01 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Reality Show Pansus Century

Reality Show Pansus Century

SETIAP orang mengetahui bahwa para politikus secara rutin mengatakan segala sesuatu, menciptakan penampilan-penampilan, bahkan membuat gerakan-gerakan tubuh yang bertujuan untuk menyembunyikan semua kenyataan yang mendasarinya.

Demikian penegasan Michael Billig (Politics as An Appearance and Reality Show: The Hermeneutics of Suspicion, 2006) ketika menyoroti kehadiran para politikus di panggung-panggung pertunjukan yang ditayangkan televisi. Berbagai pernyataan, gestur tubuh, ekspresi wajah, dan penampilan kalangan politikus itu penuh tipuan. Jadi, rakyat yang diposisikan sebagai penonton harus cermat menyaksikannya.


Bahkan, diperlukan strategi pembacaan yang cermat terhadap seluruh penampilan politikus itu. ‘’Kecurigaan’’ harus dikerahkan untuk menilai kehadiran para politisi. Terlebih lagi, kata-kata yang digelontorkan setiap politikus merupakan strategi untuk menyelubungi motif-motif yang tidak mereka ekspresikan.

Tidak terkecuali ketika rakyat menyaksikan berbagai sidang Pansus Hak Angket Bank Century yang setiap hari disodorkan televisi yang dikemas bagaikan reality show (pertunjukan kenyataan). Politikus yang hadir dalam reality show itu menjadi sadar kamera. Boleh saja mereka mengajukan klaim bahwa sorotan kamera adalah sebentuk cara pengawasan yang dilakukan jutaan rakyat sehingga, wakil rakyat yang ingin mengungkapkan atau menutup-nutupi skandal pengucuran dana talangan (bail out) untuk Bank Century mampu diketahui.

Namun, semua tingkah politikus itu tidak lebih menyimpan kepalsuan. Gejala ini dapat disimak ketika ada seorang politikus yang menyatakan memoles penampilannya ketika berada di hadapan publik. Mimik, bahasa tubuh, pilihan kata, dan teknik berpakaian sengaja disajikan untuk menghibur publik.

”Politisi sekarang harus tampil seperti selebriti. Bedanya, selebriti (tampil) sekadar untuk menghibur, kami tetap harus menjaga konten (pembicaraan) dan kewibawaan,” katanya (Kompas, 24 Januari 2010). Jika ini yang terjadi, bukankah sidang-sidang Pansus Century riuh dengan aneka kepura-puraan dan sandiwara yang kuyup kepalsuan?

Perilaku sejumlah anggota Pansus Century yang suka mendebat lawan bicara seenaknya, berbicara dengan nada tinggi, intonasi sengaja diatur untuk menunjukkan keandalan strategi interogatif, dan raut wajah yang disodorkan penuh kegarangan, tidak lebih terjatuh hanya sebagai hiburan. Persoalan apapun yang disajikan televisi, apalagi ketika kaum politikus dengan sadar hendak tampil sebagai selebriti, rawan terpelanting sebagai hiburan basi tanpa arti.

Tayangan semacam itu, merujuk pendapat Paul L Lazarsfeld dan Robert K. Merton (Mass Communication, Popular Taste, and Organized Social Action, 1948), mengakibatkan dampak disfungsional, berupa pembiusan (narcotizing) ketimbang penyadaran terhadap publik. Seakan-akan kerumitan persoalan politik bisa diuraikan dan diselesaikan penuh kegagahan, padahal yang berlangsung adalah pembiaran.

Reality show memang gampang mengundang ketakjuban. Sebab pertunjukan itu dikemas tanpa skenario dan tanpa pengarahan sutradara. Aktor-aktor yang terlibat di dalamnya biasanya orang-orang awam. Konflik dibiarkan menjadi pertikaian yang tidak berkesudahan. Pertunjukan ditutup dengan kebahagiaan karena kemenangan dirasa bisa dicapai.

Didambakan

Tapi, tidak jarang pertunjukan disudahi dengan kesedihan karena pertikaian tidak diselesaikan sesuai dengan harapan. Reality show, terlebih lagi yang menghadirkan selebriti dan politikus, terus didambakan kehadirannya oleh pemirsa. Sebab, pertunjukan yang ditampilkan di sana dipandang sebagai drama kehidupan yang mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya.

Namun, benarkah kenyataan yang disodorkan reality show adalah kenyataan yang sejati? Adalah ketersesatan pemikiran apabila reality show dipandang masih bisa merefleksikan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sehari-hari, termasuknya di dalamnya ucapan dan perbuatan yang digulirkan kaum politikus, pasti menimbulkan kebosanan ketika ditayangkan televisi.

Untuk melenyapkannya, maka diciptakanlah dramatisasi. Kata-kata yang diformulasikan sebagai umpatan, gertakan dan caci maki sengaja dilontarkan untuk mendatangkan kejutan. Kemasan wajah yang penuh amarah dan berbagai perilaku yang menunjukkan kesombongan dibiarkan terlontar untuk melahirkan efek keterpukauan.

Semua kenyataan yang terdapat pada reality show itu, seperti dikemukakan  Darren Archer (Reality Television, 2007), dikemas dalam empat unsur. Pertama, plot (jalan cerita) yang memakai struktur naratif opera sabun untuk membentuk kejadian-kejadian di hadapan kamera.

Kedua, character (watak) yang dimaksudkan sebagai cara pengungkapan identitas diri para aktor yang terlibat di dalamnya. Ketiga, setting (panggung) yang ditata mirip dengan berbagai acara opera sabun dan komedi situasi. Keempat, audience (penonton) yang menyaksikan para aktor reality show, sehingga sifat-sifat personal aktor-aktor itu makin dikenali dengan akrab.

Empat unsur reality show itu disajikan dalam sidang-sidang Pansus Century. Jalan cerita setiap sidang selalu sama. Pimpinan sidang membuka acara. Saksi-saksi memasuki ruangan untuk diambil sumpah dan memberi testimoni.

Watak aktor-aktor tampil konsisten, dari yang sengaja mengesankan diri penuh kelembutan hingga yang menonjolkan watak kegarangan. Panggung diatur layaknya ruang pengadilan dengan tempat duduk yang diatur sehingga semua aktor bisa mendapatkan sorotan kamera. Penonton (pengunjung) diposisikan di tribun untuk mengamati jalannya persidangan.

Mereka bisa tampil sebagai pendukung atau pembenci aktor-aktor sidang, sehingga kegaduhan dan lontaran kata-kata, seperti ”maling”, tidak bisa dihindarkan.

Sifat dasar reality show adalah pertunjukan yang berbasis pada logika tontonan. Penampilan merupakan hal yang paling ditonjolkan. Benar pernyataan Guy Debord (1931-1994) yang menyatakan adanya pergeseran modus kehidupan pada masyarakat tontonan, dari kepemilikan (having) menjadi penampilan (appearing).

Apabila Erich Fromm (1900-1980) menyarankan masyarakat agar memilih modus menjadi (being better and better, menjadi lebih baik dan lebih baik) ketimbang modus kepemilikan (having more and more, memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi), maka pada masyarakat tontonanóungkap Debordókenyataan individual hanya dimungkinkan tampil jika kenyataan itu tidak lagi aktual (nyata). Semakin palsu, semakin dikagumi.

Pertunjukan kenyataan Pansus Angket Century hanya menyajikan tontonan sebagai tontonan itu sendiri. Jalan cerita itu bermuara pada peristiwa yang dapat ditebak akhir ceritanya. Tawar-menawar posisi kekuasaan dijalankan karena bayangan pemakzulan sedang bergentayangan. Inilah realitas yang tidak ditayangkan dalam reality show itu. (10)

— Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Wacana Suara Merdeka 2 Februari 2010