14 Februari 2010

» Home » Republika » Indonesia Hasn't Changed

Indonesia Hasn't Changed

Hernawan Bagaskoro Abid
(mahasiswa magister Undip)

... But my plans for such a trip keep getting delayed. I'm chronically busy, and traveling with young children is always difficult. And, too, perhaps I am worried about what I will find there--that the land of my childhood will no longer match my memories. As much as the world has shrunk, with its direct flights and cell phone coverage and CNN and Internet cafés, Indonesia feels more distant now than it did thirty years ago.

'I fear it's becoming a land of strangers.' --Barack Obama: The Audacity of Hope--

Pekan ini, beberapa media baik cetak maupun elektronik melansir sebuah berita tentang rencana kunjungan Presiden Amerika, Barack Obama, ke Indonesia. Berita ini tentu saja bukan sekadar kabar burung karena secara resmi telah diumumkan oleh pihak Gedung Putih, bahwa Indonesia, bersama dengan Australia, akan menjadi negara tujuan kunjungan Obama di Asia-Pasifik. Kalau tidak ada aral melintang, kunjungan ini semakin mengukuhkan arti penting Indonesia di mata pemerintahan Obama karena sebelum Obama ke Indonesia, sang Menteri Luar Negeri Hillary Clinton telah mendahuluinya mengunjungi Indonesia pada 2009 yang lalu.

Pihak Washington belum memberikan tanggal pasti kunjungan Obama, akan tetapi sudah mengonfirmasikan bahwa kedatangan Presiden AS ke-44 tersebut akan dilakukan pada paruh kedua Maret 2010. Rencananya, Obama akan bertemu dengan Presiden Yudhoyono untuk membahas beberapa kerja sama di bidang keamanan dan kesejahteraan. Berbeda dengan kunjungan Obama ke Uni-Eropa sebelumnya, kali ini Obama turut mambawa serta Sasha dan Malia, dua orang putrinya bersama sang 'first lady' Michelle Obama. Obama sendiri merencanakan untuk mengunjungi bekas rumah tempat ia tinggal dulu di daerah Menteng Dalam pada periode antara 1967 hingga 1971.

Dalam bukunya yang berjudul The Audacity of Hope ..., Obama menulis tentang pengalamannya tinggal di Indonesia dalam beberapa paragraf yang cukup panjang. Ia menulis bahwa Indonesia pada saat itu adalah negara yang dikuasai oleh jenderal-jenderal militer dan para birokrat yang korup. Soeharto yang saat itu memimpin Indonesia disebutnya mampu secara makro, dengan bantuan AS dan dunia, untuk mengangkat perekonomiannya menjadi salah satu yang terbaik di Asia, walaupun bantuan AS dan dunia tersebut dikontrol sepenuhnya oleh keluarga Soeharto dan segelintir pengusaha, sehingga tidak pernah benar-benar 'memakmurkan' rakyat kebanyakan.Soeharto saat itu disebut 'harsly repressive' oleh Obama. Penangkapan dan penyiksaan terhadap para penentangnya adalah hal yang biasa, tidak ada kebebasan pers, dan pemilu hanya formalitas. Soeharto menghadapi perbedaan pendapat dengan moncong senapan, bukan dengan cara-cara demokratis. Bahkan, perilaku Soeharto disebut Obama mirip dengan perilaku Saddam Hussein, walaupun kekaleman dan ketenangan Soeharto menyebabkan hal tersebut tak pernah menjadi perhatian dunia.

Obama sangat ingin berkunjung ke Indonesia. Ia menulis di bukunya bahwa ia rindu berjalan-jalan di sekeliling sawah, pemandangan pagi di belakang gunung berapi, suara muazin melantunkan azan di malam hari dan suara-suara gamelan di jalan. Ia ingin membagi masa-masa indahnya di Indonesia kepada istri dan dua orang anaknya. Akan tetapi, ia takut bahwa Indonesia tak akan pernah sama lagi seperti dulu. Ia takut Indonesia akan jauh terasa lebih asing dibandingkan 30 tahun yang lalu.

Menteng yang sekarang tentu saja bukan Menteng yang didiami Obama dulu. Gedung-gedung megah perkantoran dan swalayan telah menjadikan Jakarta benar-benar berbeda--persis seperti yang ditakutkan Obama--30 tahun yang lalu. Apalagi, kalau ia mengunjungi bekas sekolahnya dulu di SD 01 Menteng, yang telah memiliki fasilitas pendidikan komplet ala metropolitan lengkap dengan perangkat komputernya. Tentu saja, akan sulit menemukan sawah di sana, apalagi suara gamelan. Apalagi jika Obama mendapati patung dirinya di Taman Menteng, entah apa yang akan dikatakannya. Ya, Jakarta telah berubah jauh--dalam artian positif.

Tapi, beribu-ribu kilometer dari Jakarta, di pedalaman Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat, di Lebong-Bengkulu, Belu-Nusa Tenggara Barat, hingga Yahukimo di Papua, Indonesia seakan berada di setting film karya Steven Spielberg, Jurassic Park. Sebuah tempat di mana waktu berjalan statis, tak bergerak ke mana-mana. Tempat di mana para makhluk raksasa bernama Dinosaurus hidup 'mesra' dengan alam tanpa pernah merasa takut diintai oleh infotainment. Tempat di mana Tyranosaurus bebas 'memangsa' saurus-saurus kecil lainnya tanpa takut akan terjerat pelanggaran HAD (Hak Asasi Dinosaurus). Sebuah lingkungan di mana Facebook dan Twitter tak dikenal. Tempat di mana segala kebijakan yang dilakukan oleh penerus Soeharto di Jakarta tak ada artinya. Tempat di mana pertumbuhan ekonomi sebesar empat koma sekian persen tak berarti apa-apa. Tempat di mana tak ada yang peduli dengan enam koma tujuh triliun yang digelontorkan untuk sebuah bank yang saya tak yakin namanya pernah didengar di sana.

Di bagian-bagian lain dari Indonesia nun jauh dari Jakarta itulah Indonesia tetaplah Indonesia 30 tahun yang lalu. Di sanalah Obama masih bisa melihat bentangan pegunungan di pagi hari atau sawah-sawah dan hutan yang belum dijamah kontraktor dan pengusaha properti ibu kota. Di sanalah Obama akan melihat cermin sejarah Amerika pada masa Perang Saudara antara Utara dan Selatan 150 tahun yang lalu, di mana negara-negara bagian Utara adalah surga kulit putih dan negara-negara bagian di Selatan adalah neraka bagi para budak berkulit hitam.

Di mana Utara bersinonim dengan kesejahteraan, sedangkan Selatan identik dengan kesengsaraan. Indonesia bukanlah Jakarta, dan Jakarta bukanlah gambaran Indonesia. Indonesia masih tetap tempat yang sama seperti 30 tahun yang lalu. Well, Indonesia hasn't change that much Mr President.

Opini republika 15 Februari 2010