01 Februari 2010

» Home » Okezone » Ada Apa dengan Mahasiswa dan SBY?

Ada Apa dengan Mahasiswa dan SBY?

Apa yang sebenarnya terjadi dengan pemerintahan presiden kita yang lama tetapi baru? Mengapa mahasiswa bergolak dan terdapat tanda-tanda bahwa mereka akan mengulangi gerakan tipikalnya sebagaimana pada 1966 menggulingkan Orde Lama, 1974 menggoyang Orde Baru melalui gerakan mahasiswa 15 Januari, dan pada 1998 menggulingkan pemerintahan Orde Baru?

Langkah yang lamban untuk tidak mengakomodasi mahasiswa akan merugikan citra dan mendelegitimasi pemerintah yang sangat mengganggu kinerja pemerintah lima tahun ke depan. Mahasiswa adalah gerakan yang tidak terafiliasi politik dan secara objektif merupakan yang paling jernih dari kontaminasi kepentingan. Tuduhan bahwa mahasiswa terkooptasi politik justru akan membuat gap pemerintah dan mahasiswa lebih dalam.

Pemerintah sudah membuat banyak tim, komite, dan satgas, ada baiknya beberapa pemimpin mahasiswa dilibatkan, terutama dari universitas besar seperti UI, ITB, UGM, dan yang mewakili universitas swasta misalnya dari Muhammadiyah yang memiliki jumlah perguruan tinggi lebih banyak dari pemerintah (wakil dari Muhammadiyah bisa Universitas Muhammadiyah di Surakarta atau di Malang), serta beberapa ketua BEM universitas di luar Jawa.

Jembatan seperti ini penting untuk mendengar dengan jernih generasi muda. Kemampuan mendengar itulah salah satu kelemahan periode kedua SBY yang pada awal periode dimabuk kemenangan, lalu membuat atau menempatkan partai koalisi bertekuk lutut, yang dilambangkan dengan audisi menteri dan penunjukan wapres yang begitu tegang dan dramatis.***

Keadaan memang berbeda dari gerakan mahasiswa yang lalu. Pada 1966 dan 1998 mahasiswa menghadapi presiden yang tidak dipilih secara demokratis. Presiden Soeharto memang menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun, akan tetapi pemilu tersebut dapat sepenuhnya dikendalikan oleh Soeharto melalui tentara yang diterjunkan sampai di desa-desa dengan misi memenangkan partai pemerintah.

Di samping itu, Soeharto menempatkan tentara sebagai kompensasi tidak dilaksanakannya hak pilihnya di Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal mana mengamankan kedudukan Soeharto sampai 32 tahun. Sementara Presiden Soekarno memiliki karisma sebagai proklamator, MPR mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Sebaliknya, SBY hanya terlihat memiliki kemampuan keuangan dalam advertensi media elektronik dan berbagai event partai yang memiliki kekuatan luar biasa untuk menembus seluruh wilayah Indonesia.

Kekuatan SBY bukan berasal dari kekuatan totaliter. Bisa dikatakan SBY memperoleh kemenangan dengan market race, kekuatan pencitraan dipadukan dengan kekuatan keuangan dalam membiayai advertensi. Mengapa mahasiswa, kelompok yang relatif prodemokrasi, masih juga menempatkan SBY seperti dua presiden nondemokratis yang diperbandingkan?

Kegusaran mahasiswa terhadap SBY memang tidak disebabkan oleh tipe totalitariannya dalam wilayah politik dan kebebasan, tetapi lebih karena masalah hukum, khususnya dalam masalah korupsi, dan masalah keberpihakan kepada kebijakan publik yang bernuansa kerakyatan.

Tuntutan mahasiswa atas mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wapres Boediono melambangkan aspirasi mahasiswa tersebut. Duet Boediono-Sri Mulyani pada awal kepemimpinan kabinet baru sudah dikampanyekan sebagai penganut intervensionis. Namun, seperti yang dapat dilihat, konsistensi kampanye tersebut tidak berlanjut begitu terpilih.

Kampanye yang hanya sehangat olesan bawang tidak cukup untuk mengubah persepsi banyak kalangan bahwa duet tersebut sebagai pembawa kebijakan ekonomi yang liberal dan mempertahankan eksklusivitas sirkuit atas. Mahasiswa, rakyat, dan ekonom yang lebih egaliter dapat merasakan dan bahkan mengamati secara nyata bahwa kita sedang membiarkan rakyat menyelesaikan sendiri permasalahannya dengan berlindung di balik ideologi ekonomi, tidak boleh mengintervensi terlalu jauh, dengan pengecualian variabel makro, khususnya di bidang keuangan dan perbankan.

Sementara rakyat dibiarkan yang bergulat di sektor riil yang terlalu kompetitif dan sangat mematikan modal investasinya yang kecil dan satu-satunya serta bergulat dengan lingkaran produktivitas dan upah yang rendah. Upah buruh mungkin secara riil merosot digerogoti inflasi dengan upah minimum mayoritas di daerah kurang dari 1 juta dan upah di luar sektor formal mungkin setengahnya.

Sementara itu, dengan kekurangmampuan mendengar, pemerintah memamerkan lambang-lambang kemewahan seperti berbicara atau merencanakan kenaikan gaji, tunjangan, fasilitas mobil mewah, dan membeli pesawat kepresidenan. BLT yang mengantarkan SBY menjadi presiden disiarkan media elektronik dengan gegap gempita menghilang begitu saja, mengakibatkan rakyat seperti dikhianati dan membiarkan SBY ditentang mahasiswa.

BLT semestinya dilestarikan dengan menganggarkan 2,5 persen sebagai sedekah pemerintah melalui departemen sosial. Jumlah ini akan berkisar Rp30 triliun yang bisa membantu rakyat secara langsung. Bantuan tersebut selanjutnya akan memperkuat permitraan umum, menghidupkan perekonomian sirkuit bawah seperti industri kecil, industri rumah tangga, industri perdesaan, sektor informal sampai di pelosok Tanah Air. Program riil seperti ini akan memperkokoh SBY, bahkan jika DPR menentang, mahasiswa juga akan secara jernih menerimanya.***

Memang data ekonomi secara makro mungkin membaik seperti inflasi, terhindar dari krisis, dan suku bunga yang mulai menurun serta yang paling utama pertumbuhan ekonomi. Pemerintah tidak dapat mengklaim begitu saja bahwa pertumbuhan ekonomi yang masih terselamatkan di antara tiga negara Asia bersama China dan India sebagai prestasinya. Kebijakan pemerintah yang sangat proglobalisasi, perdagangan terbuka dengan China, dan export oriented menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi bersifat otokorelasi.

Artinya bahwa pertumbuhan yang terjadi disebabkan industri kecil yang berwatak domestik dan usaha murni rakyat pada saat kemampuan dan variabel yang dipertimbangkan dalam kebijakan pemerintah berbicara lain. Pemerintah kota dan pemerintah daerah dengan disertai kebebasan media elektronik hampir setiap hari menyiarkan penggusuran dan perampasan tanah yang sudah puluhan, bahkan ratusan tahun, ditempati rakyat.

Kemenangan hukum formal berdasar selembar surat, keindahan kota, dan obsesi menjadi setara dan sebersih serta semaju dengan kota-kota dunia negara Barat sepertinya ingin dilakukan dalam semalam. Korban-korban berjatuhan dan dengan dalih otonomi, hanya menunjukkan pemerintah pusat tidak bisa mengendalikan dan mengoordinasikan, padahal citra dan delegitimasinya ditimpakan semuanya di pundak SBY. Pemerintah pusat masih bisa memainkan kartu penting, misalnya daerah yang menggunakan pendekatan tidak manusiawi dihukum melalui dana yang turun dari pemerintah pusat yang ternyata masih merupakan anggaran mayoritas di daerah.(*)

Prof Bambang Setiaji
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta 

Opini Okezone 1 Februari 2010