01 Februari 2010

» Home » Kompas » Pengadilan HAM atau Kejahatan Serius?

Pengadilan HAM atau Kejahatan Serius?

Setelah menyelesaikan studi banding, 18-19 Desember 2009 di Swedia, Mahkamah Agung mengeluarkan laporan. Mereka menyerap dan merekomendasikan kepada pemerintah agar mengkaji kembali Pengadilan Hak Asasi Manusia dan keberadaan hakim ad hoc yang dinilai berlebihan (Kompas, 4/1).


Ada hal mendasar, yaitu meletakkan wilayah hukumnya agar tak rancu. Pertanyaannya, di wilayah hukum mana pengadilan HAM itu berada? Dalam hukum HAM internasional ataukah hukum humaniter internasional? Para politisi dan ahli hukum di Indonesia pasca-Reformasi, baru belajar hukum HAM dan humaniter meskipun norma HAM banyak diadopsi dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950, serta Konvensi Geneva 1949 diratifikasi lewat UU Nomor 59 tahun 1958.
Pada 1999, komunitas internasional diguncang rangkaian peristiwa yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum dan setelah jajak pendapat di Timor Timur. Komnas HAM membentuk tim penyelidik yang digunakan untuk proyustisia. Saat itu, banyak kekuatan politik elite menentang pembentukan pengadilan kriminal internasional ad hoc, seperti pengadilan di wilayah bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for ex-Yugoslavia) dan Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda).
Elite politik dan ahli hukum mereka merasa lebih ”nasionalis” dan mau mengelak masuknya komunitas internasional. Mereka mengarahkan pembentukan pengadilan nasional dan salah meletakkan wilayah hukum untuk pengadilannya karena mengesahkan dan memberlakukan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM dengan dua jenis pengadilan sekaligus, ad hoc dan permanen. Pengadilan HAM tak pernah dikenal dalam yurisdiksi satu negara, melainkan yurisdiksi banyak negara. Sebut saja, Pengadilan HAM Eropa dan Pengadilan HAM Antar-Amerika.
Dan, benar belaka jika tim studi banding MA tak menemukan pengadilan HAM di Swedia karena Kerajaan Swedia adalah negara peserta (state party) dalam Pengadilan HAM Eropa yang bermarkas di Strasbourg, Perancis. Sebab, suatu ”negara tidak mungkin mengadili/menggugat dirinya sendiri” melalui persidangan. Juga karena implementasi hukum HAM dalam setiap pelanggaran menuntut pertanggungjawaban negara, bukan pertanggungjawaban pribadi.
Ini bedanya dengan hukum humaniter—dikenal juga sebagai hukum perang—yang menuntut pertanggungjawaban pribadi. Hukum humaniter berada di wilayah hukum pidana (kriminal) internasional. Sebaliknya, hukum HAM di wilayah hukum perdata internasional, dengan subyek hukum: negara. Bandingkan istilah ”pelanggaran” oleh negara dengan ”kejahatan” seseorang yang menunjuk perbedaan subyek dan sekaligus pertanggungjawaban.

UU No 26/2000 jelas inkonsistensinya. Disebutkan dalam Pasal 7, pelanggaran berat HAM: [a] kejahatan genosida; dan [b] kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal, pelanggaran berat HAM adalah pelanggaran atas hak-hak yang tak boleh ditangguhkan, bahkan dalam keadaan perang. Kejahatan tetap kejahatan dan gampang diidentifikasi seperti menganiaya atau membunuh. Namun, kejahatan serius jauh melampaui kejahatan biasa. Kejahatan serius hanya berlangsung dalam momen politik tertentu, tak seperti kejahatan biasa atau pelanggaran HAM.
Pengadilan ad hoc
Kejahatan terhadap kemanusiaan itu terpola dan bermotif politik atau rasial sebagai kejahatan dengan tingkat ”serangan sistematis” atau ”meluas” terhadap penduduk sipil. Karena itu, kejahatan ini hanya mungkin dilakukan oleh suatu rezim politik atau berkekuatan politik, termasuk kelompok militer. Dengan begitu, kejahatan serius itu lebih dari sekadar pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights). Karena begitu seriusnya kejahatan ini, maka disebut juga sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis).
Dengan segala keganjilannya, sudah seharusnya UU Pengadilan HAM dikaji secara mendasar agar tak melanjutkan kesalahan, mencampuradukkan hukum HAM dan humaniter (pidana) sekaligus. Bukan hanya Swedia, tak satu pun negara di dunia—kecuali RI—membentuk pengadilan HAM di wilayahnya sendiri.
Demi keadilan, pengadilan ad hoc untuk mengadili orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab atas kejahatan serius pada masa lalu harus tersedia. Kasus dimaksud antara lain peristiwa pembunuhan massal 1965, Aceh masa DOM, Poso, Maluku, rangkaian kasus penculikan (penghilangan) aktivis, Tragedi Mei 1998, dan Trisakti. Sebaliknya, pengadilan permanen dibutuhkan untuk mencegah kejahatan sama pada masa depan. Jalan gampang untuk pengadilan permanen adalah meratifikasi Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional.

Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
Opini Kompas 2 Februari 2010