01 Februari 2010

» Home » Republika » Habibie dan Filsafat Teknologi

Habibie dan Filsafat Teknologi

Justin Djogo-Dja
Alumnus Phil Theologishe Hochschule St Gabriel, Wien-Austria.

Pengukuhan Doktor Honoris Causa bidang Filsafat kepada BJ Habibie oleh Universitas Indonesia (UI) mendapat berbagai apresiasi dan pertanyaan menggelitik. Bagaimana seorang ahli pesawat terbang dikukuhkan sebagai Doktor Honoris Causa di bidang Filsafat. Apalagi, selama ini filsafat teknologi masih jauh mendapat tempat dalam khazanah sejarah filsafat jika dibandingkan dengan filsafat pendidikan. Namun, bagi pemerhati filsafat pendidikan di UI, mungkin saja menangkap benang merah adanya keterkaitan filsafat pendidikan pragmatis John Dewey dan filsafat sosial teknologi Juergen Habermas (meskipun masih samar-samar) dalam diri BJ Habibie.

Pengalaman pendidikan memberikan inspirasi dan memengaruhi pemikiran Habibie bahwa ilmu pengetahuan harus dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal ini selaras dengan pandangan John Dewey, seorang filsuf pragmatis yang menekankan tugas filsafat adalah memberikan acuan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis saja.

Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Bisa saja, berlandaskan pengalaman itu, Habibie memiliki keyakinan untuk menjadi negara maju tidak selalu perlu melewati 'tahap-tahap' pembangunan, yakni pertanian/agraris industri pengolahan pertanian, manufaktur, industri teknologi rendah/menengah, baru ke teknologi tinggi. Ia mengemukakan teori pembangunan ekonomi negara yang berbeda, yakni 'dari negara agraris langsung melompat ke tahap negara industri teknologi tinggi'. Keberhasilan ini menjadi alasan pengakuan terhadap BJ Habibie sebagai Bapak Teknologi Indonesia.

Kita juga bisa membandingkan dengan pemikiran filsuf Jerman, Juergen Habermas, yang berbicara tentang terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis, praktis, dan emansipatoris.

Maksud dari pengertian tiga kepentingan tersebut adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Habermas menilai, keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan, dasar rasional untuk kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut prinsip; validitas konsekuensi politis bergantung pada kesepakatan dalam komunikasi yang bebas dari dominasi. Secara tersirat kita bisa menyimpulkan di sanalah demokrasi yang ingin diperjuangkan.

Bisa jadi, ini menjadi salah satu alasan mengapa BJ Habibie di era kepresidenannya sangat bersikap rasional, demokratis, dan praktis. Yang jelas, beliau dipandang sebagai Bapak Demokrasi Indonesia.

Filsafat John Dewey
Prof Mubiar Purwasasmita mengemukakan, seorang insinyur pada dasarnya adalah seorang problem solver. Seorang insinyur menggunakan pengetahuan yang didapat tentang masalah tersebut, hasil pendidikan pada dirinya, pengalaman, dan yang terpenting daya ciptanya. Terdapat dua elemen filsafat pendahulu yang terkandung dalam rumusan ini, yaitu 'pengalaman' yang dikemukakan John Dewey dan 'daya cipta' yang senada dengan sebagian filsafat eksistensialis Nietzsche bahwa dalam menjalani kehidupan manusia harus terus mencipta.

Filsafat pendidikan semakin kuat ketika John Dewey, filsuf berkebangsaan Amerika, tampil memukau dengan argumentasi filsafatnya tentang pendidikan. Dewey adalah filsuf pragmatis karena ia menekankan tugas filsafat yang memberikan acuan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma dan nilai.
Saya teringat Habibie juga pernah memperkenalkan konsep 'link and match', sistem ganda dalam pendidikan. Seorang lulusan perguruan tinggi kita--khususnya engineer--haruslah bisa terserap dalam kebutuhan kerja. Walaupun hanya sekian persen yang dibutuhkan bekerja di industri, diharapkan memacu kemajuan dan penguasaan teknologi.

Pengetahuan dan kepentingan manusia
Dunia filsafat modern terus melahirkan filsuf cemerlang seperti Habermas. Saya membaca salah satu perimbangan menganugerahkan Dokter Kehormatan kepada Habibie, adalah keselarasan pemikiran dalam pengembangan teknologi dengan Habermas. Siapa Habermas? Habermas pada awalnya dipengaruhi Adorno dan Horkheimer. Misalnya, dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan usaha untuk mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi.

Dari teori pembangunan ekonomi tersebut, Habibie sangat menekankan pada kualitas sumber daya manusia (SDM), bukan semata sumber daya alam. Dengan meningkatkan SDM, kita dapat membuat produk berteknologi tinggi yang bernilai jual tinggi. Hal ini pun akan memicu berdirinya perusahaan pendukung dengan teknologi lebih rendah. Prinsip pembangunan industri ala Habibie adalah 'Mulai di akhir dan berakhir di Awal'.

Prestasi BJ Habibie tersebut di atas bisa saja menjadi pertimbangan UI memberikan gelar Doktor Honoris Causa bidang Filsafat. Dengan bekal pendidikan dan pengalaman lebih dari 19 tahun di Jerman, ia kembali mengabdi kepada rakyatnya. Karena, BJ Habibie tidak hanya berkutat dengan teori, tetapi secara nyata mendirikan industri strategis yang berteknologi tinggi di negerinya sendiri.

Opini Republika 1 Februari 2010