Ade Saptomo
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang
SETIDAKNYA, 2010 ini ada tiga kelompok pergelaran politik yang ditonton masyarakat luas. Pertama, dimainkan anggota dewan terhormat (legislatif) yang awal tahun ini direpresentasikan oleh Pansus Hak Angket Bank Century. Kedua, dimainkan masyarakat luas yang 28 Januari lalu direpresentasikan oleh Gerakan Indonesia Bersih, Kompak, HMI, KAMMI, dan masih banyak lagi tersebar di 33 titik kota tersebar di seluruh Indonesia dengan bentuk unjuk rasa damai.
Pada saat sama unjuk rasa disebut terakhir direspons oleh SBY sendiri kala meresmikan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap Banten 2 Labuan di Pandeglang 28 Januari, bahwa banyak pihak yang tak memahami program 100 hari pertama pemerintahan, tetapi ikut mengecam dan menilai program itu gagal.
Presiden juga meminta masyarakat mengerti, program 100 hari hanya bagian kecil dan langkah awal bagi implementasi program 100 hari, satu tahun, dan lima tahun pemerintahan. Kata-kata kunci yang patut dicatat dari pernyataan Presiden tersebut, yaitu banyak pihak yang tak memahami dan masyarakat belum mengerti program 100 hari.
Ini dapat dibaca bahwa SBY juga telah mengerti dan memahami mengapa sebagaimana masyarakat berunjuk rasa, juga dapat diartikan bahwa selepas "unjuk rasa" legislatif dan unjuk rasa masyarakat tersebut di atas, eksekutif juga akan gantian unjuk rasa melaksanakan program, prioritas, rencana, dan aksi-aksi konkret yang telah disusun.
Tentu, tujuan unjuk rasa eksekutif dimaksud agar kelompok pengunjuk rasa khususnya dan masyarakat luas menjadi mengerti, memahami program, bahkan diharap ikut mengaksikan program-program prioritas selama satu dan lima tahun perjalanan pemerintahan Kabinet Bersatu Jilid dua ke depan. Dalam konteks apa yang akan diunjuk-rasakan eksekutif dimaksud, ada baiknya kita mulai dari apa yang pernah tersirat di balik satu catatan penting Editorial MI (29-1).
Dalam editorial disebutkan "demonstrasi telah usai dengan damai dan pesan telah disampaikan. Pesan sangat penting, yaitu seruan publik untuk membangun kembali situasi saling percaya yang sempat hilang".
Tentu, pertanyaan yang menyusul adalah saling percaya di antara siapa? Dan, siapa dimaksud merepresentasikan lembaga apa? Pertanyaan-pertanyaan demikian ini mengingatkan penulis pada Locke yang menggagas pembagian kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Dan, yang menonjol di situ adalah lembaga pembuat undang-undang di satu pihak dan yang melaksanakan undang-undang di pihak lain.
Dengan pemahaman demikian, pertemuan tujuh pemimpin lembaga negara (MPR, Presiden, DPD, BPK, MA, KY, dan MK) yang berlangsung di Istana Kepresidenan, Bogor, 21 Januari 2010 lalu merupakan konstruksi baru saling percaya di antara lembaga negara sebagai yang menjalankan undang-undang. Untuk itu, perdebatan politik menyangkut mosi tidak percaya dan pemakzulan menyusul pernyataan Presiden SBY bahwa pilihan sistem ketatanegaraan di Indonesia berdasarkan UUD 1945, yaitu saling mengimbangi dan mengawasi di antara lembaga-lembaga negara. Karena itu, sistem atau kultur mosi tidak percaya terhadap presiden dan wakil presiden tidak berlaku sudah selesai mengingat hal itu juga telah diatur dalam konstitusi (Pasal 7a dan 7b UUD 1945).
Demikian pula silang pendapat tidak etis atau etis ketua lembaga kehakiman datang pada pertemuan di Bogor. Yang pertama dengan alasan Bangalore Principal of Judicial Ethic yang berlaku universal harus dijadikan pegangan oleh pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu independensi pengadilan. Maksudnya, ketua MA dan MK harus independen dan kelihatan independen. Untuk itu, hakim harus mencegah dirinya agar kelihatan tidak independen. Dengan demikian, kehadiran pimpinan lembaga kehakiman dalam pertemuan Bogor kelihatan tidak independen sehingga kehadirannya tidak etis.
Sementara yang kedua menyatakan justru tidak etis kalau diundang silahturahim tidak datang. Persoalan etis dan tidak etis menyusul kehadiran dua pimpinan lembaga kehakiman MA dan MK semacam itu seyogianya tidak perlu diperpanjang dan juga belum tentu dimaksudkan untuk memengaruhi perkara hukum. Kalau bangsa Indonesia ini percaya diri, etis dan tidak etis hendaknya diukur dari dan dikembalikan ke budaya bangsa.
Lantas budaya bangsa yang mana? Coba kita mundur ke belakang sedikit pada kondisi sosial budaya bangsa Indonesia, apakah pertemuan antarlembaga negara RI tersebut dapat diukur dan dikembalikan ke budaya bangsa Indonesia mendasari. Kalau merujuk pada, a) eksistensi budaya kerapatan yang dibangun tua-tua pendahulu menyusul kondisi beragam sosial, budaya, misalnya saja, kerapatan-kerapatan adat dalam masyarakat Minangkabau, Batak, Papua, Siak, Bugis, Bali dan terlalu banyak untuk disebut satu per satu; b) keberhasilan kerapatan dimaksud dalam menyelesaikan konflik antaranak negeri yang secara etnisitas berbeda suku dan subsuku, linguistik beraneka bahasa ibu, rasialistik beragam ras berikut keturunan, dan seterusnya, maka pertemuan pimpinan antarlembaga Negara RI tersebut sudah jelas merupakan cerubusan (tunas) dari budaya nusantara, yaitu kerapatan. Artinya, prokontra etis dan tidak etis dimaksud seyogianya sudah selesai mengingat pertemuan semacam itu sesuai budaya bangsa Indonesia.
Budaya kerapatan nusantara inilah mestinya yang mendorong dan melandasi pertemuan-pertemuan antarlembaga sejenis berikutnya dalam berbagai kesempatan dan konteks, misal sebagai berikut. Pertama, dalam konteks ketatanegaraan RI sebagaimana disebut dan diatur dalam konstitusi UUD 1945 terdapat lembaga negara, seperti MPR (Bab II), Presiden (Bab III), DPD (Bab VII A), BPK (Bab VIII A), sementara Bab IX tentang Kehakiman mencakup MA, KY, dan MK. Secara normatif, ketujuh lembaga negara tersebut menjalankan tugas dan wewenang sesuai konstitusi, namun bukan tidak mungkin hubungan di antara mereka mengalami kebuntuan, sebut saja misalnya kekisruhan hubungan antara lembaga MA dan KY beberapa tahun lalu. Belajar dari pengalaman itu, maka pertemuan pemimpin antarlembaga Negara yang konon diprakarsai Taufik Kiemas selaku ketua MPR dan diselenggarakan di Istana Kepresidenan Bogor bukan saja bermanfaat mengurangi ketegangan hubungan antaralembaga tetapi juga membangun saling percaya antar pimpinan dan antarlembaga negara.
Kedua, dalam konteks kepolitikan formal. Kondisi bangsa Indonesia memang tidak sebatas terkotak-kotak dalam pengertian taken for granted tetapi juga secara politik formal. Misalnya, dalam Pemilu 2009 lalu ada 34 partai politik peserta, sementara yang masuk kerapatan partai sejumlah PPP, PKB, PKS, Golkar, dan Demokrat sendiri.
Masih atas dasar budaya nusantara, maka kerapatan pimpinan antarpartai politik, paling tidak partai koalisi amat mendesak untuk dilakukan untuk membangun saling percaya di antara mereka. Melalui kerapatan pemimpin antarpartai dimaksud, kekhawatiran presiden menyangkut program 100 hari, satu tahun, dan lima tahun tidak dimengerti masyarakat dan belum dipahami oleh banyak pihak mudah-mudahan terurai. Artinya, anggota kerapatan politik juga bertanggung jawab mengomunikasikan program, aksi, dan keberhasilan-keberhasilan kepada konstituennya masing-masing.
Ketiga, dalam konteks kementerian. Seluruh kementerian yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, demikian pula staf ahli presiden dan wakil presiden selain mempertajam konsep-konsep strategis dan taktis untuk melaksanakan program, prioritas, rencana, dan aksi-aksi konkret masing-masing kementerian yang sudah menjadi pekerjaan sehari-harinya juga perlu mengonvensikan kerapatan-kerapatan antarmenteri dan antarstaf dimaksud. Selain hal itu merupakan cerminan budaya nusantara, juga informasi yang dikomunikasikan keluar tidak beragam suara dan mudah-mudahan menembus kegaduhan sosial politik yang ada di luar.
Kerapatan antarlembaga negara, antarpartai politik, antarmenteri, dan antarstaf ahli kepresidenan selain menjawab saling percaya di antara siapa dan siapa merepresentaikan lembaga apa, juga akan berimplikasi luas pada semakin berkarakternya sistem ketatanegaraan dan ketatapemerintahan Indonesia, juga pada stabilitas politik dan keamanan negara. Setelah itu, tentu masyarakat menunggu unjuk rasa-unjuk rasa eksekutif di bawah kepemimpinan Presiden SBY dan mudah-mudahan unjuk rasa yang dimainkan eksekutif dimaksud langsung merasuk ke pemenuhan-pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan yang terjangkau masyarakat masyarakat luas. Amiin.
Opini Lampung Post 15 Februari 2010