dengan garis perjuangan Gus Dur) sejatinya mengambil pelajaran berarti dari wafatnya Gus Dur.
Histeria publik karena meninggalnya Gus Dur membuka mata kita, betapa masyarakat menghendaki adanya gerakan keagamaan yang mengedepankan kedamaian, memperhatikan keragaman, dan menjungjung tinggi asas persaudaraan, baik persaudaraan keagamaan, persaudaraan kebangsaan maupun persaudaraan kemanusiaan. Dan, itulah inti perjuangan Gus Dur.
Pada akhir Maret nanti, NU akan menggelar muktamar di Makassar. Sangat diharapkan, muktamar itu dijadikan momentum untuk melahirkan NU pasca Gus Dur. Yaitu, NU yang semakin dekat dengan semua golongan, bersaudara dengan semua pihak (bukan justru meng-''orang lain"-kan saudara sendiri), dan memberikan perlindungan terhadap mereka yang membutuhkan. Bila tidak, NU akan semakin ''dikerdilkan" oleh kecenderungan-kecenderungan anti kemajemukan dan semakin jauh dari tradisi ''ahlul bait" NU sebagaimana diteladankan oleh Gus Dur.
*) Hasibullah Satrawi, warga NU biasa, alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir, dan aktif di Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Opini Republika 1 Februari 2010
01 Februari 2010
Refleksi Harlah Ke-84 NU : NU Pasca Gus Dur
Thank You!