01 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Tantangan NU: Mengharakahkan Halakah

Tantangan NU: Mengharakahkan Halakah

Maulana Mukhlis
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
BERDIRINYA NU tidak terlepas dari fakta bahwa setelah tahun 1920-an banyak ulama yang merasa prihatin terhadap pesatnya perkembangan modernisme Islam dan keberhasilannya menarik banyak umat Islam dari wilayah ajaran dan praktek Islam tradisional.


Dalam konteks keislaman NU kemudian amat dikenal dengan gagasan pribumisasi Islam. Gagasan pentingnya pribumisasi Islam dalam konteks lokal ini sangat penting karena dengan itu muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan identitas keindonesiaanya yang khas. Namun, pada saat yang sama dapat mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupannya.
Sedangkan dalam konteks kemasyarakatan, NU berdiri di atas tiga pilar penyangga yang bertumpu pada fondasi ahlu sunnah wal jamaah yakni pilar tashwirul afkar (potret pemikiran/pengembangan pemikiran), pilar nahdlatul wathon (gerakan cinta tanah air, nasionalisme dan politik) serta pilar nahdlatul tujjar (gerakan sosial ekonomi). Pilar tashwirul afkar berfungsi mengembangkan pendidikan dan pemikiran keislaman. Pilar nahdlatul wathon berfungsi menanamkan nasionalisme, antipenjajah dan pendidikan politik sedangkan pilar nahdlatul tujjar berfungsi mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat khususnya bidang sosial dan ekonomi.
Tantangan Kekinian NU
Di usianya yang ke-84 ini, pertanyaan yang mungkin layak dilontarkan untuk menjadi muhasabah bagi NU adalah apakah kedua konteks itu (keislaman dan kemasyarakatan) masih menjadi roh NU? Pertanyaan itu selaras dengan banyaknya kritik untuk NU baik oleh internal terutama eksternal NU. Kritik pertama adalah bahwa NU dianggap telah terlalu dalam terjun dalam politik praktis baik dengan mendukung salah satu kandidat presiden dan wapres maupun pilkada di daerah. Meski hal itu dibantah Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, fenomena keterlibatan NU dalam politik telah menjadi fakta yang tak terbantahkan.
Kritik kedua adalah minimnya perhatian kepada anak-anak muda NU dan meningkatkan kepercayaan anak-anak orang NU meskipun tidak dibesarkan oleh orang NU tentang fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Untuk hal ini mungkin tidak seluruhnya benar, karena jujur selama ini NU telah benyak membantu anak-anak muda NU yang pada pemilu legislatif lalu mencalonkan diri menjadi anggota legislatif maupun menjadi menjadi anggota KPU misalnya. Anak muda NU tidak boleh mengingkari kenyataan ini.
Kritik ketiga adalah ketidakdekatan NU dengan kalangan intelektual atau memasukkan kalangan intelektual sebagai kekuatan lembaga tanfiziah. Akhirnya, dalam menjalankan fungsinya,--seperti analisis Donald K. Emmerson dalam Indonesia's Elite: Political Culture and Cultural Politics--wajah NU selalu saja tidak lebih dari paguyuban tahlil, selametan, pengajian umum/selapanan plus bahs al-masa'il al diniyah (pembahasan masalah-masalah agama).
Berikutnya adalah kenyataan bahwa secara wacana dan kajian (halakah) NU telah sangat mengusai sehingga bagi NU mengeluarkan sebuah fatwa yang rasional dan argumentatif adalah sebuah "pekerjaan" yang tidak berat. Namun, untuk urusan pergerakan (harakah), NU kalah dengan ormas semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau ormas-ormas lainnya. Dan bagi saya, inilah tantangan terberat NU saat ini, yakni bagaimana mengontektualisasikan pemikiran dan kajian ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Banyak pihak menduga bahwa fenomena yang menjadi tantangan bagi NU adalah karena masih banyaknya warga NU yang menjadikan kekuasaan sebagai segala-galanya. Disfungsi gerakan tersebut menjadikan NU besar karena jumlah tetapi sebagai kekuatan, NU sudah diragukan, sudah tidak solid lagi. Sekarang NU sudah terfragmentasi ke dalam banyak faksi. Tidak ada lagi ketua NU yang berwibawa yang bisa mengarahkan jemaahnya.
Oleh karena itu, kalau dilihat dari sudut pandang politik, NU sekarang hanya menjadi organisasi biasa dan tidak ada bedanya dengan organisasi-organisasi lain. Lantas bagaimana memaknai NU ke depan? Bagi saya, jalan satu-satunya adalah mengembalikan NU sebagai sebuah tradisi kearifan lokal, dan mengontekstualisasikan iman dan islam dalam aktifitas sosial kemanusiaan. NU tidak boleh lagi kehilangan isu-isu besar yang terkait langsung dengan nasib warganya.
Kalau NU kita maknai sebagi sebuah tradisi kearifan lokal, maka NU masih tetap jalan. Secara pribadi saya masih tetap optimis bahwa di luar dunia politik, NU itu masih tetap kuat. Pesantren-pesantren yang berada di kampung itu masih tetap memelihara tradisi dan kehormatan NU. Dan itu masih cukup banyak jumlahnya. Jadi kalau dilihat dari sisi tradisi, NU di Indonesia ini masih tetap berarti. Tetapi kalau dari sudut pandang politik, NU itu sudah tidak ada apa-apanya lagi.
Hal utama yang harus dilakukan oleh NU adalah pengabdian terhadap bidang keilmuan, kepekaan terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan serta keinginan untuk memajukan bidang sosial ekonomi masyarakat. Intinya, komitmen tersebut berimplikasi pada ketegasan NU untuk tidak berpolitik praktis –atau politik luar panggung--. Muktamar NU dua bulan ke depan harus dirahkan ke fokus ini sehingga menghasilkan halakah yang siap dan mampu diharakahkan. Jika itu bisa, 84 tahun usia NU akan bisa memberikan makna yang berbeda. Semoga!

Opini Lampung Post 2 Februari 2010