01 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Bisnis Organ Tubuh dan Perlunya Perhatian

Bisnis Organ Tubuh dan Perlunya Perhatian

Mendengar berita perdagangan organ tubuh mungkin membuat kita terkesima. Bisa jadi juga membuat bulu kuduk kita berdiri. "Ih, ngeri mendengarnya!" ucap seorang gadis. Lain lagi seorang kakek yang mendengar pembicaraan tentang hal ini, kata yang terucap dari mulutnya adalah: "Naudzubillah!" Kalimat yang menunjukkan kekagetan.


Padahal cerita ini bukanlah sesuatu yang baru. Cuma memang tidak terbuka diperdebatkan. Tidak seperti kasus Bank Century yang tiap hari muncul di televisi, melalui siaran langsung lagi. Adapun bisnis organ tubuh ini? Koran-koran saja terbatas memberitakannya.

Bukan hanya berita, ulasan terhadap hal ini juga amat terbatas dilakukan. Mungkin karena masih terbatas dan berlangsung tertutup. Karena itu pula, membuat tulisan semacam ini bisa bermata dua. Di satu sisi untuk mengajak kita waspada. Bisa memberi inspirasi perlunya pengaturan, agar tidak sembarangan. Tapi kalau diatur seolah dilegalkan.

Sementara itu kegiatan yang ilegal tapi tampak di depan mata itu seolah dibiarkan. Di sisi lain, kalau dibicarakan secara terbuka, bisa menggugah orang untuk melakukan pekerjaan ini. Atau memberi inspirasi bagi munculnya lahan bisnis baru di tengah-tengah sulitnya membangun bisnis yang fair dan konvensional. Atau membuka jalan pintas bagi cara paling mudah mendapatkan uang.

Biasa

Secara tertutup kegiatan ini sesungguhnya telah lama dilakukan di beberapa negara. Yang paling biasa kita dengar adalah di negeri-negeri yang penduduknya banyak serta tingkat ekonominya rendah. Misalnya China atau India. Seorang teman saya yang telah melakukan operasi pencangkokan hati misalnya bercerita kalau donornya berasal dari China. Bahkan operasinya pun berlangsung di 'Negeri Tirai Bambu' itu. Menghabiskan dana berapa? Tanpa menyebut jumlah dia mengatakan miliaran.

Teman lain yang melakukan hal yang sama bercerita bahwa donornya juga berasal dari China, tetapi transplantasinya berlangsung di Singapura. Konon lebih terjamin, tetapi biayanya jauh lebih mahal. Seorang anggota DPR melakukan transplantasi di rumah sakit Singapura juga. "Tapi donornya anak saya sendiri!" katanya. Saat bercerita matanya berkaca-kaca. Dia tampaknya terharu sekali atas pengorbanan anaknya.

Sebagai donor, yang berasal dari garis keturunan dikatakan jauh lebih baik. Saya masih ingat dulu, ketika Dr RP Sidabutar, ahli ginjal RSCM, bercerita bahwa donor ginjal terbaik adalah saudara kembar, baru kemudian dari anak kepada orang tua, atau di antara sesama saudara sekandung. Dari dua ginjal, diambil satu masih tetap berfungsi.

Dokter yang sudah almarhum ini biasa melakukan pekerjaan tersebut di RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tapi seorang ibu di Tangerang lebih memilih cuci darah, daripada menerima ginjal anaknya. "Hidupnya kan masih panjang!" ucapnya sembari memandangi anak lelakinya.

Ekonomi

Jika antarsesama anggota keluarga, tentu tidak akan ada yang membicarakan harga atau bayaran. Prosesnya berlangsung ikhlas dan kekeluargaan. Dasarnya memang rasa sayang atau cinta dan pengorbanan. Lain halnya dari orang luar atau yang bukan keluarga. Kalau di atas yang diceritakan dari segi si penerima (resipient) yang bisa menghabiskan miliaran rupiah (dengan biaya transplantasi, penyembuhan, dan perawatan), tentu tidak sama halnya dengan si pemberi (donor) yang bukan keluarga.

Berapa? Harian The Straits Times di Singapura mengulasnya secara panjang lebar tanggal 27 Juni 2008 yang lalu. Sebuah ginjal diganti Rp250 juta rupiah (S$37.000), sedangkan sepotong hati senilai Rp300 juta rupiah (S$44.600), urai koran itu. Liputan ini berasal dari sebuah kampung di Sumatra. Jadi tidak di negara lain, melainkan di negeri sendiri. Akan tetapi, operasinya berlangsung di Singapura.

Seorang donor (pemberi) menjelaskan kalau biaya pengganti itu digunakannya untuk membeli sebidang kebun kelapa seluas setengah hektare. Dari hasil kebun kelapa itulah selanjutnya si donor dan keluarganya melanjutkan hidup. Artinya, cerita ini jelas-jelas memperlihatkan benang merah 'menyumbangkan' organ ini dengan faktor ekonomi.

Terkesima saya membaca artikel panjang yang dilengkapi foto-foto itu. Karena 'perpindahan' organ tubuh manusia itu ternyata tidak hanya berlangsung di negeri lain, tapi juga di negeri sendiri. Bahkan tak jauh dari kampung halaman saya. Pertanyaannya, adakah pengaruhnya pada kesehatan, produktivitas, dan ekonomi? Sederhananya, adakah pengaruhnya pada kondisi fisik si donor? Jelas ada.

Jadi donor darah saja menyebabkan pengaruh yang signifikan, apalagi menjadi donor organ tubuh. Itulah sebabnya seseorang yang baru saja mendonorkan darahnya, biasanya diberi kesempatan istirahat dan dibarengi dengan makanan dan minuman suplemen. Misalnya susu.

Demikian juga halnya dengan donor organ tubuh ini. Bahkan pengaruhnya lama setelah pengambilan organ tubuh itu berlangsung. "Jadinya mudah capek!" ucap salah seorang dari yang men-'donor'-kan hatinya, sebagaimana yang dilaporkan lebih lanjut oleh koran negeri tetangga itu. Artinya staminanya cepat menurun dan akan berpengaruh langsung terhadap produktivitasnya.

Sesungguhnya Singapura juga melarang perdagangan organ tubuh manusia. "Kita tidak melarang mendonorkan organ hidup, akan tetapi jika motivasinya adalah jual beli, jelas-jelas itu salah, baik secara hukum maupun moral!" ucap Khaw Boon Wan, Menteri Kesehatan Singapura.

Demikian juga halnya negeri kita yang berdasar Pancasila ini. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa organ dan jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan. Kalaupun dilakukan transplantasi, pekerjaan ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian tentang hal tersebut.

Tapi karena praktik itu berlangsung di 'bawah permukaan', perlu juga kita kaji secara mendalam. Apalagi kalau kita kaitkan dengan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, dengan banyaknya anak-anak jalanan yang hilang. Dugaan itu dilanjutkan dengan kemungkinan terjadinya perdagangan ilegal organ tubuh. Artinya diperlukan perhatian yang lebih lengkap.

Mungkin juga diperlukan pengaturan khusus tentang hal ini, walau tidak berarti melegalkan perdagangan organ tubuh. Yang jelas perlu adanya pengkajian yang lebih mendalam, agar jelas langkah apa yang perlu diambil dalam masalah ini. Tentu melalui pendekatan berbagai aspek, bukan hanya medis dan hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya. Jangan kita asyik dengan gonjang-ganjing politik, tapi persoalan nyata yang ada di masyarakat lupa kita pikirkan. ***

Oleh Baharuddin Aritonang Pengamat sosial
Opini Media Indonesia 2 Februari 2010