Thomas Koten
Direktur Social Development Center
Di tengah keprihatinan publik atas ketidakberdayaan para penegak hukum dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau abuse of power for privates gain, Presiden Yudhoyono menabuh genderang perang melawan mafia hukum. Pencanangan pemberantasan mafia hukum ini dijadikan sebagai prioritas teratas program 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Karena, selama ini mafia hukum merupakan batu sandungan yang paling utama dalam pemberantasan korupsi.
Demi menindaklanjuti program ini, Presiden Yudhoyono membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum lewat Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2009. Satgas yang dibentuk Presiden dan baru dilantik ini memiliki tugas dan wewenang khusus untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar upaya pemberantasan mafia hukum berjalan lebih efektif. Satgas adalah tim Presiden, yang berada di bawah Presiden, serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Berbeda dengan KPK dan lembaga peradilan lainnya yang merupakan komisi negara independen dan lembaga yudikatif yang juga bersifat independen.
Kini, meski baru mulai menjalankan tugasnya pascapelantikan belum lama ini, Satgas sudah mulai menunjukkan sebuah prestasi yang cukup menarik lewat aksi penggeledahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu dengan menemukan "kamar hotel berbintang" di dalamnya dan dihuni "Si Ratu Suap" Arthalyta Suryani dan "Ratu Narkoba" Limarita. Namun, apakah ke depan Satgas akan berhasil dengan terus mengukir prestasi, mengingat mafia hukum itu sendiri, sebagaimana halnya korupsi, dalam prakteknya sudah begitu mengakar? Inilah pertanyaan yang beriringan dengan munculnya kecurigaan, jangan-jangan program ini hanyalah suatu taktik politik pencitraan yang mengesankan presiden benar-benar serius memenuhi janji politiknya, yakni melakukan pemberantasan korupsi secara keras.
Lagi pula, mafia hukum itu sendiri merupakan tindakan dari para pihak yang merugikan negara dan pihak lain, seperti makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi dan pihak-pihak lain, seperti pungutan yang tidak semestinya. Dan para mafioso hukum ini ada di kepolisian, pengadilan, departemen-departemen, pajak dan bea cukai. Semua itu sudah berjalan dalam jaringan yang sangat kuat dengan bungkusan yang menyerupai sindikat mafia yang sangat rapi dan memiliki sistem kerahasiaan tersendiri.
Ironisnya, jika ada pihak lain, yaitu para penegak hukum dan pejuang hukum idealis yang berusaha secara proaktif membuka tabir mafia hukum, mereka bukan saja dianggap sebagai pengganggu yang perlu diwaspadai, melainkan sebagai penyakit yang harus segera disingkirkan. Sehingga, aksi jahat mereka dalam menggerogoti uang negara dan merugikan pihak lain dengan mempermainkan hukum tetap berjalan dengan lancar dan aman.
Celakanya, fenomena konspiratif yang terjadi alam jaringan mafia hukum ini kerap juga terjadi di jajaran eksekutif, yudikatif dan legislatif. Itu tersebar mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Bahkan, jejaring mafia hukum ini begitu mengakar di seluruh lapisan birokrasi, seperti dalam jajaran eksekutif yang memiliki kuasa dalam mengelola berbagai proyek strategis dan pengadaan barang yang biasa di-mark up dengan anggaran yang selalu ditilep di sana sini. Semua ini tidak lebih juga sebagaimana terjadi dalam jejaring korupsi yang mewabah dan mengakar dengan melibatkan para pihak, mulai dari pejabat tinggi negara, aparatus birokrasi, anggota parlemen, politisi, dan lain-lain.
Baik mafia hukum maupun jejaring korupsi, semuanya menyatu dan menyenyawa secara sempurna dalam negara yang disebut negara kleptokrasi. Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy) yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan dan korupsi yang mewabah (a government characterized by rampant greed and corruption) Amich Alhumami (2005).
Karena itu, supaya Presiden Yudhoyono bebas dari tudingan bahwa penabuhan genderang perang melawan mafia hukum itu hanyalah taktik politik pencitraan, maka keseriusan, ketegasan, dan kerja keras Presiden dan para Satgas sangat dibutuhkan. Apalagi, apresiasi publik terhadap pemberantasan korupsi masih tetap tinggi. Dalam hal ini, Presiden diharapkan memimpin sendiri peperangan melawan mafia hukum dan mengendalikan langsung kerja Satgas. Sebagaimana filsuf Hobbes dalam bukunya Leviathan XVIII, menegaskan perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong. Karena itu, harus ada kekuasaan untuk memaksakan hukum. Jika tidak, jangan bermimpi soal fungsionalisasi hukum dan tegaknya keadilan.
Ketegasan Presiden dalam memimpin pemberantasan mafia hukum yang setali tiga uang dengan pemberantasan korupsi ini, pertama-tama harus ditujukan kepada para pejabat, khususnya terhadap anggota kabinet dan para pimpinan departemen yang dibawahinya langsung, bahkan kepada anggota keluarga, orang-orang dekat dan dirinya sendiri. Sulit diharapkan keberhasilan dalam aksi pemberantasan mafia hukum dan atau membasmi korupsi jika keluarga dan lingkungan terdekat Presiden tidak tersentuh secara keras oleh pedang hukum dan samurai keadilan. Sebab, komunitas terdekat presiden merupakan figur-figur sentral, yang menempati posisi atas-strategis yang menjadi contoh dan cermin moral bagi masyarakat seluruhnya.
Patut diingat ungkapan yang sangat popular di Afrika, "Ikan membusuk selalu mulai dari kepala lalu menular ke buntut, tidak pernah sebaliknya". Bobroknya moral bangsa selalu dimulai dari tataran elite negeri, tidak pernah dimulai dari rakyat. Kelompok elite negeri adalah cermin yang dapat memantulkan cahaya kepada seluruh rakyat, tidak pernah sebaliknya.
Opini Lampung Post 2 Februari 2010
01 Februari 2010
» Home »
Lampung Post » Mafia Hukum di Negara Kleptokrasi
Mafia Hukum di Negara Kleptokrasi
Thank You!