Hardi Hamzah
Peneliti INCISS dan Staf Ahli MAHAR Foundation
Membangun koalisi dalam kabinet presidensial kiranya dapat dirasakan rancu. Rancu karena di satu sisi presiden dapat mandat mutlak dari rakyat, di sisi lain, kekhawatiran ganjalan di parlemen cukup mengkhawatirkan, setidaknya ini persepsi rezim SBY.
Padahal, dalam tatanan kehidupan bernegara, rasanya tidak beralasan bila SBY terlalu takut akan ulah parlemen. Sebab, bukankah banyak prasyarat seorang presiden dapat dimakzulkan.
Kekhawatiran itu tidak perlu terjadi, kalau masing masing institusi saling memahami fungsi, hak dan kewajiban institusional dan konstitusional mereka. Dalam tulisan ini penulis akan melihat postur partai koalisi, sehingga sesungguhnya tidak perlu muncul rasa kekhawatiran SBY dan jajarannya.
Tengoklah Golkar, misalnya, partai yang berorientasi karya kekaryaan yang kini tidak lagi berkutat pada jalur ABG (ABRI/TNI, birokrasi, Golkar) itu, semestinya dihadapi dengan rasionalitas koalisi, dalam arti meletakkan tubuh personal mereka sesuai dengan proporsinya dan platform partainya.
Kalau dipahami, Golkar selalu mengantisipasi persoalan lewat "gertak sambal", seyogianya personal mereka tidak diposisikan pada pos-pos yang mampu memainkan kartu truf pemerintah dengan bobot jabatan yang meluas, seperti menkokesra, misalnya. Dalam prospek karya dan kekaryaan itu, Golkar seharusnya mendapat jatah pada pangsa menteri yang dituntut untuk berkutat pada arus bawah, semisal mensos, menteri daerah tertinggal, dan menteri koperasi.
Sementara PDIP yang berdasarkan lobi, justru tokohnya dimandulkan lewat MPR, tapi okelah, ini, kan lobi politik paranoid. Menengok partai pendukung lainnya, PKS, partai yang kini ditunggu untuk berkiprah sesuai pakem religinya, ternyata belum menampakkan hasilnya. Kita bisa ambil contoh sederhana. Tifatul yang ditunggu oleh pemirsa yang mulai jenuh dengan berbagai tayangan, kenyataannya belum berbuat apa apa. Incaran mereka yang gagal untuk menjadi mendiknas semestinya mendapat ruang dalam kominfo yang memberi peluang bagi Tifatul merajut kultural edukatif lewat perubahan atau terobosan strategis media audio visual yang semakin merepotkan dan membius masyarakat meski segmentasi garapannya dibatasi oleh KPPIP.
Akan halnya partai koalisi yang lain pun belum banyak kiprahnya. Kita bisa menunjuk PAN. Hatta Rajasa yang memang tidak cocok penempatannya, kita juga masih menunggu gebrakan pengusaha Zulkifli Hasan, sang pengusaha yang kini harus bersibuk diri dengan hutan. Partai yang lahir dari semangat reformasi ini kenyataannya baru dikejutkan, kalau tidak mau mengatakannya digembirakan oleh Patrialis Akbar lewat terobosannya membenahi rutan.
Demikian pula dengan PKB, menteri tenaga kerja yang disandang ketuanya belum memberi isyarat apa-apa. Partai pendukung koalisi yang berzigzag akibat tersisihkan dari kampiunnya Gus Dur itu memang telah mengubah wajah meletakkan kekuatan malu malu antara kembali ke khitah untuk merekrut nahdliyin dan kenyataannya gagal dengan dibuktikan oleh perolehan kursi, kini bergerak tidak dalam koridor yang mampu mencari jawab persoalan TKI. Banyak indikator yang bicara, bahwa bidang garap menaker masih jauh dari kehendak roadmap pemerintahan SBY.
Sementara itu, PPP, kini lewat hiruk pikuk fatwa, jemaah haji, dan kerukunan ummat beragama, tampaknya hanya bermain pada lini stagnan yang kiprahnya telah dibatasi secara institusional. Lalu, bila dipetakan secara lebih komprehensif, selain kinerja para partai koalisi ini, teristimewa para pembantu SBY masih jauh dari harapan, maka agaknya wajar bila fungsionaris partai yang di legislatif mengaktualisasi diri dan atau menunjukkan eksistensinya.
Dengan demikian, apa dan mengapa pihak istana khawatir, seakan tidak memberi kaidah penting terhadap hak preogratif yang ada, ini tentu mengherankan. Kesadaran SBY untuk tetap memahami tatanan kenegaraan yang meletakkan sistem presidensial, seyogianya membawa muara baru, bahwa menjalin koalisi, adalah karena berharap fungsi fungsi stelsel aktif kader partai dapat dimanifestasikan, dus bukan rasa ketakutan ditekan di parlemen, yang dengan rasa takut ini sekaligus akan mengajak pemandulkan parlemen, sehingga fungsi check and balances akan terkooptasi.
Maka, dengan segala ketakutan, dan kekuatannya yang absah melalui one man one vote, seharusnya SBY mulai menyadari peranan dan tanggung jawab masing masing institusi, bahwa institusi kepresiden berjalan atas tanggung jawab kementerian. Dalam artim kinerja, peran, dan fungsi legislatif ditaati melalui fungsi kontrol, legislasi, dan bujet.
Dari analisis mikro sederhana tersebut, seyogianya kinerja masing-masing personal dalam partai koalisi tidak berbanding lurus dengan kinerja menteri-menteri yang berkoalisi. Demikian pula halnya semangat presidensial dalam ketatanegaraan selayaknya diberi tempat dan ruang tersendiri secara strategis dan tanpa reserve
Opini Lampung Post 2 Februari 2010