Hiruk pikuk memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono dapat diukur setidaknya dari dipenuhinya janji tentang penegakkan hukum. Alat ukurnya berupa produk keadilan yang memihak pada suara rakyat yang tumbuh dari peradilan mandiri.
Menegakkan keadilan tidak sama dengan menegakkan hukum. Yang satu berada pada tataran moral yang satu lagi bersumber pada hukum formal. Tataran moral bersumber pada nilai-nilai yang dianut masyarakat. Tataran formal bersumber pada kemauan penguasa.
Sudah merupakan sifat dasar atau karakteristik setiap pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia bahwa di dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara harus memiliki sikap mandiri. Putusan pengadilan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat tidak dapat terwujud apabila dalam proses penjatuhan keputusannya hakim mendapat pengaruh kuat atau tekanan dari pihak diluar kekuasaan kehakiman.
Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan masyarakat akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan.
Apabila sementara ini pengadilan diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan, maka tidak tertutup kemungkinan dapat bergeser fungsinya menjadi benteng terakhir kekuasaan kehakiman. Terlebih lagi dengan adanya komitmen bangsa dan negara ini untuk mendeklarasikan secara aklamasi sebagai negara hukum seperti yang tertuang dalam dalam UUD 1945.
Maka adanya lembaga peradilan bebas merupakan salah satu pilar yang tidak dapat ditinggalkan di samping pilar lainnya yaitu adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di segala aspek dan juga adanya prinsip legalitas dalam arti hukum dalam segala hal adalah mutlak sangat diperlukan keberadaannya.
Masyarakat sangat berkepentingan terhadap peran lembaga yang mau dan mampu mengayomi masyarakat. Lembaga pengadilan yang ideal adalah lembaga yang dapat menyerap aspirasi masayarakat tentang makna keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam putusan yang dijatuhkannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik peradilan akhir-akhir ini telah menunjukkan adanya keberpihakan. Sikap keberpihakan adalah sangat bertentangan dengan jiwa semangat eksistensi lembaga pengadilan itu sendiri yang wajib memperhatikan, memperlakukan, dan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak yang bersengketa (equality before law).
Mengenai pentingnya kebebasan pengadilan di era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu. Dimulai dengan UU No 19/1964 yang memberi peluang Presiden maupun penempatan Mahkamah Agung di bawah kekuasaan Presiden, yang kemudian dicabut dengan UU No 14/1970.
Dalam Undang Undang No 14/1970 dapat diketahui bahwa secara nonjudicial masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen dan dalam menjalankan fungsi judicial berada di bawah kendali MA. Dengan berlakunya Undang Undang No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Badan Peradilan di bawahnya dan oleh MK.
Prioritas
Badan Peradilan di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan PTUN. Yang menjadi pertanyaan apakah serangkaian peraturan yang menjadi hukum positif tersebut telah mengatur secara tegas tentang jalan ke luar yang ditempuh apabila realitas menunjukkan telah terjadi pertentangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum? Pada perkara ini, nilai manakah yang harus diprioritaskan?
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa hal tersebut tidak secara tegas diatur secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif. Meski dalam rancangan atau konsep Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) baru telah dicantumkan tentang keseimbangan antara kepastian hukum yang merupakan hukum formal dan nilai keadilan yang bersifat patokan materiil, perancang KUHP baru tampaknya menyadari bahwa keduanya, yakni keadilan dan kepastian hukum akan menjadi sumber konflik atau pertentangan. Dan akhirnya perancang KUHP baru meyakini dalam konflik ini tentunya harus ada salah satu yang dimenangkan, yakni nilai keadilan.
Dari penjelasan di atas, telah nyata gambaran yang kita peroleh bahwa sesungguhnya pada yuris atau ahli hukum kita menghendaki terciptanya keseimbangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum. Dan jika kemudian timbul konflik antara keduanya tentu keadilan yang harus mendapat pemihakan. Namun muncul dilemma, apakah demi keadilan harus mengorbankan kepastian hukum? Jawabannya sudah barang tentu tidak.
Dengan demikian tugas hakim ke depan tidaklah seperti mesin robot yang bekerja secara mekanis. Sebab ia harus menegakkan keadilan dan sekaligus menegakkan hukum. Senyampang dengan itu untuk menilai proses penegakkan keadilan di 100 hari pemerintahan SBY-Boediono tentunya ukuran yang paling mudah adalah seberapa besar putusan pengadilan yang ada selama ini mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya proses pengadilan ini seperti perjalanan panjang dan produk keadilan hanyalah sepanjang galah. - Oleh : Muhammad Taufiq, Advokat Mahasiswa S3 Ilmu Hukum
Opini Solo Pos 2 Februari 2010
01 Februari 2010
Produk keadilan sepanjang galah
Thank You!