Oleh Elis Suryani N.S.
Gonjang-ganjing yang melanda masyarakat berkenaan dengan kepemimpinan,  layak untuk dicermati. Hal ini karena masalah kepemimpinan berkelindan  dengan sifat, karakter, dan kebijakan ”pimpinan” dalam menangani suatu  masalah yang terjadi di masyarakat atau dalam suatu komunitas tertentu.  Tulisan ini sekadar mengungkapkan sebagian ”kearifan lokal” kepemimpinan  sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi, khususnya  yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi pemimpin dalam  melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan dicintai  rakyat serta bawahannya.
Adalah naskah Sanghyang Hayu yang merupakan naskah berbahan nipah abad  XVI Masehi, beraksara Sunda buhun, yang mengulas selain pedoman hidup  dan ajaran keagamaan pada masanya, juga mengungkap tuntunan perilaku  bagi pemimpin ideal yang disegani, dihormati, serta dicintai rakyat atau  bawahannya. Dalam naskah itu, dipaparkan lima belas unsur penting  yang  harus dimiliki pemimpin, yang terangkum ke dalam lima kelompok,  sebagaimana dikemukakan Darsa (1998). (1) Budi-guna- pradana  (bijak-arif-saleh). (2) Kaya-wak-cita  (sehat/kuat-bersabda-hati. (3)   Pratiwi-akasa-antara (bumi- angkasa-antara. (4) Mata-tutuk-talinga  (penglihatan-ucapan-pendengaran. (5) Bayu-sabda-hedap  (energi-ucapan/sabda-itikad/kalbu dan pikiran). Semuanya berhubungan  satu sama lain yang membangun sikap dan karakter pemimpin ideal.
Pemimpin yang baik dan ideal, menurut naskah  Sanghyang Hayu, juga harus  berpegang teguh kepada prinsip astaguna ”delapan kearifan” agar  kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Pertama, animan  (lemah lembut), pemimpin harus memiliki sifat lemah lembut, dalam arti  tidak berperilaku kasar. Kedua, ahiman (tegas), bersikap tegas, dalam  pengertian tidak plin-plan (panceg haté). Ketiga, mahiman (berwawasan  luas), memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar  tidak kalah dari bawahannya. Keempat, lagiman (gesit/cekatan/terampil),  dituntut terampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan  suatu pekerjaan. Kelima, prapti (tepat sasaran), memiliki ketajaman  berpikir serta tepat sasaran karena jika keliru atau berspekulasi akan  menghambat suatu pekerjaan. Keenam, prakamya (ulet/tekun), memiliki  keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Ketujuh, isitna (jujur),   dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun  perbuatan, agar dipercaya orang lain (rekan  kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) dan bawahannya. Dengan demikian,  terjalin kesepahaman yang harmonis. Kedelapan, wasitwa (terbuka untuk  dikritik), memiliki sikap legowo dan bijaksana sehingga mau menerima  saran dan terbuka untuk dikritik jika berbuat salah atau menyimpang dari  aturan (Darsa, 1998).
Naskah Sunda berbahan lontar beraksara dan berbahasa Sunda buhun  Sanghyang Siksakandang Karesian, mengulas dan mengungkap sepuluh pedoman  yang harus dimiliki serta dilaksanakan pemimpin dalam rangka membina  serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan sebutan dasa prasanta.  Pertama, guna (bijaksana/ kebajikan), perintah yang diberikan dipahami  manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya sehingga tidak terjadi  kesalahpahaman. Kedua, ramah  (bertindak seperti  orang tua yang bijak  dan ramah atau bestari) atau keramahan menumbuhkan rasa nyaman dalam  bekerja dan beraktivitas. Ketiga, hook (sayang atau kagum), perintah  dianggap sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang  diperintahnya. Keempat, pésok  (memikat hati atau reueus/bangga), harus  mampu memikat hati bawahannya dan merupakan kebanggaan juga bagi  bawahannya. Kelima, asih (kasih, sayang, cinta kasih, iba), perintah   harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.  Keenam, karunya (iba/sayang/belas kasih), sebenarnya hampir sama dengan  asih, tetapi dalam karunya/karunia perintah harus terasa sebagai suatu  kepercayaan. Ketujuh, mupreruk (membujuk dan menentramkan hati),  seyogianya mampu membujuk dan menentramkan hati dengan cara menumbuhkan  semangat kerjanya. Kedelapan, ngulas  (memuji di samping  mengulas,  mengoreksi), melalui cara bermacam-macam. Kesembilan, nyecep  (membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin yang menyejukkan  hati). Kesepuluh, ngala angen (mengambil hati), mampu menarik hati dan  simpati sehingga tersambung ikatan silaturahmi yang kental dan harmonis.  Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati, kaidahnya berpijak kepada  kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia, tetapi tidak dalam  kondisi yang kaku dan otoriter. Proses komunikasinya tetap menggunakan  asas silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Kepemimpinan yang baik dan ideal menurut kedua naskah itu ialah,  pemimpin yang mampu berperan sebagai leader, manager, entertainer,  entrepreneur, commander, designer, dan teacher . Ini sebagaimana  dikemukakan mantan Kapolwil Priangan yang kini menjabat Wakapolda  Kalimantan Tengah, Anton Charliyan, dalam bukunya Parigeuing (2009).  Pemimpin yang memiliki ketujuh sifat itu, pada zaman dahulu, biasanya  pemimpin yang sudah ngarajaresi,  dan dikenal dengan sebutan Prabu  Siliwangi (raja yang harum namanya). Hal ini karena raja sebagai  pemimpin telah mampu memberdayakan serta menyejahterakan orang  banyak.***
Penulis, dosen, penulis, dan peneliti di Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 2 Februari 2010
01 Februari 2010
» Home » 
Pikiran Rakyat » Pemimpin Ideal Dalam Naskah Sunda
Pemimpin Ideal Dalam Naskah Sunda
Thank You!