Oleh Soeroso Dasar
… Maka jika di antaramu ada 100 orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang; dan di antaramu ada 1.000 orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan 2.000 orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (Al-Anfaal 66).
Program kerja 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dikritisi sekelompok orang dan dipuji oleh kelompok yang lain. Semua melihat dengan kacamatanya masing-masing dan mengekspresikannya dengan cara masing-masing pula. Adalah hak anak bangsa memuji dan mencela prestasi Yudhoyono-Boediono karena mengemukakan pendapat dilindungi undang-undang. Bahkan agama pun mengingatkan kepada kita untuk meluruskan yang bengkok dengan tangan, mulut, dan dengan hati. Ujian paling berat dirasakan Yudhoyono-Boediono karena suara agar mereka turun dari ”takhta kerajaan” republik ini semakin nyaring. Yang jadi pertanyaan, siapa di antara kedua kelompok itu yang benar? Tentu keduanya meyakini merekalah yang benar, padahal kebenaran yang dikemukakan manusia relatif. Kebenaran yang hakiki hanya milik Allah.
Pemerintahan Yudhoyono-Boediono dalam perspektif kebenaran hakiki milik Allah akan terlihat kemudian hari. Siapa yang menzalimi dan siapa yang dizalimi. Akan tetapi yang paling penting adalah kesabaran. Seperti nasihat Lukman Hakim kepada anaknya, ”Barang siapa mengatakan kejahatan dapat memadamkan kejahatan, suruh dia menyalakan dua api, kemudian suruh ia melihat apakah api yang satu bisa memadamkan api yang lain. Sesungguhnya kebaikan itu akan bisa memadamkan kejahatan, seperti air memadamkan api.” Menyerukan kebenaran tidak harus diterima seluruhnya karena bila semua menerima, maka kita tidak akan pernah merasakan betapa nikmatnya menjadi orang yang sabar. Sebaliknya, apabila seluruhnya menolak, maka kita tidak pernah juga merasakan nikmatnya syukur. Yang penting, menjadi pemimpin hendaknya dekat dan tetap dicintai rakyat.
Ketika Ayatullah Khomeini kembali ke Iran setelah lama di perasingan, seluruh negeri dikuasai Shah Iran. Kedatangan Ayatullah Khomeini jelas waktunya dan jelas pesawatnya. Akan tetapi tidak ada satu pun peluru lepas, apalagi roket yang menghantam pesawat Iman Khomeini. Kenapa demikian? Karena semua merindukan Ayatullah Khomeini dan pemerintahan Shah Iran dianggap gagal. Sebaliknya Marcos, mayatnya saja sulit untuk bisa dikuburkan di Filipina, merupakan cermin bagaimana seorang pemimpin yang tidak dicintai rakyat. Dua kisah ini menunjukkan bagaimana apresiasi rakyat terhadap pemimpin yang dicintai dan pemimpin yang dibenci. Begitu juga dengan kisah perjalanan Nabi Muhammad saw. menegakkan kebenaran pun berwarna-warni.
Yudhoyono-Boediono hendaknya melihat kenyataan ini, apakah ia memerintah dengan jujur, amanah, ikhlas, dan cinta, atau sebaliknya, memerintah bukan untuk kepentingan masyarakatnya. Perlu dicatat, ada kekuatan lain yang mampu mempertahankannya dan melindunginya apabila ia benar, tetapi ada kekuatan lain yang mampu menjatuhkanya dengan keji apabila ia salah. Kekuatan itu adalah Yang Mahakuasa, Allah SWT.
Dalam proses pembangunan, para kaum humanis cenderung lebih memusatkan perhatiannya pada matra-matra kemanusiaan dan etika pembangunan karena kaum humanis melihat pembangunan adalah memupuk harga diri dan menentukan pilihan-pilihan ke depan. Pembangunan bukan sekadar mencari manfaat materiil yang menghadirkan dehumanisasi. Pertanyaannya adalah sanggupkah kaum humanis masuk dalam suatu situasi dan menabrak tembok kokoh serta pilar kuat yang namanya sistem nilai?
Hans Urs von Balthasar dalam bukunya Doa yang dikutip Muhammad ’Ibn Abbat: ”Surat-surat Sang Sufi” mengatakan, ”Kita hidup dalam zaman yang kering spiritual. Citra tentang dunia yang berbicara tentang Tuhan, telah menjadi tanda tanya yang kabur dan teka-teki yang tidak jelas. Hati manusia zaman robot ini remuk redam, sehingga tidak percaya pada perenungan (kontempelasi). Orang berdoa karena putus asa dan sia-sia, bahkan meragukan eksistensi Tuhan. Bahkan mereka perlu menggunakan seluruh kekuatan untuk melawan arus. Betapa banyak nilai Ilahi ditinggalkan manusia, terutama dalam perilaku kesehariannya”.
Program 100 hari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dihujat dan dipuji. Perjalanan panjang negeri ini penuh diwarnai dengan tengkar, konflik berkepanjangan. Nilai-nilai budaya yang adiluhung, gotong-royong, kerja sama, saling menghormati, santun, secara perlahan terkikis habis. Padahal, itu merupakan kekuatan tangguh yang sulit sekali dihancurkan.
Kepada kedua kelompok yang memuji dan mencela, kasihanilah negeri ini. Terlalu banyak darah yang tumpah, keringat yang mengalir, waktu yang terbuang, biaya yang terkuras, untuk saling berhadap-hadapan. Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Orang yang sabar pasti akan mendapat kemenangan, walaupun tertunda”. Buddha mengatakan, ”Kebencian tidak pernah bisa diredam dengan kebencian. Hanya dengan cinta, kebencian akan mereda. Ini hukum alam”. Yesus dalam Lucas 6 mengatakan, ”Kasihanilah musuhmu, berbuat baik kepada orang yang membencimu, mintalah berkat bagi orang yang mengutukmu, berdoalah bagi orang yang mencacimu.”
Jadi, apa pun agama dan keyakinan kita yang demikian majemuk, ini adalah negeri kita. Tumpah darah kita, tempat sama-sama kita membangun dan mengabdi dengan bergandeng tangan. Terlalu banyak tantangan yang masih harus kita hadapi bersama untuk mengangkat peradaban manusia negeri ini. Sekali lagi, sayangilah negeri ini.***
Penulis, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 2 Februari 2010